PRO
vs KONTRA: Persekusi dan Penanganan
Hukum terhadap Pelakunya
Neta S Pane ; Ketua Presidium Indonesia Police Watch
|
JAWA
POS, 12
Juni 2017
AKSI
persekusi belakangan menjadi modus baru kejahatan yang meresahkan masyarakat.
Namun, aksi ini bisa dicegah jika polisi menjalankan fungsi secara maksimal.
Khususnya fungsi pendeteksian dini potensi tindak kejahatan akibat media
sosial (medsos).
Harus
diakui, aksi persekusi yang terjadi belakangan tidak bisa lepas dari dampak
perkembangan media sosial (medsos). Dalam perjalanannya, medsos memang tidak
hanya menjadi ajang berbagi cerita. Namun juga sebagai wadah menyuarakan
aspirasi politik. Dan tren tersebut menemui puncaknya dalam pilkada DKI lalu.dapat yang keras yang berujung saling memaki tak
terhindarkan lagi. Dengan kedewasaan politik yang belum terbangun, keriuhan
di medsos merembet ke dunia nyata. Salah satunya berbentuk persekusi.
Nah,
kepolisian sebagai aparat keamanan semestinya bisa mendeteksi hal tersebut.
Meski keriuhan terjadi di medsos, tetap saja membuka peluang konflik. Hal
itulah yang seharusnya dibaca aparat sejak dulu. Dan diturunkan dalam
antisipasi yang taktis.
Dengan
adanya unit cybercrime yang sudah dimiliki kepolisian, sebetulnya
pendeteksian dini sangat mudah dilakukan. Ada alat teknologi yang bisa
digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut. Belum lagi ketersediaan
perangkat intelijen. Sayangnya, komitmen maupun inisiatifnya sangatlah
terlambat. Barulah ketika kasus muncul, kepolisian tampak kelabakan.
Ke
depan, kepolisian harus bisa menjalankan fungsi tersebut secara maksimal.
Jika ada keriuhan di medsos, antisipasi harus segera dilakukan. Cara kerja
dengan menunggu harus ditanggalkan. Orang-orang yang potensial menjadi objek
persekusi harus diproteksi.
Aparat
juga harus mengedepankan semangat kerja yang profesional, proporsional, dan
independen. Sebab, harus diakui, tindakan persekusi dengan main hakim sendiri
juga disebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu.
Ada
kesan aparat keras dengan sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan kelompok
tertentu. Tapi, di sisi lain lambat dalam menindak kesalahan yang dilakukan
kelompok lain. Cara kerja demikian pada akhirnya ikut memantik kelompok yang
dirugikan memilih menjadi ’’polisi gadungan’’ dengan menindak kelompok yang
dibiarkan aparat negara.
Untuk
itu, fenomena persekusi yang ramai belakangan harus benar-benar diinsafi
aparat dengan melakukan evaluasi. Cara kerja profesional, proporsional, dan
independen tidak hanya dijadikan jargon. Sebab, dalam kasus tertentu, pelaku
maupun objek persekusi sama-sama korban. Yaitu, korban dari ketidakberesan kerja
kepolisian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar