Merekatkan
kembali Persatuan Bangsa
Mulyono ; Kepala Staf Angkatan Darat
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Juni 2017
PERANG merupakan fenomena politik dunia
dalam konstelasi hubungan antarbangsa, sebagaimana argumen Clausewitz bahwa
'perang hanyalah kelanjutan dari politik' atau 'kebijakan dengan cara lain'.
Namun, konsep geopolitik untuk menguasai wilayah yang menjadi salah satu
penyebab perang telah bergeser ke wilayah yang bersifat maya, membuktikan
kebenaran argumen Naisbitt tentang 'siapa yang menguasai media akan menguasai
dunia'.
Huntington dalam Clash of Civilization,
Remaking the World Order juga meramalkan bahwa pasca-Perang Dingin, benturan
antarperadaban dan agama akan menjadi penyebab konflik, sebagaimana yang
sedang terjadi saat ini. Konflik sosial yang disulut isu etnik ataupun agama
semakin mewarnai hubungan antarmasyarakat secara global. Wilayah perang sudah
semakin bergeser dari dimensi fisik ke nonfisik, tetapi dengan potensi
kehancuran yang tidak kalah dahsyat.
Ketergantungan manusia yang semakin tinggi
kepada teknologi informasi saat ini semakin memperluas kompleksitas dan
spektrum peperangan, salah satunya ialah perang informasi. Kita dapat merasakan
bahwa Indonesia saat ini juga sedang berada di tengah-tengah kecamuk perang
informasi. Cara berpikir dan perilaku masyarakat sangat mudah dibentuk dan
diarahkan informasi yang terdiseminasi melalui media sosial sehingga
pertentangan SARA semakin menguat.
Ujaran kebencian dan hoax pun demikian
mudahnya disebarkan untuk memengaruhi opini dan perilaku publik. Konflik teks
tersebut selanjutnya berkembang menjadi konflik SARA yang nyata, dengan
munculnya aksi-aksi yang menggalang solidaritas golongan tertentu untuk
melawan golongan lainnya. Bahkan terindikasi bahwa momentum tersebut juga
ditumpangi kepentingan untuk mengusung ideologi selain Pancasila ataupun
melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesadaran bahwa perang informasi sedang
dilancarkan pihak lain untuk menguasai Indonesia telah sering kali
disampaikan para pemimpin dan tokoh bangsa. Namun, kecepatan perkembangan
teknologi yang tidak diimbangi kesiapan masyarakat akibat rata-rata tingkat
pendidikan yang masih rendah berdampak pada kurang sikap kritis terhadap
setiap informasi yang diterima. Namun, layaknya tubuh manusia yang memiliki
kekebalan terhadap penyakit, bangsa Indonesia juga memiliki kekebalan atau
imunitas bangsa untuk tetap berdiri dan berdaulat.
Imunitas bangsa tersebut ialah nilai-nilai
luhur yang tumbuh berkembang bersama lahirnya bangsa Indonesia, di antaranya
menghargai perbedaan serta semangat persatuan dan kesatuan. Dalam kitab
Sutasoma, Empu Tantular menggambarkan kondisi dirinya sebagai pemeluk agama
Buddha yang hidup damai di tengah rakyat Kerajaan Majapahit yang mayoritas
beragama Hindu dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang artinya 'walaupun
berbeda tetapi tetap satu juga'. Sikap menghormati perbedaan terhadap
keberagaman sudah dimiliki bangsa Indonesia sejak dahulu.
Sementara itu, semangat persatuan dan
kesatuan telah diembuskan para pemuda sejak pendirian berbagai organisasi
kepemudaan pada 1908 dan dibulatkan dalam tekad para pemuda untuk bersatu
pada Sumpah Pemuda 1928. Dengan semangat tersebut, perjuangan melawan
penjajah yang selama 350 tahun bersifat kedaerahan mulai dilakukan bersama
dan mencapai hasilnya pada 17 Agustus 1945. Bersama dengan nilai-nilai luhur
lainnya, nilai-nilai tersebut terangkum dalam Pancasila. Dalam sejarah,
Pancasila telah terbukti mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi
bangsa kita.
Maka, Pancasila harus dikembalikan, tidak
hanya sebagai dasar negara, tetapi sebagai falsafah hidup bangsa yang
mempersatukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Pancasila juga mampu
mengingatkan bahwa keberagaman dan kerukunan adalah takdir bangsa Indonesia.
Ironis bila saat ini nilai-nilai luhur tersebut terasa seolah-olah tertimbun
oleh dahsyatnya gelombang modernitas. Maka, untuk memperkuat imunitas bangsa
Indonesia, nilai-nilai luhur tersebut perlu kita gali kembali.
Sebagai komponen utama pertahanan negara,
TNI-AD konsisten memperkuat imunitas bangsa tersebut melalui berbagai fungsi
teritorial dan kegiatan-kegiatan yang manunggal dengan rakyat. Dengan
berbagai perangkat struktural dan fungsinya, TNI-AD juga memiliki kemampuan
yang memadai untuk membantu pemerintah menangkal serangan perang informasi.
Komando kewilayahan di bawah TNI-AD, dengan aksesnya yang sampai ke perdesaan
melalui Babinsa, dapat menyiapkan masyarakat secara langsung menghadapi
ancaman perang informasi.
Secara nasional, seluruh komponen bangsa juga harus
aktif dalam usaha tersebut sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat 1 UUD 1945
bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar