Jeihan,
Suwung dan Jalan Kebudayaan
Candra Malik ; Budayawan Sufi
|
DETIKNEWS, 02 Juni 2017
Berbicara dengan Jeihan Sukmantoro adalah berbicara dengan
kedua pias mata yang bolong. Laksana lorong menuju ke kedalaman tanpa batas.
Dengan kuas dan cat hitam, pelukis sufi ini menghidupkan kanvas menjadi
semesta kegaiban yang mengundang tatapan kita untuk merasuk. Juga sore itu,
ketika saya bercengkerama dengannya. Tentang mitologi.
Duduk berdua saja, di antara keriuhan di studio lukis
Jeihan di Padasuka, Bandung kami mengobrolkan suwung, dimensi di mana waktu
tak lagi bergerak dan ruang tak lagi berubah. "Saya membaca buku Anda
yang berjudul Makrifat Cinta. Ya, bagus, sangat bagus, tapi masih lemah. Anda
harus naik lagi ke maqam suwung," kata pelukis kelahiran Solo, 26
September 1938 ini.
Menurutnya, meski telah mencapai tataran makrifat, cinta
tetap saja labil dan tak pelak menyebabkan seorang sufi masih bisa goyah.
"Ketika yang kita cintai juga dicintai orang lain, kita cemburu. Ketika
cinta terkena virus, sebut saja benci, kita melemah, bahkan bisa lantas
berubah," jelas Jeihan. Berbeda dengan suwung yang tiada sesuatu di
dalamnya selain kosong.
Kosong itu di atas suwung. Jika kosong itu kosong, alias
tanpa isi, maka suwung justru berisi penuh. Berisi apa? Nah, ini dia. Suwung
adalah kekosongan yang penuh dengan kekosongan itu sendiri. "Di titik
inilah, kita berasa dalam keadaan tan kena kinaya ngapa atau tidak lagi dapat
dijelaskan dan tan kena owah gingsir atau tidak lagi berubah," kata Si
Mata Kucing.
Membuka pameran tunggal lukisan dan peluncuran buku
berjudul Suwung pada Kamis 1 Juni 2017, Jeihan menyihir para hadirin dengan
gerak kuas di sebidang kanvas. Pada mulanya, lelaki tinggi kurus itu bermain
gurat-gurat, lantas menuliskan aksara Jawa, ha-na-ca-ra-ka. Namun, ia
kemudian menghapusnya dengan sayat-sayat gundah. Seperti hendak menutupi
kelebat kegelisahan yang menyeruak.
"Di dalam suwung, tak ada lagi yang bisa kita
katakan. Bahkan, kita tak boleh lagi berbicara. Kita menyimpan ucapan dalam
diam," ucap Jeihan. Sebagaimana Jeihan, pelukis Nasirun juga merasakan
daya magis ketika diberi kehormatan melukis serentak bersama pelukis Tisna
Sanjaya. "Saya tak tahu hendak melukis apa. Saya hanya mengikuti kata
hati," terangnya.
Nasirun membiarkan cat dan air untuk menelusuri jalan
takdirnya sendiri di atas kanvas. Hanya dalam bilangan menit, ia telah
menyelesaikan lukisan yang kalau diamati akan tampak keseimbangan dan
kesetimbangan di sana. Yin dan Yang. Di sisi lain, Tisna melukis pula lingkaran
hitam yang bertabur ayat-ayat Al Qur'an.
Bagi Tisna, Jeihan sudah lama selesai dengan urusan
syariat melukis. Bahkan, sejak awal Jeihan telah menunjukkan ciri khas
kesufian dalam berkarya, sebelum akhirnya identik dengan mata hitam.
"Jeihan adalah Maestro Dunia Nyata dan Dunia Maya. Ia tak banyak bergaul
dan bicara namun tidak berhenti menjelajah ke wilayah-wilayah terdalam
manusia."
Sesungguhnya, menurut Jeihan, hidup adalah tentang
mitologi dan metodologi. Mitologi diciptakan dengan spiritualitas, sedangkan
metodologi diciptakan dengan kebudayaan. "Suatu bangsa menjadi besar
jika ia hidup dengan mitologi. Kita tidak bisa menyepelekan mitos. Bangsa ini
semakin melemah karena menganggap mitos itu kuno dan tidak logis. Itu salah
besar," tegasnya.
Jeihan mencontohkan Jepang dengan mitos Amaterasu atau
Dewa Matahari dan Jerman dengan mitos keturunan Bangsa Arya yang digemakan
Hitler. "Anak-anak bangsa ini justru menyepelekan mitos. Dianggap
dongeng belaka atau klenik. Padahal, mitos memiliki kekuatan yang teramat
besar dari dalam diri manusia untuk membangkitkan spiritualitas kita sebagai
bangsa," ungkap Jeihan.
Tidak hanya memamerkan lukisan Syekh Siti Jenar, yang
dipajang bersebelahan dengan lukisan Sunan Kalijaga, Jeihan juga memamerkan
sebuah lukisan besar seorang perempuan. "Ini adalah lukisan Ratu Laut
Nusantara. Dialah ratu dari seluruh ratu di pantai dan laut bangsa maritim
ini," paparnya. Perempuan di kanvas Jeihan itu pun bermata gelap.
Setelah menjelaskan soal mitologi, Jeihan bicara soal
metodologi. "Bangsa ini harus kembali menempuh jalan kebudayaan.
Mengenal jatidirinya sendiri, berikhtiar meluruskan sejarah, dan menyembuhkan
yang terluka," ucap lelaki berumur 79 ini. Dan, kata Jeihan, kita
memerlukan dialog yang terus-menerus untuk mencapai perdamaian dan kedamaian.
"Jangan suka bermusuhan, bahkan jangan memusuhi yang
memusuhi kita. Rangkul, ajak bicara baik-baik. Itulah kita. Itulah
Nusantara," pungkas Jeihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar