In
Para Sesepuh Bangsa We Trust
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjema;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS, 02 Juni 2017
Orang tua, dapat dimaknai dalam dua arti. Pertama, sosok
yang secara biologis melahirkan kita sehingga padanya kita memiliki
keterikatan lahir dan batin sekaligus kewajiban menghormatinya. Kedua,
preferensi usia yang melingkupi manusia siapa pun itu.
Makna pertama, jika memakai pisau agama, mensyaratkan
sikap taqlid semata karena ia memang menentukan surga atau neraka bagi
anaknya. Makna kedua, tentu bisa kita perdebatkan. Lha wong terbukti, di era
sosmed ini, kita bisa melihat bahwa yang seringkali tidak dewasa,
kekanak-kanakan, suka ribut nggak penting, justru mereka yang tua, ngakunya
intelektual pula!
Tunggu dulu. Yang mau saya bahas di sini adalah orang tua
yang betul-betul berkonteks pada makna jamak di atas. Sesepuh ini bisa
dibilang orang tua kita secara biologis dalam soal berbangsa. Mereka
sama-sama lahir dan besar di Indonesia, hingga punya pengalaman dan kadar
rasa yang sama pada ibu pertiwi tempat kita mengambil saripati hidup ini.
Selain itu, mereka matang secara usia dan dewasa secara
gagasan dan kiprah. Sehingga tanpa perlu mendeklarasikan diri sebagai imam
besar pun, mata dunialah yang tanpa didorong-dorong telah memberi pengakuan.
Syahdan, pekan lalu pada 26 Mei, di University Club UGM,
Yogyakarta, tergelar hajatan bertajuk "Seruan Sesepuh Bangsa: Untuk
Perdamaian Indonesia". Gelaran yang dimoderatori Alissa Wahid tersebut
mempertemukan Buya Ahmad Syafii Maarif, Hj Sinta Nuriyah Wahid, Mohammad
Sobary, Kardinal Dharmaatmaja, Engkus Ruswana, Bhikku Pannavaro, Bhikku Nyana
Suryanadi, Pdt Sae Nababan, Pdt Gomar Gultom, Budi Suniarto juga memutar
video pesan nasihat dari Gus Mus dan Prof Quraish Shihab.
Di forum diskusi terbatas itu, Alissa melempar
keprihatinan, bahwa saat ini Buya Syafii Maarif adalah sosok yang
pernyataannya paling sering disalahpahami oleh media. Buya Syafii, yang baru
saja memperingati hati lahir ke-82 tahun ini melontar sebuah jawaban kelakar,
"Ya, sebab kini aku kini sendiri sebab ditinggalkan oleh dua sahabatku,
Gus Dur dan Cak Nur. Kalau masih ada mereka, pasti ramai-ramainya
bertiga."
Menyambung jawaban itu, Kang Sobary bercerita bagaimana
dinamika politik pada masa ketika Gus Dur, Cak Nur (Nurcholis Madjid) serta
Kuntowijoyo masih aktif di gelanggang diskusi. Tokoh-tokoh itu bersepakat
bahwa formalisme agama selalu membuat manusia pandai berbicara pada Tuhan
tetapi tidak pandai berbicara pada tetangganya sendiri. Gus Dur dan Cak Nur
selalu memperjuangkan pendekatan praktik agama, dibanding simbol-simbol dan
formalisme agama yang dieksploitasi pada keserakahan dan kebencian.
Menurut Romo Kardinal yang mengutip Paus, di dunia ini ada
kelompok manusia baik dan kelompok manusia buruk. Kelompok baik dipimpin oleh
ruh Allah. Kelompok ini bersifat inklusif, terbuka, mempersaudarai orang lain
dan peduli pada yang tersingkir. Sedangkan kelompok buruk dipimpin oleh ruh
jahat yang bersifat eksklusif, menyingkirkan orang lain, menyaingi, memusuhi,
membuat konflik hingga kekerasan.
Uniknya, untuk membangun kelompok baik, caranya justru
harus mewaspadai diri sendiri. Kelompok pribadi kita tidak boleh menjadi
tandingan bagi kelompok lain agar hasilnya tidak vice versa, alias saling
memusuhi.
Dalam forum diskusi terbatas itu, para pemuka agama lain
mengaku ingin belajar kepada Islam yang menurut paparan Hj Sinta Nuriyah
tidak hanya ingin membangun ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim),
namun juga ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia) dan ukhuwah
wathoniyah (persaudaraan berbangsa).
Sementara saya masih berpikir-pikir mengapa para sesepuh
ini repot-repot bertemu dan bikin rumusan untuk perdamaian, saya mengingat
peristiwa lain.
Masih terhitung awal tahun dan pada waktu yang berdekatan
jaraknya, dua bulan lalu bukankah juga telah didahului terselenggaranya
pertemuan sesepuh lain?
Pada 16 Maret lalu, bertempat di Pondok Pesantren Al
Anwar, Sarang, Rembang, puluhan Kiai khos hadir dan bermusyawarah secara
tertutup. Benar-benar tertutup, sebab saya yang kala itu menumpang kehadiran
bersama KH Yahya Cholil Staquf dan berharap bisa sedikit nguping dan
mengamati jalannya silaturahmi alim ulama ternyata hanya bisa menerima nasib
buat tertahan di depan pintu ndalem pondok utama.
Santri pondok pesantren menyambut kedatangan KH Ma'ruf
Amin, KH Ali Masyhuri, dan lain-lain dengan iring-iringan drumband yang
mendendangkan syair Ya Ahlal Wathon karya KH Wahab Chasbullah. Konon,
pertemuan yang diselenggarakan di Ponpes Al Anwar itu untuk memberi
penghormatan kepada KH Maimoen Zubair, sosok ulama paling sepuh yang dimiliki
negeri ini.
Siang terik berdebu di pesisir pantai utara itu
menghasilkan lima poin yang disebut Risalah Sarang. KH Achmad Musthofa Bisri
atau akrab kita sapa Gus Mus membacakan naskah, yang isinya antara lain
tentang ajakan kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia untuk senantiasa
mengedepankan pemeliharaan negara dengan menjaga sikap moderat dan bijaksana
dalam menanggapi berbagai masalah.
Para ulama NU menggarisbawahi soal kesenjangan ekonomi dan
sosial sebagai persoalan utama yang harus segera diselesaikan, sehingga pemerintah
didorong agar mengeluarkan kebijakan yang lebih mengutamakan masyarakat yang
lemah. Dan, terkait perkembangan teknologi informasi, para pemimpin
masyarakat diimbau untuk terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu
menyikapi informasi-informasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana
sehingga terhindar dari dampak-dampak negatif tersebut.
Sebetulnya, di antara dua pertemuan itu, ada sebuah
pertemuan tertutup lain pada bulan April di Pusat Studi Al Qur'an Pondok Cabe
asuhan Prof Quraish Shihab.
Dalam diskusi terbatas itu, Prof Quraish mendefinisikan
makna tawasuth (moderat) dan ghuluw (berlebih-lebihan). Saya yang menyempil
di pojok ruangan, mencuri dengar bahwa sikap moderat tidak bisa lahir dari
pribadi yang sedang emosi. Ia lahir dari kejernihan berpikir dan punya
kesadaran akan posisinya, sehingga tidak gampang terombang-ambing ke kanan
maupun ke kiri.
Nah, kalau ternyata belum pertengahan tahun sudah digelar
tiga pertemuan penting sekaligus genting dari para sesepuh begini, nampaknya
bukan saatnya lagi kita bertanya ada apa. Sebagai anak, kita mesti mulai diam
sejenak, menghela napas, dan mengaku: sudah seberapa bandel kita, sudah
seberapa parah kita berbuat onar hingga dijewer oleh Bapak dan Ibu kita dalam
berbangsa.
Lagi pula, jika kita semua sebagai anak-anak masih nekad
memperkeruh situasi berbangsa, barangkali para sesepuh itu hanya ingin
menunjukkan kepedulian dan kehadiran, bahwa seburuk apapun anak-anak yang
kini sebagian sedang hobi jadi buzzer politik maupun terombang-ambing arus
informasi, anak tetaplah anak yang perlu masukan dan mata air kebijaksanaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar