Apa
itu Ghirah Islam?
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya
bermain dengan ikan-ikan air tawar
|
DETIKNEWS, 05 Juni 2017
Bulan Ramadan memang sungguh bulan yang penuh berkah.
Meskipun pada Bulan Ramadan orang-orang muslim dituntut untuk menahan hawa
nafsunya, namun justru bulan ini bisa jadi momen untuk memanen rezeki
sebanyak-banyaknya. Orang-orang tak hanya sibuk berlomba-lomba dalam berburu
pahala, tapi juga sibuk berlomba-lomba dalam urusan berniaga.
Lihat saja, tiap kali Bulan Ramadan tiba, beberapa
komoditas akan mengalami peningkatan permintaan. Harga-harga kebutuhan pokok
pun merangkak naik karena permintaan tinggi. Pedagang sembako yang biasanya
hanya menjual gula, telur, dan tepung dalam satuan kiloan, di Bulan Ramadan
mereka bisa menjual bahan-bahan itu dalam satuan kwintal. Sebab, di Bulan
Ramadan banyak sekali orang yang beralih profesi menjadi pedagang makanan dadakan.
Pedagang pakaian yang biasanya hanya mampu menjual dalam
jumlah lusinan, kini bisa menjualnya dalam jumlah paket kodian. Sebab, banyak
orang yang ingin tampil necis di Bulan Ramdan dan Lebaran nanti.
Hal serupa ternyata juga dinikmati oleh para pengusaha
percetakan. Selain pada musim kampanye, mereka juga bisa memanen rezeki di
Bulan Ramadan. Banyak orang atau lembaga yang ingin mencetak baliho dan
banner yang memasang ucapan selamat menunaikan ibadah puasa.
Saya melihat baliho dan banner itu menghiasi berbagai
celah tempat di daerah saya, ketika sedang asyik berburu takjil gratis di
masjid agung. Di sepanjang jalan, di depan supermarket, atau di depan kantor
bupati. Beberapa bahkan memuat gambar wajah orang-orang yang tak saya kenal.
Mirip seperti baliho dan banner pada musim kampanye.
Kalimat-kalimat ucapan selamat menunaikan ibadah puasa
juga beragam. Kebanyakan hanya berisi kalimat ucapan selamat menunaikan
ibadah puasa lengkap dengan angka tahun hijriah. Namun, ada juga yang sedikit
kreatif dengan menambahkan beberapa frasa unik. Misalnya, sebuah banner yang
saya lihat di dekat masjid agung. Banner itu berbunyi "selamat
menunaikan ibadah puasa, semoga di bulan suci ini kita bisa terus menjaga
ghirah Islam"
Banner itu dibuat oleh salah satu organisasi Islam di
Indonesia, yang konon kabarnya akan segera dibubarkan oleh pemerintah karena
memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Saya sendiri, merasa
asing dengan frasa "ghirah Islam". Sepertinya saya belum pernah
mendengar frasa itu dalam pelajaran agama di sekolah dulu. Atau, mungkin pada
saat pelajaran tentang itu saya tak masuk kelas.
"Apa itu ghirah Islam?" kalimat itu terus
bergaung dalam benak saya sampai membuat salat agak tak khusyuk.
Maka, setelah Salat Tarawih, saya mencoba menelusuri arti
kata "ghirah" melalui bantuan Google. Dan, saya menemukan ulasan
panjang tentang arti dan makna kata ghirah.
Yang pertama, adalah penjalasan dari Buya Hamka yang
dinukil dari buku karangannya yang berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap
Islam (1983). Buya Hamka menjelaskan bahwasanya ghirah itu adalah perasaan
cemburunya orang beriman. Juga bisa diartikan sebagai sebuah semangat.
Bahkan, beliau menggambarkan ghirah Islam sebagai nyawanya umat muslim.
Sampai-sampai beliau menganggap umat Islam yang kehilangan
ghirah Islam itu serupa mayat. Bila hal itu terjadi, kata beliau,
"Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kocongkan
kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan."
Dalam penjelasannya, Buya Hamka juga mengingatkan bahwa
semangat ghirah Islam ini haruslah diamalkan dengan cara yang santun.
Analoginya seperti ketika kita memiliki seorang kekasih. Bila ada orang yang
menggoda kekasih kita, tak bolehlah kita langsung menggebuknya apalagi
membunuhnya.
Penjelasan kedua, saya temukan dalam tulisan berjudul
Menjaga Ghirah Umat Islam. Termuat dalam situs organisasi yang sama dengan
organisasi pemasang banner tadi. Dalam paparan tulisan itu, saya cukup
merinding ketika membacanya. Tulisan itu menjelaskan bahwa umat muslim harus
marah besar apabila marwah Islam dilecehkan. Lalu, si penulis mengaitkannya
dengan kasus penistaan agama pada musim pilkada lalu.
Tentu, itu adalah tafsir yang galak. Sedangkan saya, mana
bisa menjadi segalak itu. Menjaga marwah Islam dengan menyalakan api
kemarahan, rasanya begitu berat bagi saya. Saya lebih cenderung mengamini
beberapa penjelasan Buya Hamka. Bahwa ghirah Islam haruslah dilakukan dengan
cara santun. Seperti analogi tadi. Keberanian untuk menggebuk itu saja sudah
mengerikan. Apalagi membunuh.
Apakah para bocah yang berpawai membawa obor sambil
menyorakkan kata "bunuh" adalah bagian dari pengamalan ghirah
Islam? Saya tak tahu. Namun, saya tak bisa merengkuh tafsir seperti itu.
Betapa sulit saya menilik tafsir dari kata ghirah Islam di
zaman kiwari begini. Atau, barangkali akal saya saja memang terlalu dhaif
untuk mencernanya. Namun, yang pasti saya tak mau terjerumus dalam pengertian
yang dangkal. Pengertian yang bisa mengubah saya jadi muslim yang jumud. Saya
rasa ghirah Islam bukanlah semangat untuk mengobarkan peperangan.
Tuhan yang saya imani bukanlah tuhan yang menyukai api dan
darah. Ataupun, pentungan.
Agama Islam adalah agama kegembiraan. Bulan Ramadan adalah
buktinya. Saya begitu gembira ketika bisa mengudap takjil gratis di masjid
agung sampai kenyang. Saya juga gembira ketika dahulu di pesantren kilat bisa
mengikuti berbagai acara yang menyenangkan. Saya juga gembira ada tayangan
iklan TV menarik setiap kali Bulan Ramadan tiba.
Saya kira, ghirah Islam adalah semangat yang mampu
membangkitkan segenap rasa kegembiraan itu. Seperti perasaan ketika mengudap
penganan takjil gratis. Sebuah momen peristiwa yang senantiasa membuat
semangat kegembiraan sebagai muslim terpompa. Semangat Islam Rahmatan Lil
Alamin, yang mendorong kita mencintai sesama manusia.
Tentu saja juga perasaan yang mampu menjauhkan saya dari
kelahi dan caci-maki.
Jika yang dimaksud dengan ghirah Islam adalah pemahaman
seperti itu, maka saya akan dengan mudah bersepakat. Karena saya pasti akan
langsung lahap menikmati hidangan takjil gratis yang ada di mana pun. Tanpa
perlu mencari tahu terlebih dahulu pilihan politik si panitia di pilkada
lalu, misalnya. Apabila ada yang melakukan hal itu, sungguh menyedihkan
hidupnya.
Negeri ini sudah terlalu lama tergulung dalam masalah yang
itu-itu saja. Inilah saatnya bergembira. Marilah kita menjalankan ibadah di
Bulan Ramadan ini sembari terus menjaga semangat kegembiraan—tanpa harus
bersikap sengit dengan yang berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar