Antisipasi
Perubahan Raskin ke Bantuan Nontunai
Bustanul Arifin ; Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila;
Ekonom Senior Indef
|
KORAN
SINDO, 09 Juni 2017
Sebagaimana dimaklumi, tahun 2017 ini pemerintah telah
resmi melaksanakan kebijakan bantuan pangan nontunai (BPNT) di 44
kabupaten/kota menggunakan voucher atau kartu pintar, sebagai proses transisi
perubahan kebijakan subsidi beras untuk keluarga miskin (raskin).
Sempat beredar kabar bahwa pemerintah akan melaksanakan penyaluran
BPNT untuk seluruh Indonesia pada awal Juli 2017. Tapi, spekulasi kabar
tersebut belum tentu benar, walau konon merupakan hasil rapat terbatas
Kabinet Kerja. Pemerintah berencana akan melaksanakan penyaluran penuh pada
awal 2018. Diskusi ke - bijakan dan debat publik me - madai masih amat
diperlukan sambil pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan penyaluran BPNT di 44 kota tersebut. Untuk daerah-daerah yang berada
di lokasi jauh (remote ) dan tidak terjangkau internet atau ko - nek si data,
perlakuan khusus masih akan dilakukan.
Meka - nisme bantuan kepada keluarga miskin atau
prasejahtera masih akan menggunakan bentuk natura (beras) seperti biasa.
Desain kebijakan BPNT ini sebenarnya cukup sederhana. Rumah tangga sasaran
(RTS) di - beri voucher senilai Rp110.000 per bulan. Voucher dapat di tebus
untuk membeli beras dan telur pada harga pasar di pedagang pasar tradisional
dan warung yang telah teregistrasi. Tujuan - nya untuk memberikan pangan
bergizi seimbang (beras-kar bo - hidrat dan telur-protein) ke - pada keluarga
miskin. Ke bijak - an BPNT ini untuk memberikan banyak pilihan kepada masya -
ra kat miskin, tidak hanya beras, tapi juga protein, sekaligus untuk
mendorong usaha ritel rakyat dan warung masyarakat untuk tumbuh dan berkembang
dan melayani masyarakat miskin.
Secara perlahan, kebijakan BPNT ini menggeser peran Bulog
dalam penyaluran raskin kepada sejumlah usaha ritel dan warung yang tersebar
di setiap permukiman. Untuk pilot project 44 kota pada tahun 2017 ini sekitar
1,3 juta RTS (kini berubah istilah menjadi keluarga penerima manfaat/KPM)
atau hampir 8,5% dari 15,5 juta total penerima raskin, akan dilayani oleh
pengecer yang telah dilengkapi perangkat EDC (electronic data capture).
Sekitar 14.000 toko dan pengecer kebutuhan pokok terlibat dalam program BPNT
ini, tidak terkecuali Rumah Pangan Kita, toko jaringan pengecer yang dikelola
Bulog.
Bulog menjalin kerja sama de ngan sejumlah bank milik negara
(BUMN) untuk mengantisipasi pelaksanaan BPNT ini kelak. Kementerian Pertanian
juga mengembangkan konsep Toko Tani Indonesia (TTI) yang juga menjual bahan
kebutuhan pokok dengan harga yang disubsidi, walau belum jelas, apakah kelak
akan juga didaftarkan sebagai jaringan pelaksana BPNT. Kebijakan raskin telah
berumur hampir 20 tahun, berawal dari program operasi pasar khusus (OPK) pada
1998 untuk mem bantu mengurangi dampak krisis ekonomi Asia. Raskin secara
resmi diluncurkan pada 2002, menjelang perubahan status Bulog dari lembaga pe
me - rintah nondepartemen (LPND) menjadi BUMN ber bentuk per -
usahaanumum(perum).
Justifikasi ilmiah program raskin cukup kuat, karena 65%
pangsa pengeluaran keluarga miskin dialokasikan untuk konsumsi pangan.
Sekitar 26% pangsa pengeluaran mereka di belanja kan untuk beras sehingga
membuat keluarga miskin Indonesia amat rentan terhadap kenaikan harga beras.
Ketika pemerintah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang juga
diikuti pe ning katan harga eceran beras, angka kemiskinan sempat me -
ningkat menjadi 28,59 juta (11,22%) pada Maret 2015, dari 27,73 juta (10,96)
pada Septem - ber 2014. Angka kemiskinan memang berhasil diturunkan menjadi
27,76 juta (10,7%) pada September 2016, walau dengan laju yang semakin me lambat.
Selama hampir 20 tahun ini program raskin yang telah menjadi
bagian tugas publik (PSO) Bulog telah dicoba berkali-kali untuk dihentikan,
tetapi belum berhasil. Misalnya, raskin per - nah dituding menjadi penyebab
turunnya harga beras atau ga - bah di tingkat petani sehingga mengurangi
insentif bagi pe - tani untuk meningkatkan pro - duksinya. Sekian temuan ten
- tang ketidakefektifan Raskin, termasuk yang dilaporkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada 2014.
Raskin tidak sepenuhnya memenuhi enam tepat: tepat harga,
sasaran, waktu, jumlah, kualitas, dan administrasi, terutama karena ekses
atau unsur implementasi kebijakan. Program Raskin terlalu sulit untuk
dihilangkan begitu saja karena konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin
dan anak terlantar wajib dipelihara negara. Bukti empi - ris menunjukkan
bahwa ke ter - lambatan penyaluran raskin berdampak pada peningkatan harga
beras, sebagaimana yang terjadi terakhir pada awal 2015.
Pada 2017 ini Bulog masih ditugasi untuk menyalurkan 1,5
juta ton beras kepada 14,2 juta atau 91,5 % dari keluarga miskin (RTS) selama
ini, karena 1, 3 juta (8,5 %) telah menjadi keluarga penerima manfaat (KPM)
program BPNT. Program raskin tidak langsung dihilang kan, tapi diubah dari
kebijakan stabilisasi harga beras dan perlindungan sosial menjadi hanya
kebijakan perlindungan sosial. Suatu hasil evaluasi inter nal di lima sampel
kota pelaksana BPNT menun - juk kan bahwa data KPM tidak sesuai dengan
Pedoman Umum (Pedum) BPNT Tahun 2017. Pen cairan voucher bulan Januari-Februari
mengguna - kan data program perlindungan sosial (PPLS) Tahun 2011.
Penyaluran BPNT dilakukan un - tuk waktu dua bulan
sekaligus atau dirapel. Kesiapan toko ecer - an yang ditunjuk atau e-warung
belum optimal, karena jumlah ewarut ini. Pertama, skema penyaluran beras dari hasil serapan gabah oleh
Bulog, termasuk sandi khusus Sergab, jika Bulog masih tetap ditugaskan untuk
me laku - kan stabilisasi harga pa ngan.
Skema pembiayaan baru perlu diciptakan untuk mening katkan
cadangan beras peme rin tah (CBP) dari 300.000 ton selama ini
menjadi 2,5 juta ton sebagai mana selama ini disalur kan melalui program raskin.
Tentu terlalu riskan untuk menye rah kan urusan beras sepenuhnya pada
mekanisme pasar karena negara seakan tidak hadir pada saat harga gabah jatuh
di musim panen atau pada saat harga beras melambung pada kemarau nanti.
Kedua, mekanisme peng - amanan lonjakan harga beras di tingkat konsumen, yang
tidak akan cukup hanya dengan harga acuan pembelian dan penjualan dalam
Peraturan Menteri Per - dagangan Nomor 27/2017 tang gal 5 Mei 2017.
Jika seluruh 15,5 juta rumah tangga miskin harus “masuk
pasar beras” tentu akan menambah permintaan baru, walaupun masih tergantung
pada elastisitas pendapatan konsumen. Apalagi, jika masyarakat miskin beramai-ramai
meningkatkan konsumsi beras kualitas tinggi, yang tidak selamanya dapat dipenuhi
dari produksi domestik. Ketiga, desain kebijakan perberasan baru yang sama
sekali berbeda dengan kebijakan perberasan dalam Instruksi Presiden Nomor
5/2015.
Instrumen kebijakan dan mekanisme pengadaan gabah dan
beras harus berubah, apalagi karakter sistem produksi dan konsumsi beras
berbeda antardaerah dan antarbudaya. Jika antisipasi ini gagal dilakukan,
dampak yang akan ditanggung oleh sistem perekonomian akan sangat besar dan
sulit terbayangkan sebelumnya. ●
( Mohon maaf, karena proses edit belum diselesaikan )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar