Target
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 29 April 2017
Karangan bunga
tak mampir di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak ada pula kerumunan
orang yang memberikan semangat kepada pimpinan komisi antikorupsi itu. Padahal
KPK baru saja menetapkan Syafruddin A. Tumenggung, mantan Kepala Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi
Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada
era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Syafruddin
memberi SKL kepada Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia
(BDNI), bank yang mendapat kucuran dana BLBI sebesar Rp 30,9 triliun. Padahal
saat itu Sjamsul masih punya utang Rp 3,7 triliun kepada negara.
Langkah KPK layak
dipuji, meski tak harus lewat karangan bunga. Kasus BLBI yang sudah
bertahun-tahun nyaris dilupakan ini kembali diangkat. Bayangkan, negara
dirugikan hingga Rp 147 triliun, angka yang besar saat utang terus bertambah
pada era pemerintahan Joko Widodo ini. KPK seharusnya tak berhenti dengan
menjadikan Syafruddin tersangka, tapi ada target yang lebih luas. Semua
penjahat yang menilep dana BLBI harus diungkap dan diseret ke pengadilan.
Syukur ada harta yang masih bisa ditarik dari penjarah uang negara itu.
Hambatan
apakah yang ada di KPK sehingga kasus-kasus besar banyak yang tidak tuntas?
Padahal KPK selalu berjanji untuk meneruskan kasus besar itu jika ada yang
mempersoalkan. Kasus besar tersebut misalnya BLBI, Century, Hambalang, bahkan
kasus Rumah Sakit Sumber Waras-yang dikira orang sudah selesai. Adakah KPK
kekurangan penyidik? Adakah KPK mendapatkan tekanan? Atau keduanya, ada
gerakan siluman yang berupaya melemahkan KPK.
Yang
dikhawatirkan justru KPK tak punya target kapan kasus-kasus itu bisa tuntas.
Bekerja tanpa target bisa menyebabkan kehilangan fokus. Belum selesai satu
kasus, sudah muncul kasus lain yang lebih seksi untuk dikerjakan. Kasus
Hambalang, misalnya. Salah satu pejabat yang terseret kasus itu, mantan
Menteri Olahraga Andi Mallarangeng, sudah keluar dari penjara-meski berstatus
cuti bersyarat. Namun Choel Mallarangeng, yang disebut sebagai otaknya,
justru masih dalam proses hukum. Tak ada penjelasan kenapa hal itu terjadi,
seperti halnya tak ada penjelasan kenapa Syafruddin A. Tumenggung baru
dijadikan tersangka sekarang.
Rupanya target
tak jelas dan target yang tak tercapai bukan monopoli KPK. Dewan Perwakilan
Rakyat adalah biangnya lembaga yang targetnya tak pernah tercapai, terutama
di bidang legislasi. Rancangan undang-undang menumpuk menunggu pembahasan.
Bahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum terus dibuat molor, yang
membuat Komisi Pemilihan Umum kelabakan menyusun tahap pemilu. Timbul
pertanyaan, ini sengaja atau tidak?
Barangkali
hanya Presiden Jokowi yang tergolong ketat dengan target. Jokowi mengancam
para menteri, jika tak bisa memenuhi target yang ditetapkan, menteri akan
diganti. Tentu bukan gertak karena Jokowi termasuk presiden yang paling gemar
mengganti para menterinya. Tidak ada yang salah karena itu hak prerogatif
presiden, meski keseringan reshuffle bisa membuat kesan pemerintah Jokowi
tidak stabil. Siapa tahu targetnya terlalu tinggi dan kendala di lapangan
berat. Apakah dengan pergantian menteri itu target langsung bisa dipenuhi?
Bukankah menteri yang baru masih perlu adaptasi?
Namun, apa pun
itu, sistem target penting, apalagi mengurus negara yang besar ini. Target
harus dibuat untuk memacu langkah kerja dan memastikan berhasil atau tidaknya
sebuah pekerjaan. Namun harus realistis dan bukan untuk menakuti-nakuti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar