Problematika
Eksekusi Putusan TUN
Amzulian Rifai ; Ketua
Ombudsman RI
|
KORAN
SINDO, 16
Mei 2017
Laporan dugaan malaadministrasi ke Ombudsman terus
meningkat. Jika pada 2015 terdapat 6.859 laporan, pada 2016 menjadi 9.030.
Untuk tahun 2017 diperkirakan berjumlah lebih dari 15.000 laporan. Di antara
laporan itu terkait dengan tidak dieksekusinya putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Keseriusan Indonesia memastikan adanya perlindungan hak-hak
warga negara di antaranya dengan menerbitkan Undang- Undang Nomor 5/1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kebijakan ini untuk menjamin warga
negara terlindungi dari putusan sewenang-wenang dari mereka yang sedang
memegang kekuasaan.
PTUN adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa tata usaha negara. Dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5/1986 dinyatakan
bahwa sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk sengketa
kepegawaian.
Indonesia adalah negara hukum yang di antaranya dicirikan
oleh kehadiran pengadilan TUN. Melalui pengadilan ini setiap warga negara
dapat melakukan perlawanan terhadap putusan penguasa yang mungkin dinilai
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan
wewenang. Bahkan di era sekarang ini juga perlawanan terhadap putusan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik
(good governance). Cukup luas cakupan kebijakan yang masuk kategori ini.
Namun, dalam realitanya kerap kali putusan pengadilan TUN justru terkendala
dalam eksekusinya.
Di antara putusan TUN menjadi “macan ompong” karena tidak
dijalankan oleh pihak yang kalah. Akibatnya, wibawa putusan TUN sering
rendah. Bahkan tidak jarang memunculkan persoalan baru setelah putusan.
Laporan masyarakat kepada Ombudsman, di antaranya oleh advokat, juga
cenderung meningkat terkait putusan TUN yang tidak dieksekusi. Upaya pelapor
sudah mentok, sudah melapor ke mana- mana namun putusan TUN yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) tetap tidak dijalankan. Publik tidak
memahami problematika eksekusi itu, faktanya putusan TUN itu tidak dijalankan.
Problematika Putusan TUN
Persoalan utama pada putusan TUN adalah pada tataran
eksekusinya. Di seluruh Indonesia banyak putusan TUN, bahkan yang sudah
memiliki kekuatan hukum tetap sekalipun, yang tidak dapat dieksekusi atau
secara terang-terangan tidak dilaksanakan oleh pihak yang kalah.
Ada beberapa penyebab mengapa putusan TUN sering tidak
dapat dieksekusi. Pertama, karena putusan tersebut semata-mata didasarkan dan
hanya mempertimbangkan aspek formal, padahal ada fakta yang sudah berubah.
Dalam kasus-kasus pemberhentian kepala daerah yang tanpa melalui proses di
DPRD, misalnya, sering sudah ada pejabat pengganti. Memang apabila pelaksana
tugas kepala daerahnya adalah pejabat struktural kementerian, mungkin tidak
masalah. Problemnya, apabila pelaksana tiga kepala daerah adalah wakilnya,
maka potensi masalah lebih besar.
Sering kali hubungan kepala daerah dan wakilnya semakin
meruncing mendekati pilkada kedua. Memang pemberhentian itu dapat tanpa
melalui mekanisme DPRD jika seorang kepala daerah didakwa melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima
tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana
terhadap keamanan negara, dan/ atau perbuatan lain yang dapat memecah belah
NKRI (Pasal 83 [1] UU Pemda).
Ada kepala daerah langsung diberhentikan tanpa melalui
mekanisme DPRD, padahal tidak terlibat di antara tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 83 (1) tersebut. Pengadilan TUN pasti memenangkan kepala
daerah yang diberhentikan tanpa melalui proses DPRD karena tidak masuk
kategori pidana tersebut. Namun, muncul persoalan
karenalazimnyasudahadakepala daerah dengan status pelaksana tugas atau malah
pengganti yang sudah definitif yang sering dilingkari parpol pendukungnya.
Sekalipun putusan TUN memenangkan penggugat, dapat dipastikan sulit
mengembalikannya dalam jabatan semula.
Implikasinya
Setidaknya ada dua implikasi penting akibat sulitnya
mengeksekusi putusan TUN tersebut. Pertama, wibawa dan kepercayaan publik
terhadap peradilan TUN rendah. Kondisi ini memperburuk citra peradilan secara
umum. Padahal, sudah sejak lama institusi-institusi negara, termasuk
pengadilan, belum memperoleh kepercayaan publik sebagaimana yang diharapkan.
Implikasi kedua, sangat mungkin akibat putusan TUN yang bermasalah dalam
eksekusinya justru memunculkan masalah baru.
Sudah pasti ada pihak yang dirugikan dalam kondisi
tersebut. Pihak yang menang bahkan sampai pada tingkatan upaya hukum
terakhir, gagal mendapatkan haknya sekalipun telah dimenangkan dalam
beperkara di pengadilan melalui proses panjang dan mahal. Masalah baru justru
memunculkan ketidakpastian hukum baik bagi pihak yang menang ataupun pihak
yang kalah. Jika itu menyangkut suatu jabatan, pihak yang kalah mungkin sudah
menduduki jabatannya dan biasanya bersikeras tidak ingin melepaskan jabatan
tersebut.
Sebaliknya, pihak yang dimenangkan dalam putusan TUN
seharusnya memperoleh kembali jabatan yang “memang haknya.” Namun, akibat
problem dalam implementasi putusan, kemenangannya hanya di atas kertas.
Kondisi ini yang terkadang menimbulkan keributan di lapangan.
Perubahan ke Depan
Bagi mereka yang kecewa, Putusan TUN seringkali seperti
macan ompong karena lemah penegakannya (enforcement). Mestinya ada terobosan
agar kondisi ini berubah di masa yang akan datang dan menghadirkan kewibawaan
institusi hukum. Ada beberapa alternatif langkah yang mungkin dapat
dipertimbangkan. Langkah pertama, sebelum mengambil keputusan, hakim harus
progresif dengan memperhatikan realitas di lapangan, jangan terlalu
legalistik.
Selama ini seakan hakim hanya mempertimbangkan aspek
formal, sama sekali tidak memperhatikan realitas dan berbagai perubahan yang
sudah terjadi dalam suatu kasus. Dalam hal seorang kepala daerah
diberhentikan, misalnya, pemberhentian ini pastilah menyalahi prosedur
apabila dilakukan tanpa melalui proses/ mekanisme yang ada di DPRD. Artinya,
pemberhentian itu harus atas usulan dari DPRD, kecuali karena terlibat
kejahatan korupsi, misalnya.
Bagaimana jika seorang kepala daerah terlibat kejahatan di
luar Pasal 83 (1) seperti narkoba dan langsung diberhentikan? Jika hanya
berpegang kepada aturan formal, maka tindakan Mendagri salah dan kalah jika
di-PTUN-kan. Padahal, narkoba adalah kejahatan luar biasa dan harus dihadapi
dengan tindakan luar biasa pula. Hakim progresif tidak juga asal mengabulkan
hanya karena terpenuhinya aspek formal. Misalnya terhadap objek suatu jabatan
yang disengketakan yang senyatanya tinggal beberapa hari saja. Artinya,
sekalipun dimenangkan, tetapi di saat putusan diterbitkan masa jabatan yang
disengketakan itu sudah habis.
Alternatifnya, ada perintah kompensasi terhadap pihak yang
menang karena batal menduduki jabatan. Jika pun memenangkan perkara, maka
problemnya masa jabatan yang diperebutkan itu sudah lewat waktu. Pasal 117
Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang PTUN telah mengantisipasi kemungkinan ini.
Bahwa jika tergugat tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan disebabkan
oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan dijatuhkan
dan/atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu
kepada ketua pengadilan dan penggugat.
Dalam Pasal 117 juga ditentukan bahwa penggugat dapat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang telah mengirimkan putusan
agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain
yang diinginkannya. Artinya, pihak yang menang yang telah kehilangan
jabatannya sepatutnya mendapatkan kompensasi agar putusan PTUN itu ada
wibawanya. Langkah lain dengan cara mengumumkan di media massa siapa pejabat
yang melecehkan putusan PTUN. Mungkin langkah ini efektif jika dapat
mempermalukan pejabat tersebut dan sebagai sarana kontrol publik.
Apalagi jika publikasi itu menjadi rujukan penilaian oleh
atasan pejabat terkait. Pasal 116 UU Nomor 51 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di antaranya menegaskan dua
poin penting. Pertama, bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak
tidak terpenuhinya kewajiban.
Kedua, di samping diumumkan di media massa cetak, ketua
pengadilan harus mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan. Seharusnya, pengadilan adalah lembaga tertinggi
bidang hukum yang harus dipatuhi.
Padahal beberapa lembaga negara yang lain “juga mengeluh”
karena saran/rekomendasi mereka terkadang tidak dipatuhi oleh
menteri/pimpinan lembaga negara. Kondisi ini juga merefleksikan rendahnya
kepatuhan para birokrat kita terhadap hukum. Jangankan sekadar saran/
rekomendasi oleh lembaga, bahkan putusan pengadilan saja masih ada yang tidak
dipatuhi oleh birokrat kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar