Pengikut
Habib Rizieq
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 06
Mei 2017
KETIKA
awal pekan lalu (25/4/2017), melalui program talkshow di sebuah televisi
berita, saya mengatakan bahwa pengikut Habib Rizieq tidak banyak, muncullah
banyak tanggapan melalui media sosial. Meski banyak yang menanggapi positif
dan menyatakan sependapat, ada juga yang tidak sependapat dengan pernyataan
saya itu.
Yang
tidak setuju dengan pendapat saya mengatakan, ratusan ribu bahkan jutaan
orang yang datang mengikuti aksi damai di Jakarta pada Aksi Damai 411 dan 212
adalah fakta bahwa pengikut Habib Rizieq sangat banyak.
Tapi
bagi saya sendiri jutaan orang yang ikut Aksi 411 dan 212 bukanlah pengikut
Habib Rizieq, melainkan orang-orang yang “menumpang” untuk ikut melakukan
protes. Bahkan saya meyakini, pada umumnya pengikut kedua aksi itu adalah
warga NU dan Muhammadiyah.
Bagi
saya, tidak mungkin massa sebanyak itu bisa terkumpul jika bukan dari warga
Muhammadiyah dan NU. Saya kenal dengan begitu banyak orang NU dan
Muhammadiyah yang ikut aktif menggalang aksi itu, bahkan nama dan
foto-fotonya terpampang di media massa.
Ada
yang menyanggah: bukankah PBNU dan PP Muhammadiyah sudah jelas menyatakan
tidak ikut ambil bagian dalam aksi-aksi itu? Saya pun menanyakan juga kepada
sebagian dari peserta aksi itu dan mereka menjawab, meskipun dirinya orang NU
atau Muhammadiyah, mereka ikut aksi bukan sebagai warga Muhammadiyah atau NU.
Mereka
ikut aksi itu dengan memakai baju sebagai anggota organisasi lain seperti
anggota majelis taklim, anggota kelompok arisan, anggota keluarga alumni satu
sekolah, pengurus-pengurus yayasan, bahkan sebagai muslim perseorangan.
Bahkan
saya juga mendapat banyak kiriman swafoto dari kolega-kolega, bekas
mahasiswa, keluarga, dan kenalan-kenalan saya yang bekerja di kantor-kantor
pemerintah maupun swasta dari seluruh Indonesia seperti jaksa, hakim, dokter,
dan artis yang diambil dari arena Aksi 411 dan 212. Mereka memakai baju koko
atau hijab putih dan berswafotoria dengan latar belakang Masjid Istiqlal dan
Monumen Nasional (Monas).
Menurut
saya mereka mengikuti aksi-aksi itu bukan karena mengikuti Habib Rizieq,
melainkan ikut menumpang untuk melakukan protes atas ketidakadilan sosial dan
lemahnya penegakan hukum yang terus terjadi selama era Reformasi. Mereka
terpaksa ikut menumpang karena, maaf, organisasi resminya, NU dan
Muhammadiyah, lebih banyak melakukan amar makruf dan kurang melakukan nahi
munkar.
PBNU
dan PP Muhammadiyah, karena posisinya yang harus hati-hati, memang lebih
banyak menyampaikan amar makruf (memberi petuah dan imbauan-imbauan untuk
kebaikan) daripada melakukan nahi munkar (mencegah, memprotes, dan bersikap
tegas atas kemungkaran).
Nah,
orang-orang yang mencari saluran untuk melakukan protes dan “nahi munkar”
itulah yang ikut kegiatan insidental (bukan sebagai peserta tetap) aksi-aksi
yang digalang Habib Rizieq. Ada yang mengatakan, ibarat merawat tanaman, PBNU
dan Muhammadiyah yang giat menyiram agar subur, tetapi Habib Rizieq yang
membasmi hamanya.
Jadi
jika hanya melihat aksi Superdamai 411 dan 212 saya tidak melihat adanya
ancaman serius dari gerakan radikalisme atau intoleransi. Peserta Aksi 411
dan 212 itu tidak bertujuan melawan ideologi negara Pancasila dan NKRI dan
bukan ingin memusuhi orang yang berbeda ikatan primordial, melainkan hanya
menumpang protes.
Setelah
itu mereka pulang, kembali ke rumah NU dan Muhammadiyah masing-masing dan
tidak punya ikatan melembaga dengan Habib Rizieq, apalagi dengan FPI.
Ini
berbeda dengan pengumpulan massa dalam istigasah NU yang dirakit dalam
hubungan batin mendalam. Contohnya, tanpa ramai-ramai di medsos atau
publikasi yang hiruk-pikuk dan hanya melalui pesan dari mulut ke mulut,
istigasah NU Jawa Timur beberapa waktu yang lalu berhasil menyedot ratusan
ribu umat yang berdoa untuk bangsa dan NKRI dengan tangis khusyuk.
Kalau
begitu, apakah ada gerakan radikalisme dan intoleransi di Indonesia? Jika itu
yang ditanyakan, jawabannya “tentu ada”. Terutama dalam primordialisme agama,
pada agama apa pun, bibit-bibit radikalisme pasti ada.
Mereka
ingin membongkar secara radikal sistem yang sudah disepakati sambil melakukan
tindakan-tindakan kekerasan dan intoleran. Namun jumlah mereka ini sangat
sedikit, hanya percikan kecil dari mainstream, dan selalu mudah dideteksi
serta diatasi karena bukan hanya ditangani aparat negara, tetapi juga dilawan
oleh rakyat.
Banyak
orang yang (terjebak) ikut aksi insidental kaum radikal dan intoleran karena
kaum radikal dan intoleran yang sedikit itu menggunakan isu ketidakadilan,
kesenjangan sosial ekonomi, merajalelanya korupsi, dan kemiskinan untuk
melakukan aksi-aksi protes.
Kaum
radikal dan intoleran sekarang ini sudah terdeteksi juga masuk ke
sekolah-sekolah untuk memengaruhi generasi muda, tetapi pintu masuk rayuannya
bukanlah ideologi, melainkan isu ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka yang
ikut melakukan protes itu sebenarnya tidak radikal dan tidak intoleran,
pokoknya hanya menumpang protes.
Dengan
demikian jika kita benar-benar ingin menyelamatkan NKRI yang terbangun megah
di atas fondasi Pancasila, kita harus menunjukkan kepada rakyat bahwa kita
benar-benar berusaha menegakkan keadilan, berusaha membangun kesejahteraan
rakyat sesuai dengan perintah konstitusi, dan melakukan perang total terhadap
korupsi. Itu saja yang harus dilakukan jika tugas-tugas pemerintahan ingin
agak ringan dan mendapat dukungan rakyat.
Buktinya,
setiap ada pengungkapan dan tindakan tegas terhadap koruptor, rakyat serempak
mendukungnya dengan menggelegar. Buktinya lagi, setiap pemerintah membuat
kebijakan prorakyat alias populis, rakyat gemuruh menyambutnya dengan
sukacita.
Bagi
umat Islam sendiri, melalui telaah mendalam dan perjuangan panjang yang
kemudian menjadi produk ijtihad para ulama NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas
lain, NKRI yang berdasar Pancasila sudah final dan harus dipertahankan berapa
pun biayanya. Pancasila itu ibarat akta kelahiran bagi Indonesia sehingga
tidak bisa diganti selama kita ber-Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar