Menyikapi
Hak Imunitas Wakil Rakyat
Tjipta Lesmana ; Anggota
Komisi Konstitusi MPR 2004
|
JAWA
POS, 06
Mei 2017
ISTILAH
’’imunitas’’ berasal dari kata immune dan immunity, kata bendanya. Immune
mengandung arti kebal, kekebalan. Anak, misalnya, sejak usia dini harus
diberi macam-macam imunisasi agar tubuhnya kebal dari berbagai penyakit.
Di banyak
negara demokrasi, wakil rakyat di parlemen diberi hak kekebalan dalam
batas-batas tertentu. Tujuannya, melindungi kebebasan, kewenangan, dan
martabat parlemen. Hak imunitas atau privilese diperlukan agar wakil rakyat
bisa melaksanakan fungsi-fungsinya secara bebas, tanpa rasa takut apa pun. Di
negara kita, hak imunitas juga diberikan kepada para anggota DPR sebagaimana
diatur dalam pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Dalam UUD 1945 yang asli, hak
imunitas anggota dewan sama sekali tidak diatur. Hak kekebalan wakil rakyat
baru muncul pada amandemen kedua UUD 1945 sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari perubahan sistem politik kita: dari otoritarian menuju demokrasi
liberal yang bertumpu kepada kebebasan sebebasnya.
Terkait dengan
santernya desakan sejumlah wakil rakyat kita agar ketentuan tentang hak
imunitas diperjelas dalam revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)
akhir-akhir ini, tidak ada salahnya jika kita mengingatkan setiap wakil
rakyat untuk betul-betul memahami apa makna hak imunitas. Jangan berpikir
dengan hak imunitas anggota DPR bisa bertindak seenaknya dalam segala hal
karena mereka itu immune, kebal terhadap tindakan aparat keamanan, aparat
intelijen, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saya khawatir
anggota dewan seperti Fahri Hamzah belum memiliki pemahaman yang utuh tentang
hak kekebalan. Karena munculnya wacana hak imunitas ketika KPK melancarkan
’’serangan frontal’’ terhadap DPR –yang sebetulnya bukan begitu!– terkait
skandal korupsi e-KTP, publik pun mempunyai persepsi bahwa usul hak kekebalan
bagi anggota DPR, terutama, bertujuan agar wakil rakyat tidak bisa ditangkap
KPK. Kalau hal itu yang memang ada di kepala wakil rakyat kita, pandangan
tersebut jelas keliru dan ngawur.
Menurut
literatur hukum tata negara di Amerika, hak imunitas tidak menghilangkan
kewajiban setiap wakil rakyat untuk tunduk kepada ketentuan
perundang-undangan yang berhubungan dengan karakteristik civil society. Dalam
hal ini, dalam hal pelaksanaan civil society, hak dan kewajiban anggota DPR
tidak berbeda dengan hak dan kewajiban orang per orang siapa pun. Intinya,
asas equality before the law juga berlaku penuh kepada setiap anggota DPR.
Hal itu secara jelas ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945: ’’Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’’.
Dengan
demikian, jika seorang anggota DPR diduga kuat melakukan tindak kejahatan
korupsi yang merugikan negara, KPK berhak menindaknya, termasuk menangkap dan
menahannya. Kewenangan KPK itu dijamin oleh UU tentang KPK. Pedoman KPK
menangkap dan menahan seseorang yang diduga koruptor adalah 2 (dua) alat bukti
awal yang kuat. Siapa pun tidak punya hak menggugat kebenaran ’’dua bukti
awal’’ yang dimiliki KPK. Nanti majelis hakim pengadilan tipikor yang akan
membuktikannya. Dalam konteks ini, terjaringnya anggota DPR sama sekali tidak
ada yang berkaitan dengan hak kekebalan dewan.
Seorang ahli
hukum tata negara Amerika mengemukakan, hak privilese anggota senat dan/atau
parlemen [Amerika] tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku dalam konteks,
dalam batas-batas gedung senat/parlemen dan persidangan senat/parlemen.
Artinya, dalam persidangan, setiap wakil rakyat memiliki freedom of speech
yang seluasnya. Dia tidak bisa dijerat undang-undang tentang libel (fitnah)
terkait dengan ucapan atau pernyataan yang keluar dari mulutnya. Hal itu
diatur dalam article 1 section 6 C1.1 Part 3 Konstitusi Amerika. Bahkan,
dalam persidangan, wakil rakyat boleh membuka dokumen rahasia, kalau hal itu
dianggap perlu, untuk memperkuat argumentasi terkait dengan masalah yang
sedang dibahas dalam persidangan.
Karena itu,
usul memasukkan klausul hak imunitas anggota DPR dalam revisi UU MD3 sah-sah
saja mengingat di banyak negara yang menganut sistem demokrasi (liberal),
jaminan hak imunitas memang tertulis dalam konstitusi atau undang-undang.
Tentu, masyarakat, khususnya para akedemisi dan paktisi hukum, harus
sama-sama mencermati konten usul tersebut. Jangan sampai sifat hak imunitas
yang masuk revisi UU MD3 kebablasan alias menabrak praktik hukum tata negara
di kebanyakan negara, temasuk menabrak asas persamaan hak dan kewajiban di
muka hukum! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar