Moratorium
UN bukan hanya Kepentingan Siswa
Seto Mulyadi ; Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma;
Ketua Umum Lembaga Perlindungan
Anak Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Mei 2017
SEPUCUK
pesan masuk ke ponsel saya. Unik, asyik, sekaligus memancing senyum: ‘Boleh
minta tolong gak, Kak? Aku cuma pengen Kakak bacain ayat di bawah ini: Qaa-iman bil qisthi dzaalikumullahu fa
annaa tu-fakuun. Makasih ya, Kak. Karena Kakak udah baca ayat tadi,
berarti kakak udah doain aku untuk berhasil mengerjakan soal semester dengan
nilai yang tinggi dan bagusss. Sebarin ke banyak orang, biar banyak juga yang
doain Kakak!” Seketika membayang roman muka semringah bercampur sejumput
gelisah si pengirim SMS tadi. Dari seribu wajah para pelajar yang menjalani
ujian, mungkin hanya satu-dua yang cerah seperti itu. Selebihnya sulit
melupakan fenomena yang satu ini. Fenomena yang boleh jadi hanya berlangsung
di Indonesia, yaitu kesurupan massal para pelajar. Terlebih menjelang dan
tepat pada musim ujian, belasan siswa di sekian banyak sekolah silih berganti
disebut-sebut dirasuki makhluk halus.
Penjelasan
dari perspektif psikologi ialah boleh jadi para pelajar tersebut mengalami academic burnout alias kepayahan bukan
alang-kepalang akibat tingginya beban sekolah. Kepanikan di kalangan siswa
saban kali tiba masa ujian juga melatarbelakangi modus kejahatan berupa
pembocoran jawaban soal ujian dan praktek perjokian. Persoalannya kejerihan
akademis sedemikian rupa sangat sering disorot sebagai problem siswa semata.
Publik abai bahwa keletihan akademis siswa sesungguhnya berhubungan dengan
beban serupa yang juga dialami para guru. Demikian simpulan studi Oberle
(2016). Ujian, yang kadung diposisikan sebagai penentu kualitas anak didik,
tentu merupakan sumber tekanan tersendiri bagi guru. Riset Ozmen (2012)
menegaskan itu. Manakala stres sudah melampaui ambang toleransi psikis guru,
kinerja mereka akan terganggu. Guru yang menderita stres tinggi berakibat
pada rendahnya manajemen aktivitas mengajar. Dampaknya proses belajar siswa
pun tidak akan bermutu.
Karena
terpaksa belajar dalam situasi yang jauh dari tenang dan tenteram, kadar
hormon kortisol siswa melonjak. Itulah penanda autentik bahwa para anak didik
pun gelisah batin. Namun, terkesan abai terhadap tumpukan masalah sedemikian
rupa, ujian sekolah termasuk ujian nasional tetap berlangsung seolah keadaan
normal-normal saja. Begitu siklusnya berlangsung, berputar terus-menerus,
bolak-balik mengantar siswa plus guru ke lorong academic burnout yang
menganga. Siswa dengan kondisi academic burnout berisiko tinggi mengalami
kesulitan belajar. Akibatnya pencapaian akademis mereka tidak akan sesuai
ekspektasi. Prestasi siswa anjlok, guru pun pada gilirannya bertambah stres lagi.
Kesengkarutan
itu pula yang tampaknya turut berkontribusi bagi terbentuknya sebutlah
situasi darurat guru di Tanah Air. Sekian banyak daerah mengalami penurunan
jumlah guru secara besar-besaran. Peminat pendidikan guru, meski tidak
ekstrem, juga menunjukkan tren terus melandai. Menjadi guru, bak temuan
studi-studi mutakhir, sama artinya dengan menjalani salah satu pekerjaan di
dunia yang paling membuat stres. Sebagai ilustrasi, Richardson dan Watt
(2013) menemukan bahwa satu dari empat guru mengalami academic burnout.
Sayangnya hingga kini, lagi-lagi, kerisauan akibat krisis guru masih kalah
jauh jika dibandingkan dengan kegelisahan akan jumlah peserta didik yang
gagal studi.
Barangkali
keinsafan akan lingkaran setan itu pula yang mendorong Mendikbud Muhadjir
Effendy beberapa waktu lalu berketetapan hati ingin menghentikan
penyelenggaraan ujian nasional. Ujian nasional, sebagaimana kritik banyak
pihak, faktanya memang telah menjadi momok rutin bagi seluruh pemangku
kepentingan di dunia pendidikan. Kecemasan masif yang melanda sekian banyak
pihak akibat penyelenggaraan ujian nasional, itulah manifestasi negative
washback effect. Bahkan tidak hanya guru dan siswa sebagaimana telah
digambarkan, orangtua juga kalut. Tambahan lagi, aparat penegak hukum ikut dikerahkan
sehingga memunculkan situasi seolah ujian nasional adalah masa genting penuh
marabahaya, penentu hidup-semaputnya siswa. Mari jujur; apa yang menyenangkan
dari situasi seperti itu? Di mana esensi pendidikan dalam keadaan kritis
tersebut?
Dari
situ bisa dipahami bahwa menganggap kegagalan pada ujian nasional semata-mata
sebagai bukti rendahnya mutu siswa sesungguhnya pernyataan yang kurang
proporsional dan terlalu simplistis. Pencapaian siswa yang kurang memuaskan
pada ujian nasional mutlak bertali-temali dengan kinerja guru. Moratorium
ujian nasional, seperti yang dikehendaki Menteri Muhadjir, hendaknya tidak
dicermati semata-mata dari sisi kepentingan siswa. Perlu digarisbawahi, ujian
nasional bukan sebatas ihwal proses penakaran kualitas belajar anak didik.
Dengan berpijak pada penalaran di alinea-alinea terdahulu, di dalam rencana
penghentian ujian nasional juga terkandung kepentingan para guru.
Masyarakat
tidak bisa tutup mata akan hal tersebut. Baik terpenuhi maupun terabaikannya
kepentingan guru, ujung-ujungnya ialah juga baik terealisasi maupun
ternihilkannya kepentingan siswa untuk menjalani proses belajar di dalam
lingkungan yang didesain sekondusif mungkin.
Mengesampingkan
kepentingan salah satu pihak, dalam hal ini guru, niscaya akan ‘menggenapi’
terwujudnya atmosfer pendidikan seperti yang Sorenson (1999) takutkan. Stres
menjadi warna pekat dunia pendidikan abad ke-21, seiring dengan meningginya
standar akuntabilitas serta diperkenalkannya serbaneka kebijakan dan
inisiatif baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar