Membongkar
Megakorupsi BLBI
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum dan
Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
|
SUARA
MERDEKA, 29 April 2017
KPK
RI baru saja membuat kejutan karena tengah membongkar kasus megakorupsi dana
talangan dari APBN berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp
144, 5 triliun.
Selain
itu, KPK juga menetapkan Syafruddin Tumenggung, mantan Kepala Badan Peyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) sebagai tersangka dan akan segera menyusul
tersangka lain. (Suara Merdeka, 27 April 2017).
Kasus
BLBI ini terjadi pada tahun 1998 saat terjadi krisis moneter (Krismon) yang
meyebabkan publik tak percaya pada bank (rush) atas dasar rekomendasi
International Monetary Fund (IMF) pemerintah membuat skema penyehatan
perbankan berupa skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia (BI) kepada
bank-bank yang mengalami masalah likuiditas dengan mengucurkan dana sebesar
Rp 144, 5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah.
Namun
kebijakan pemerintah ini disalahgunakan oleh sejumlah pihak sehingga negara merugi
sebesar Rp138,4 triliun, karena dana likuiditas ini tidak dikembalikan lagi
pada negara.
Kasus
BLBI jika dilihat dari nominal jumlah uang merupakan kasus penyalagunaan
keuangan negara terbesar (megakorupsi) sepanjang sejarah Indonesia. Karena
itu, kasus ini selalu mengalami majumundur dalam penuntasannya, kendati telah
terjadi pergantian tiga presiden (Megawati, SBY, dan Jokowi).
Barulah
di era Jokowi ini menggeliat kembali saat KPK tengah melakukan perlawanan
pelemahannya, melalui berbagai aksi elite politik terkait pengungkapan kasus
korupsi E-KTP Rp 5 triliun yang melibat sejumlah politikus di Senayan.
Karena
itu patut diapresiasi positif keberanian KPK di era Agus Rahadjo ini coba
menginisiasi kembali kasus BLBI yang sebelumnya selalu berhenti di tengah
jalan baik saat KPK di bawah pimpinan Taufikur Rahman Ruki, Busyoro Muqodas
dan Abraham Samad. Mampukah kasus megakorupsi BLBI ini dapat dibongkar oleh
KPK mengingat kasus ini telah berlangsung lebih dari dua dekade ?
Jika
melihat ke belakang kasus BLBI ini sangat erat kaitannya dengan aroma politik
kekuasaan, karena kasus ini menyangkut ìuang besarî, tentu akan berkait
dengan ìorang-orang besarî di negeri ini.
Perlu
diingat kebijakan bantuan Likuiditas BLBI ini lahir di era Presiden Megawati
Soekarno Putri dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002
tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah
menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban
pemegang saham (PKPS).
Berdasarkan
Inpres itu debitur BLBI dianggap telah menyelesaiakn utang meski baru
melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai 70
persen dan sisanya berdasarkan jaminan serifikat aset dari BPPN.
Debitur
Nakal
Kepala
BPPN Syafudin Tumengung diduga kuat terlibat dalam pemberian Surat Keterangan
Lunas (SKL) kepada sejumlah debitur nakal penerima dana BLBI.
Paling
tidak terdapat 14 debitur dana BLBI yang telah dibebaskan dari hukuman
pidana, saat itu, yaitu, Anthoni Salim (salim Group), Sjamsul Nur Salim
(BDNI/Gajah Tunggal Group), Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Irsjad (Bank
RSI), dan The Nin King ( Bank Dana Hutama).
Hingga
kini sejumlah penguasa Taipe ini tidak berada di Indonesia dan kabur ke luar
negeri. Yang paling menonjol dalam kasus ini adalah Syamsul Nur Salim
(pemilik BDNI) yang diduga kuat berhutang pada negara sebesar Rp 3,7 triliun
karena BDNI menerima bantuan BLBI paling besar yakni Rp 47, 2 triliun.
Syamsul
telah menyerahkan sejumlah aset BDNI ke BPPN, namun masih berhutang sebesar
4,75 trilun, namun pada April 2004 kepala BPPN Syafrudin Tumengung
mengeluarkan Surat Keterangan lunas (SKL). Syamsul Nur Salim diduga kuat
berkongkalikong dengan kepala BPPN dengan mengusulkan restrukturisasi atas
kewajiban penyerahan aset BDNI kepada BPPN.
Diduga
kuat kepala BPPN tidak sendiri dalam mengeluarkan SKLkepada 14 debitur
termasuk Syamsul Nur Salim, akan tetapi bersama-sama dengan Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) di era Presiden Megawati Soekano Putri yang diketuai
oleh Menteri Keuangan saat itu beserta jajaran Tim Ekonomi era itu.
Sulit
dihindari bahwa kasus BLBI ini hanya berhenti di kebijakan (discreation)
sebab dalam realitasnya kasus BLBI sempat menyerat aparat Kejaksaan, yakni
Urip Tri Gunawan divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan
Khusus Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta pada hari Kamis tanggal 4 September
2008 .
Diperlukan
keberanian KPK membongkar kasus megakorupsi BLBI ini untuk mengumpulkan
sejumlah bukti memadai sesuai KUHAPdan menelisik secara cermat adanya
keterlibatan elite politik di era ini melalui inisaiasi dengan PPATK, BPK dan
Kejaksaan Agung untuk merangkai dan merunut kasus ini agar dapat
menuntaskannya. Agar kasus megakorupsi ini tak hanya menjadi buah di bibir
masyarakat, namun tak pernah tuntas diselesaiakan di setiap rejim yang
berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar