Memaknai
Peringkat Layak Investasi
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 22 Mei 2017
Pada 19 Mei 2017, Standard & Poor's (S&P)
menaikkan peringkat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBB- atau menjadi layak
investasi. Ini berarti bahwa Indonesia dikategorikan sebagai negara yang
layak untuk investasi. S&P melihat bahwa kondisi ekonomi makro Indonesia
mengalami perbaikan, baik dari sisi fiskal, moneter, maupun sektor
perdagangan internasional.
Dari sisi fiskal, S&P menilai Indonesia mampu
mengurangi risiko. Pemerintah dianggap berhasil mengendalikan pelebaran
defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Indonesia juga dinilai
bisa mengurangi risiko peningkatan rasio utang pemerintah terhadap produk
domestik bruto. Ke depan juga diproyeksikan terjadi perbaikan penerimaan
negara sebagai dampak kebijakan pengampunan pajak dan pengelolaan pengeluaran
yang terkendali.
S&P juga mengapresiasi kinerja moneter. Bank Indonesia
(BI) dinilai sebagai bank sentral yang memegang peran kunci dalam menjaga
pertumbuhan yang berkelanjutan. BI berhasil menjaga stabilitas ekonomi makro
dan sistem keuangan sehingga terhindar dari gejolak. Perekonomian Indonesia
mampu tumbuh di kisaran 5 persen dengan inflasi yang terkendali dan diikuti
oleh nilai tukar rupiah yang stabil.
Selain dari fiskal dan moneter, S&P juga memasukkan
variabel membaiknya kinerja sisi eksternal. Selama Januari-April 2017,
kinerja neraca perdagangan surplus dengan pertumbuhan ekspor yang positif.
Total ekspor mencapai 48,5 miliar dollar AS, naik 10,31 persen selama setahun
dengan ekspor migas naik 18,26 persen dan ekspor nonmigas naik 9,16 persen.
Sementara pada periode yang sama tahun lalu, total ekspor hanya 45 miliar
dollar AS atau turun 12,65 persen selama setahun. Sebagai dampak turunnya
harga minyak dunia, ekspor migas turun 39,19 persen. Akibat penurunan harga
komoditas, ekspor nonmigas turun 9,32 persen. Surplus selama 2016 lebih
disebabkan oleh penurunan impor yang sangat tajam karena pertumbuhan ekspor
sebenarnya masih negatif.
Status layak investasi pada level BBB- terakhir kali
diberikan S&P pada 10 Oktober 1997. Indonesia membutuhkan waktu hampir 20
tahun untuk kembali mendapatkan status layak investasi dari S&P. Tak
heran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung melejit mencapai rekor
tertinggi 146,4 poin menjadi 5.791,9 atau naik 2,6 persen pada Jumat lalu.
Nilai tukar rupiah menguat dari Rp 13.405 per dollar AS menjadi Rp 13.320 per
dollar AS.
Tak dimungkiri, para pelaku pasar keuangan memang terlihat
nyata. Namun, ke depan, yang lebih penting adalah bagaimana membuktikan bahwa
Indonesia memang negara yang sangat layak sebagai tujuan investasi. Tidak
hanya investasi di sektor keuangan (portofolio), tetapi juga investasi
langsung di sektor riil (FDI), terutama masuknya investasi ke industri
manufaktur, industri hulu-hilir, dan industri padat karya.
Transformasi struktural
Dengan demikian, sekalipun neraca perdagangan telah
surplus, Indonesia tetap harus berhati-hati dan tetap fokus pada kebijakan
transformasi struktural. Belum lagi jika melihat kecenderungan penetrasi
impor konsumsi yang semakin melonjak. Selama 2016, impor konsumsi tumbuh
13,54 persen selama setahun, sementara impor bahan baku dan modal
masing-masing minus 5,37 dan minus 9,64 persen. Sekalipun selama
Januari-April, penetrasi impor barang konsumsi relatif sudah menurun, 7,78
persen dan impor bahan baku dan modal sudah kembali meningkat masing-masing
15,85 persen dan 6,29 persen. Sayangnya, pertumbuhan impor bahan baku dan
barang modal bukan untuk memenuhi kebutuhan industri manufaktur, tetapi lebih
untuk pemenuhan kebutuhan percepatan pembangunan infrastruktur. Alhasil
industri pengolahan pada triwulan I-2017 hanya mampu tumbuh 4,2 persen.
Di samping itu, sekalipun mengalami kenaikan prestasi,
sebenarnya ekspor Indonesia juga belum kembali pulih seperti Januari-April
2015 yang mencapai 52,1 miliar dollar AS dan belum stabil. Jika dibandingkan
dengan Maret 2017, kinerja ekspor April mengalami penurunan minus 10,3
persen. Kinerja ekspor rentan karena masih didominasi oleh komoditas, seperti
kelapa sawit, mineral dan bahan tambang, serta karet.
Membaiknya transaksi perdagangan memang meningkatkan
cadangan devisa. Dengan demikian, nilai tukar rupiah akan cenderung stabil.
Apalagi, jika aliran modal masuk semakin deras setelah pengumuman S&P.
Namun, untuk mencapai tujuan pembangunan, indikator itu saja belum cukup.
Tantangan terbesar bagaimana investasi yang masuk dapat menciptakan nilai
tambah dan penciptaan lapangan kerja.
Selama era pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang
Yudhoyono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Indonesia juga pernah
menikmati derasnya aliran modal yang masuk. Pada masa itu, pertumbuhan
ekonomi juga tinggi, nilai tukar stabil, dan terjadi surplus neraca
perdagangan yang cukup besar. Yang perlu diingat, deindustrialisasi justru
terjadi dan sampai hari ini Indonesia gagal melakukan transformasi
struktural. Akibatnya, angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan
ekonomi masih saja tetap tinggi.
Untuk itu, peringkat layak investasi ini tidak boleh hanya
dimaknai sebagai status belaka. Ini harus mampu menggerakkan investasi yang
produktif. Tentu, tidak cukup hanya mengelola risiko fiskal dan terwujudnya
stabilitas saja. Kuncinya adalah efektivitas stimulus fiskal dalam menggerakkan
dunia usaha. Juga tidak hanya sekadar percepatan pembangunan infrastruktur,
tetapi pembangunan infrastruktur yang bisa menurunkan ekonomi biaya tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar