Guru,
Sang Agen Perdamaian
Dody Wibowo ; Mahasiswa Doktoral di bidang
Pendidikan Damai,
University of Otago, Selandia
Baru
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Mei 2017
PADA 2 Mei
lalu kita memeringati Hari Pendidikan Nasional. Pada tanggal itu kita juga
memperingati kelahiran tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Salah
satu pesan yang diberikan beliau untuk para pendidik ialah Ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kalimat dalam bahasa
Jawa yang mengajak para pendidik untuk bisa memberi contoh yang baik, bekerja
bersama pembelajar sambil tak lupa terus memotivasi, dan memberi kepercayaan
kepada pembelajar sambil tetap mengawasi dan mendukung.
Pendidik dalam
lingkup pendidikan formal ialah guru. Guru menjadi agen perubahan yang utama
di dalam kelas, yang mendampingi anak didik bertransformasi ke arah yang
lebih baik. Untuk itu, menurut Association
of Childhood Education International (1997) guru harus mampu menumbuhkan
dan mendorong interaksi sosial yang positif di antara anak didiknya dan tak
lupa juga membangun hubungan kolaborasi yang positif dengan orangtua dan
masyarakat yang lebih luas dalam rangka mendukung pembelajaran anak didik.
Tantangan untuk guru
Pendidikan di
Indonesia sesuai dengan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menginginkan agar manusia Indonesia menjadi manusia yang
memiliki kecerdasan intelektual dan watak yang baik.
Dalam kata
lain, manusia Indonesia diharapkan menjadi manusia yang damai, yang mampu
menggunakan akal pikiran dan memanfaatkan ilmu untuk kebaikan, bukan hanya
untuk diri sendiri melainkan juga bagi masyarakat luas dan lingkungan.
Tugas yang
diamanatkan undang-undang kepada para guru penuh dengan tantangan, apalagi
dalam situasi Indonesia dan dunia saat ini.
Tantangan-tantangan
tersebut antara lain menguatnya radikalisme dan intoleransi, sentimen
kelompok, dan semakin maju pesatnya teknologi yang beberapa di antaranya
malah digunakan untuk keburukan.
Lalu bagaimana
cara guru menyikapi tantangan yang ada agar tujuan pendidikan nasional bisa
tercapai?
Untuk
menghadapi tantangan-tantangan yang disebut di atas, penguasaan materi dan
metode mengajar belumlah cukup. Guru perlu melengkapi diri dengan pemahaman
tentang nilai-nilai universal, seperti kebebasan, keadilan, hak asasi
manusia, kesetaraan gender, toleransi , dan penghargaan atas hak hidup
(Begum, 2012).
Nilai-nilai
tersebut, yang merupakan nilai-nilai penyusun budaya damai, perludiinternalisasi
dalam diri para guru (Deveci, Yilmaz, dan Kardag, 2008) sehingga nantinya
terefleksi dalam aktivitas guru dalam pembelajaran (Forde dkk., 2006).
Internalisasi nilai-nilai damai
Menjadi guru
yang juga agen perdamaian, guru perlu memahami bahwa keadaan damai bukan
hanya terjadi ketika perang atau kekerasan fisik, verbal, dan psikologis
tidak ada lagi.
Damai yang
utuh juga mensyaratkan terselesaikannya masalah kekerasan struktural seperti
kesenjangan ekonomi dan keadilan sosial, dan terselesaikannya masalah
kekerasan kultural seperti diskriminasi dan intoleransi (Galtung, 1969).
Dengan
menggunakan pemahaman tersebut, guru melihat keadaan lingkungan di
sekeliling, baik di tingkat lokal maupun tingkat internasional.
Guru harus
selalu memperbarui diri dengan berbagai informasi yang berkembang di
kehidupan sehari-hari.
Informasi-informasi
tersebut dapat diperoleh melalui surat kabar dan internet, membaca
artikel-artikel ilmiah, mengikuti pelatihan, dan observasi langsung di
lingkungan tempat tinggal untuk menemukan masalah-masalah yang ada di
masyarakat.
Selain itu,
guru juga bisa menggali informasi dari pengalaman-pengalaman anak didiknya
untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi mereka.
Temuan-temuan
yang didapatkan kemudian diolah dan dimaknai dengan menggunakan kerangka
pikir perdamaian yang utuh.
Proses
pemaknaan dapat dilakukan dengan menggunakan media menulis jurnal refleksi
pribadi yang dilengkapi dengan diskusi reflektif, baik bersama teman sejawat
maupun bersama para anak didik di kelas (Moon, 2004).
Kegiatan
melakukan refleksi, baik melalui tulisan maupun diskusi, menghubungkan
pengetahuan yang sudah dimiliki mengenai perdamaian yang utuh dengan
pengalaman yang didapat dari hasil observasi dan diskusi, kemudian dianalisis
dan menghasilkan pemikiran mengenai apa yang perlu dilakukan untuk merespons
keadaan yang ada (McAlpine dan Weston, 2002).
Hasil
pemikiran dari proses refleksi selain akan memperluas pengetahuan yang
dimiliki, juga akan mentransformasi diri guru sebagai individu yang menjiwai
dan menghidupi nilai-nilai damai sehingga pada akhirnya membawa manfaat bagi
lingkungan sekitar (Brockbank dan McGill, 2007).
Nilai-nilai
damai tidak cukup dengan hanya dikenal dan dipraktikkan sebagai latihan.
Lebih dari
itu, nilai-nilai damai harus diinternalisasi untuk kemudian menjadi pedoman
berperilaku bagi guru dalam bertindak dan bekerja.
Internalisasi
itu sendiri tidak tercapai hanya dengan satu kali refleksi, tetapi melalui
hasil proses refleksi yang terus-menerus.
Untuk itu,
guru perlu membangun kebiasaan baru untuk melakukan refleksi nilai-nilai
damai.
Biasanya tidak
mudah jika kita ingin membangun kebiasaan baru dan melakukannya sendiri, akan
tetapi guru bisa menyiasati dengan melakukan kegiatan refleksi bersama dengan
anak didik di kelas.
Dalam proses
pembelajaran di kelas, guru menggunakan studi kasus dari peristiwa di
kehidupan nyata sebagai sarana untuk menghubungkan materi pembelajaran dengan
realita dan nilai-nilai damai.
Guru bisa
meluangkan waktu di akhir pembelajaran untuk melakukan refleksi bersama anak
didik sehingga mereka memahami kegunaan pengetahuan dan keterampilan yang
mereka pelajari di kelas untuk kehidupan nyata juga sekaligus
menginternalisasi nilai-nilai damai.
Penutup
Dunia yang
damai bagi sebagian orang sering dianggap sebagai mimpi, akan tetapi mimpi
itu mungkin saja terwujud.
Guru sebagai
agen perdamaian perlu untuk menjaga agar mimpi itu tetap ada melalui
internalisasi nilai-nilai damai dalam diri dan juga ingat bahwa untuk
mencapai mimpi dunia yang damai, prosesnya juga harus dilakukan dengan
cara-cara yang damai dan tanpa kekerasan.
Kembali pada
pesan Ki Hadjar Dewantara di atas, pada hakikatnya beliau ingin mengingatkan
bahwa guru merupakan manusia pembelajar.
Untuk menjadi
guru yang merupakan agen perdamaian, guru harus selalu belajar; memperbarui
diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan, memperbarui diri dengan
perkembangan situasi di sekelilingnya, dan senantiasa menghidupi nilai-nilai
damai dalam setiap langkahnya.
Guru yang
damai tak pernah berhenti belajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar