Darurat
Kekerasan Seksual pada Perempuan
Sri Wiyanti Eddyono ; Dosen
Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan
Spesialisasi Hukum Perempuan dan Anak, Viktimologi, dan Hukum Hak Asasi
Manusia
|
KOMPAS, 09 Mei 2017
Sungguh
mengejutkan. Badan Statistik Indonesia melaporkan sekitar 28 juta perempuan
Indonesia pernah mengalami kekerasan (Kompas, 31/10/2016). Coba bandingkan dengan data Komisi Nasional
Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Disebutkan bahwa
245.548 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan ke 820 instansi penegak
hukum dan lembaga layanan korban 2016.
Kedua data
menunjukkan disparitas antara jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dan
jumlah perempuan yang melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Dalam
konteks kekerasan seksual, jumlah kasus yang diproses secara hukum juga
sedikit, 5 persen dari kasus yang dilaporkan.
Artinya,
negara dalam keadaan genting karena tidak memiliki daya tanggap kuat dalam
menjamin keamanan warga negara berjenis kelamin perempuan. Negara dan sistem
hukumnya tidak mampu melindungi mereka yang menjadi korban, terlihat dari
sedikitnya laporan kasus dan yang diproses secara hukum.
Kekerasan
seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal
baru. Kekerasan terhadap perempuan disebut kekerasan berbasis jender (gender
based violence) karena penyebab utamanya adalah relasi kuasa yang tidak
seimbang dan terejawantahkan dalam wilayahkeluarga, masyarakat, dan negara.
Dalam berbagai
analisis disebutkan, kekuasaan yang tidak seimbang menjadi ladang subur
kekerasan. Mereka yang memiliki kuasa lebihberpotensi sewenang-wenang,
sedangkan mereka yang kuasanya lebih rendah atau direndahkan rentan menjadi
bulan-bulanan kekerasan.
Walaupun telah
lama disuarakan, kekerasan seksual belum ditanggapi secara serius oleh
penyusun kebijakan di Indonesia. Jumlahnya cenderung sebagai dark number;
menimbulkan persepsi kuat bahwa kekerasan tersebut hanya dialami segelintir
perempuan. Adanya mitos bahwa kekerasan hanya terjadi bagi perempuan tidak
berpendidikan dan kelas ekonomi menengah bawah memperkuat pandangan bahwa
seolah-olah kekerasan hanya isu sekelompok tertentu.
Di sisi lain,
budaya cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), meletakkan korban
perempuan sebagai pihak yang berkontribusi terhadap kejadian kekerasan.
Budaya kerap menjadi penghalang bagi korban melaporkan dan menindaklanjuti
kasus yang telah dilaporkan. Ketidakpercayaan korban terhadap sistem hukum
sangat rendah.
Kondisi-kondisi
di atas harus segera dikoreksi. Pertama, jaminan dan perlindungan terhadap
perempuan korban kekerasan perlu direvisi dan dibangun ulang. Kedua,
penyadaran secara terus-menerus di berbagai lini bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah masalah mendasar kehidupan berbangsa dan bernegara,
bermasyarakat dan berkeluarga. Ketiga, pendidikan dan penyiapan struktur dan
infrastruktur penegakan hukum.
Sayangnya,
koreksi di atas belum tergambar dalam proses penyusunan kebijakan nasional,
khususnya di DPR, terutama dalam penyusunan dan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan penundaan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
sebagai RUU inisiatif DPR.
Hukum abai
Rancangan KUHP
yang kini dibahas DPR bersama pemerintah mengabaikan berbagai bentuk
kekerasan seksual berbasis jender. Padahal, rancangan ini untuk menggantikan
KUHP peninggalan kolonial yang menjadi sumber utama hukum pidana di
Indonesia. Keberadaan RUU KUHP juga dimaksudkan untuk sinkronisasi berbagai
bangunan hukum pidana di Indonesia yang sekarang dianggap liar dengan begitu
banyaknya UU khusus yang berlaku di luar KUHP.
Rancangan KUHP
yang bertujuan memperkuat substansi hukum agar sesuai dengan perkembangan
zaman ternyata tidak melek terhadap realitas kekerasan berbasis ketimpangan
jender.
Rancangan ini
hanya mengatur beberapa bentuk kejahatan yang dapat digolongkan kekerasan
seksual, yaitu pemerkosaan, percabulan, pornografi, perdagangan seksual,
pengobatan yang dapat menyebabkan gugurnya kandungan, persetubuhan dengan
anak di bawah umur, dan melarikan perempuan (anak perempuan) untuk menguasai.
Jenis-jenis ini terbilang sedikit dibandingkan dengan berkembangnya jenis
kekerasan seksual dalam masyarakat.
Komnas
Perempuan dan kelompok masyarakat sipil yang peduli perempuan korban
kekerasan setidaknya mengidentifikasi 15 bentuk kekerasan seksual yang sering
dialami perempuan. Beberapa bentuk yang kerap terjadi adalah pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, pelacuran paksa, dan
pemaksaan perkawinan, tidak eksplisit diatur dalam Rancangan KUHP. Artinya,
realitas kekerasan seksual ini tidak diakui sebagai persoalan hukum pidana.
Pengaturan
tentang kekerasan seksual itu tersebar di sejumlah bab. Ada yang dimasukkan
ke dalam tindak pidana perampasan kemerdekaan, tindak pidana terhadap nyawa,
tetapi ada pula yang dimasukkan ke dalam tindak pidana kesusilaan, yaitu
pornografi, pemerkosaan, dan percabulan. Penempatan inisesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan konsepsi yang berlaku saat ini. Pengaturannya sangat
lentur dibalut moralitas ketimbang meletakkannya sebagai kejahatan serius
yang membahayakan diri perempuan.
Rumusan
pemerkosaan dalam rancangan ini belum menjembatani perempuan disabilitas yang
menjadi korban pemerkosaan. Dibandingkan KUHP, ada perkembangan rumusan yang
memperluas tentang pemerkosaan tidak semata-mata persetubuhan arti sempit,
karena pemerkosaan berarti perbuatan persetubuhan yang bertentangan dengan
kehendak atau tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, tetapi rumusan
untuk perempuan disabilitas kurang kuat.
Ada rumusan
bahwa persetubuhan dengan perempuan di bawah 18 tahun disebut pemerkosaan,
tetapi menjadi masalah jika hal ini menyangkut penyandang disabilitas yang
secara umur berusia di atas 18 tahun, tetapi secara kemampuan intelektual
masih di bawah 18 tahun. Padahal, sebagaimana data yang ditemukan Komnas
Perempuan, tahun 2016 setidaknya ada 66 kasus pemerkosaan yang dialami
penyandang disabilitas.
RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual sepertinya tidak dianggap penting karena sejak
2012 kebutuhan akan hal ini sudah dimunculkan oleh banyak pihak. Kelompok
masyarakat sipil dan Komnas Perempuan, misalnya, telah bolak-balik
berkonsultasi di sejumlah daerah untuk menyempurnakan draf RUU ini, bahkan
telah disampaikan kepada DPR sejak 2014, tetapi hingga berakhirnya 2016,
belum ada keputusan di DPR apakah RUU ini akan jadi RUU inisiatif DPR.
Awal 2017,
Badan Legislatif (Baleg) DPR mulai mengagendakan pembahasan atas pengajuan
beberapa anggota DPR. Namun, DPR seperti maju mundur mengagendakan pembahasan
RUU ini di tingkat paripurna. Agenda sidang sejak Februari hingga April 2017
untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual selalu berubah, tergantung
arah angin di DPR.
Ada beberapa
anggota DPR mempertanyakan mengapa harus ada RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual, sementara telah ada RKUHP. Apakah tidak cukup jika isu kekerasan
seksual dibahas dan diintegrasikan saja di RKUHP sebagai upaya kodifikasi
final, yang tak lagi memungkinkan adanya RUU lain yang bersifat khusus.
Respons terhadap argumentasi itu adalah sejauh mana RKUHP dapat menyelesaikan
persoalan kekerasan seksual jika pengaturan-pengaturan di dalamnya relatif
terbatas.
RKUHP tentang kejahatan
RKUHP
merupakan delik materiil yang lebih membahas tentang kejahatan apa yang dapat
dipidana dan bentuk hukuman terhadap kejahatan tersebut. Jenis kejahatan yang
dirumuskan RKUHP tidak mencakupi berbagai bentuk kekerasan yang nyata terjadi
dalam masyarakat.
Selain itu,
RKUHP tidak akan bisa ditarik lebih luas untuk mengatur aspek-aspek
pencegahan, khususnya bagaimana dan program apa yang harus dilakukan agar
kekerasan seksual tidak berulang di masa depan. RKUHP tidak akan bisa secara
detail membahas hak-hak korban kekerasan seksual karena karakteristik
pengaturan hukum pidana kodifikasi bersifat umum. Padahal, merespons isu
kekerasan seksual dengan jumlah korban yang masif perlu tindakan khusus.
Tidak hanya proses penghukuman pelaku, tetapi juga tindakan preventif
penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak-hak korban.
Pemerintah dan
penegak hukum juga perlu memiliki landasan hukum dalam menyiapkan struktur penegakan
hukum dan infrastruktur untuk membangun lingkungan masyarakat yang nol
kekerasan. Jika penanganan ini tidak diatur di dalam UU, sudah pasti tidak
akan ada penyelesaian yang berjangka panjang terhadap situasi kekerasan
terhadap perempuan.
Oleh karena
itu, DPR perlu mengkaji ulang langkah-langkah penyusunan kebijakan
penghapusan kekerasan. Terpaku hanya kepada pengesahan RKUHP tidak cukup.
Proses ini harus seiring dengan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
dan tentu saja dengan pelibatan lebih luas para pemerhati korban dan
pihak-pihak yang selama ini telah menangani korban.
DPR perlu
segera menjadikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU Inisiatif DPR
yang sudah nyata-nyata sangat komprehensif dalam merespons berbagai masalah yang
ditemukan korban kekerasan. DPR pun harus menyinergikan upaya kodifikasi
hukum pidana dengan menghentikan kekerasan dan pemenuhan hak korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar