Utilitarianisme
Anggoro Budi Nugroho ; Dosen Sekolah Bisnis dan
Manajemen ITB
|
KOMPAS, 06 April 2017
Beberapa hari terakhir berkembang pemikiran agar moda
transportasi daring mengikuti regulasi pemerintah yang berisikan pembatasan
tertentu terhadap inovasi tersebut. Apabila dijalankan, hal tersebut
berpotensi menyebabkan berkurangnya daya saing bisnis dimaksud sehingga
masyarakat gagal memperoleh efisiensi dan berbagai kebaikan baru lainnya.
Jeremy Bentham, filsuf ekonomi Inggris (1748-1832),
menuliskan dalam karyanya, A Fragment on Government (1776): "They said
truth is that it is the greatest happiness of the greatest number that is the
measure of right and wrong". Kebahagiaan sebagian besar masyarakatlah
yang menjadi penentu benar atau salahnya sebuah kebijakan. Bukan bagaimana
mereka berargumen dengan rumit soal mengapa alasan tersebut dibangun atau
semahir apa rakyat berbicara.
Bagi Bentham, cukuplah final bahwa kebijakan atau regulasi
pemerintah yang baik dan benar adalah yang membawa kebaikan bagi sebagian
besar masyarakat.
Ia seorang pemikir falsafah ekonomi, pemerintahan, dan
negara, yang banyak menggumuli nilai-nilai utilitas atau manfaat yang dalam
ilmu ekonomi sering diasosiasikan dengan nilai tambah bagi kebahagiaan
konsumen, yaitu manusia itu sendiri.
Karya Bentham lainnya antara lain The Principles of Morals
and Legislation (1789). Buku ini ditulis pada abad ke-18 saat banyak pemikir
Inggris seperti Adam Smith berpikir soal pentingnya pemerintah dan regulasi
bagi kebahagiaan manusia. Mazhab pemikiran Bentham sering disebut sebagai
aliran Utilitarianisme dalam sejarah pemikiran ekonomi.
Tentu tak salah jika pemerintah hendak membatasi dan
meregulasi kehadiran moda transportasi daring yang hari-hari ini kerap
menimbulkan gesekan dengan elemen pengusaha bisnis transportasi lain yang ada
sebelumnya, yaitu moda transportasi konvensional.
Tetapi, apa pun bentuk, muatan, dan desain regulasi yang
dihasilkan nanti, pemenangnya haruslah rakyat. Merekalah penentu Res Publica
yang sebenarnya dan sudah seharusnya menjadi penikmat dan pemetik utama
kebaikan regulasi dan inovasi. Baik dalam bentuk efisiensi, ketepatan dan
kecepatan waktu, maupun berbagai perbaikan kualitas lainnya, termasuk sikap
pengemudi, kesantunan dalam etiket berlalu lintas, dan sebagainya.
Regulasi dan "eksnovasi"
Tujuan inovasi adalah menemukan kebaikan-kebaikan baru
bagi umat manusia. Ia diciptakan melalui ide-ide perbaikan pada efisiensi
biaya, metode kerja, aliran suplai sumber daya yang makin bertepat waktu, restrukturisasi
perpajakan dan subsidi, dan sebagainya. Tetapi, ketika kebaikan-kebaikan
tersebut diabaikan, kehadiran regulasi justru secara filosofis membatasi
kemanusiaan dalam mencapai kebahagiaan lewat penemuan-penemuan baru yang
inovatif.
Dengan membatasi inovasi yang sesungguhnya berbuah
perbaikan bagi umat manusia, sesungguhnya pemerintah telah mengakibatkan
publik gagal memperoleh langkah baru dalam kemajuan kehidupan. Masyarakat
akhirnya malah mengalami gerak involutif kemunduran, yang disebut juga
"eksnovasi" sebagai lawan dari inovasi.
Tak selamanya mendukung dan melindungi yang tampak lemah,
dikalahkan, atau tersingkir secara aksiomalistis benar (argumentum ad
lazarum). Bayangkan jika kita membenarkan tindakan seorang pencopet atau
pencuri dan perampok hanya karena ia lapar dan bertahan hidup. Demikian
halnya dengan ranah inovasi, di mana akan selalu ada korban dari setiap
penemuan metode baru yang membuat "yang lama" menjadi tersisih
karena terbukti manusia menemukan manfaat kebaikan baru dalam bentuk biaya
murah yang kian terjangkau, ketepatan waktu, kenyamanan, dan kesantunan dalam
mengemudi di jalan raya.
Kaidah yang tersingkir yang harus dibela melalui
keberpihakan menjadi terasa sumir karena menegasi kebaikan yang dipetik
masyarakat sebagai tuan atas regulasi itu sendiri. Dengan demikian, bukan
semata moda transportasi daring itu sendiri yang dibatasi daya kompetitif dan
ruang geraknya melalui Permenhub yang dimutakhirkan, baik dalam bentuk
keharusan uji KIR, pengenaan batas tarif, maupun kapasitas CC kendaraan.
Para penyedia layanan transportasi konvensional juga harus
didorong maju untuk selalu siap bersaing dan dewasa menghadapi kemajuan dan
perubahan. Ini yang menjadi lebih substantif. Bukan yang inovatif yang
diminta menyesuaikan terhadap yang lama atau konvensional karena masyarakat
menuai hasil-hasil terbaik dari adanya jaringan daring dalam bentuk kemudahan
dan biaya yang murah.
Studi yang dirilis di Swedia oleh Copenhagen Economics
(2015) menunjukkan, penggunaan aplikasi transportasi antarsesama anggota
masyarakat (peer-to-peer) berbasis daring menghasilkan penghematan biaya
akibat kemacetan 870 juta krona per tahun (sekitar Rp 1,3 triliun),
menurunkan penggunaan mobil pribadi 5 persen dan jumlah perjalanan pribadi 3
persen, di samping biayanya yang murah. Kita semua menjadi gagal jika
kemajuan semacam ini di masyarakat ditiadakan karena dampaknya bisa mencapai
skala makro.
Ke depan, jauh lebih baik dimungkinkan adanya
ko-eksistensi antara kedua moda. Adanya keunikan pada fitur masing-masing
moda membuat pasar pengguna layanan terfragmentasi dalam dua segmen-urban
menengah dan urban bawah-hingga keduanya tak perlu dilarang. Harus diakui
akan terjadinya kecideraan jangka pendek pada segmen pasar pengguna moda
konvensional, tetapi dalam jangka panjang keduanya akan berjalan dalam
keseimbangan baru.
Sebuah survei di San Francisco, AS, oleh Rayle et al
(2014) menunjukkan, masih terdapat perbedaan segmen pasar tersendiri untuk
tiap-tiap jenis tujuan pengguna moda, yakni 67 persen layanan berbasis
aplikasi/daring adalah untuk kebutuhan bersantai/kasual; serta untuk
keperluan menuju bandara, janji profesional lain dan tempat kerja,
masing-masing 4, 10, dan 16 persen di mana orang lebih menyukai fasilitas
transportasi publik.
Artinya, masih ada pasar untuk moda konvensional maupun
daring. Di Indonesia, keduanya pun kelak harus menyesuaikan diri kembali
dengan layanan transportasi massal (mass rapid transportation/MRT) yang
direncanakan beroperasi 2019. Kita harus terus dan siap menjadi masyarakat
yang dewasa terhadap perubahan demi kemajuan. Sikap mental demikian akan
membuat negeri maju lebih cepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar