Senja
Kala Demokrasi Transaksional
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 11 April 2017
Kemelut yang menimpa kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah
melengkapi kesempurnaan krisis demokrasi di negara ini. Pemilihan umum
menjadi ajang elevasi orang-orang semenjana (medioker) untuk meraih kedudukan
tinggi dengan menyingkirkan orang-orang berprestasi. Panggung politik
diwarnai kegaduhan remeh-temeh. Jabatan menjadi wilayah transaksional padat
modal. Undang-undang disusun mengikuti penawar tertinggi. Supremasi hukum
tersungkur di bawah logika kepentingan kedudukan dan fasilitas. Kesenjangan
lebar antara idealitas dan realitas demokrasi, antara apa yang dipikirkan
warga dan apa yang dilakukan para penyelenggara negara.
Setiap sistem politik harus mencapai keseimbangan di
antara dua aspek fundamental: legitimasi dan efisiensi. Legitimasi menyangkut
tingkat kepercayaan dan persetujuan rakyat pada lembaga kenegaraan dan
kebijakannya. Efisiensi menyangkut seberapa cepat pemerintahan dapat
menemukan solusi tepat dalam menjawab aspirasi dan masalah. Legitimasi
berkaitan dengan dukungan rakyat, sedangkan efisiensi berkaitan dengan
tindakan lugas (decisive).
Demokrasi dikatakan sebagai bentuk pemerintahan paling sedikit keburukannya
tiada lain karena usahanya untuk mencari keseimbangan yang sehat antara
legitimasi dan efisiensi. Namun, demokrasi Indonesia saat ini justru diwarnai
krisis keduanya: miskin legitimasi dan efisiensi.
Krisis legitimasi demokrasi Indonesia ditandai oleh
kecenderungan kian menurunnya tingkat partisipasi warga dalam pemilu/pilkada
(voter turnout), kecuali di beberapa daerah yang padat politisasi identitas.
Kedua, kecenderungan merosotnya tingkat kepercayaan dan loyalitas terhadap
parpol dengan tingginya angka pelarian dukungan (voter turnover). Ketiga,
kian tingginya tingkat ketidakpercayaan terhadap lembaga perwakilan seperti
diindikasikan hasil berbagai survei yang menempatkan DPR sebagai lembaga
paling tak dapat dipercaya. Keempat, indeks persepsi korupsi tetap tinggi.
Krisis efisiensi demokrasi diindikasikan oleh kemerosotan
daya respons dan daya produktivitas lembaga perwakilan dalam menyusun dan
merealisasikan Program Legislasi Nasional. Kedua, kian lamanya kegaduhan dan
waktu yang diperlukan untuk menego- siasikan urusan antara berbagai
kepentingan di lembaga perwakilan dan kian besarnya potensi kebocoran
keuangan negara dalam menegosiasikan kepentingan-kepentingan tersebut, seperti
tecermin dalam persoalan KTP elektronik. Ketiga, kecenderungan meningginya
tingkat ketidakpuasan terhadap pemimpin petahana, yang diindikasikan oleh
naiknya tingkat ketidakterpilihan petahana.
Kecenderungan krisis demokrasi serupa itu dalam istilah David
van Reybrouck (2016) sebagai ”sindrom keletihan demokrasi” (democratic
fatigue syndrome). Di berbagai belahan dunia, respons atas sindrom ini
melahirkan serangan balik beragam bentuk. Ada yang menimpakan krisis ini
sebagai kesalahan elite politisi dengan solusi populisme. Ada yang melihatnya
sebagai kesalahan demokrasi itu sendiri, dengan menawarkan teknokrasi atau
berpaling ke bentuk pemerintahan lain. Ada yang menyalahkan demokrasi
perwakilan dengan solusi kembali ke model demokrasi Athena yang menginginkan
segala keputusan lewat partisipasi rakyat langsung. Ada yang melihat akibat
kelemahan sistem pemilihan demokrasi perwakilan.
Akar tunjang dari segala krisis ini sesungguhnya bermula
ketika input kepemimpinan dalam demokrasi yang hanya mengandalkan faktor
keterpilihan, mengabaikan keterwakilan. Yang jadi perhatian dalam
institutional crafting hanyalah bagaimana orang terpilih, bukan memperbaiki
mutu perwakilan demokratis. Akibatnya, lembaga-lembaga negara diisi
orang-orang yang penuh ambisi berbekal modal popularitas dan kantong tebal,
tetapi miskin kompetensi dan tidak mencerminkan rakyat yang diwakilinya.
Prinsip demokrasi perwakilan Indonesia sesungguhnya telah
dipikirkan sungguh- sungguh oleh pendiri bangsa dengan mengombinasikan antara
keterpilihan dan keterwakilan dalam semangat permusyawaratan. Perwujudan
terpenting dari institusi permusyawaratan dalam demokrasi Pancasila adalah
keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR ditempatkan sebagai mandataris
kedaulatan rakyat yang diharapkan dapat mencerminkan ekspresi seluruh
kekuatan rakyat. Hal ini tecermin dari kemampuan menampung perwakilan hak
liberal-individual (perwakilan rakyat), perwakilan hak komunitarian
(perwakilan golongan), dan perwakilan hak teritorial (perwakilan daerah).
Dalam demokrasi permusyawaratan, persoalan legitimasi dan
efisiensi dapat dicapai sejauh demokrasi bisa berjalan dengan mengapit dua
sayap: persatuan dan keadilan. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului
dengan sila persatuan dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti bahwa
demokrasi Indonesia mengandaikan semangat persatuan (kekeluargaan) terlebih
dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang memegang
kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Negara persatuan diperjuangkan dengan menempatkan lembaga
perwakilan tidak sekadar memperhatikan keterpilihan berdasarkan hak-hak
individual, juga keterwakilan golongan dan keterwakilan daerah (bukan
keterpilihan orang dari daerah, apalagi orang partai mengatasnamakan daerah).
Sementara negara keadilan diperjuangkan dengan menempatkan parlemen (MPR)
sebagai lembaga yang menetapkan prinsip-prinsip direktif pembangunan
semesta-berencana, yang bernama garis-garis besar haluan negara.
Untuk itu, sistem pemilu harus dipikirkan secara sungguh-sungguh
agar mampu melahirkan mutu lembaga perwakilan yang sungguh-sungguh
representatif dengan diisi wakil-wakil rakyat yang memiliki hikmat
kebijaksanaan untuk menjalankan permusyawaratan yang positif, bukan asal
akomodasi transaksional yang negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar