Regenerasi
Kepemimpinan Partai Politik
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
|
KOMPAS, 11 April 2017
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati
Soekarnoputri (70 tahun) berulang kali mengungkapkan kepenatannya bergelut di
dunia politik dan menyatakan ingin pensiun.
Terakhir, ia menyampaikan hal itu saat menghadiri HUT
Ke-17 Banteng Muda Indonesia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, akhir Maret
lalu. Dalam kesempatan itu, ia mengatakan, ”Saya berkata kepada diri saya,
mereka (kader) itu, kok, enggak kapok-kapok. Saya sebetulnya sudah dari tahun
lalu mau pensiun karena tidak mudah, apalagi seorang wanita menjadi ketua
umum partai di republik ini.”
Pernyataan Megawati mengingatkan seluruh kader PDI-P,
khususnya, akan pentingnya regenerasi kepemimpinan. Sesuatu yang sejauh ini
tampaknya belum terlalu dipikirkan para kadernya ketika Megawati masih ada
dan dianggap masih penting dipertahankan. Atau sudah dipikirkan, tetapi masih
ewuh pekewuh karena karisma Megawati. Padahal, ada cukup banyak kader yang
punya reputasi bagus dan menonjol di pentas politik nasional, khususnya
generasi mudanya.
Namun, adanya kekhawatiran akan munculnya perpecahan
seperti terjadi pada partai lain, misalnya PKB, PPP, dan belum lama ini
Golkar sebelum kemudian bersatu kembali, membuat PDI-P tak mau ambil risiko.
Megawati masih dianggap figur yang kuat dan mampu
mempersatukan seluruh kader partai. Jadi, selama ada Megawati, hampir tak
mungkin akan timbul riak internal partai yang bisa berujung perpecahan.
Megawati juga masih dianggap sebagai anak ideologis mendiang ayahnya,
Soekarno, yang membawa misi dan tanggung jawab ideologis partai sebagai
pembela marhaen, rakyat kecil, atau wong cilik, meskipun akhir-akhir ini
sering dihujani kritik sebagai partai yang telah kehilangan ideologinya itu.
Beberapa kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang didukung
sepenuhnya oleh PDI-P dinilai tak lagi pro-wong cilik, tapi lebih pro-pasar,
pro-korporasi, pro-neoliberalisme, atau pro-kapitalisme yang sangat ditentang
Soekarno.
Meski terdapat perbedaan historis istilah marhaen dan wong
cilik yang dipopulerkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) akhir 1980-an, PDI
dan dilanjutkan PDI-P berusaha mentransformasikan istilah marhaen menjadi
wong cilik untuk mencari identitas keberpihakan bagi rakyat kecil yang
dianggap cocok dengan konteks perkembangan politik yang ada dan membedakannya
dengan organisasi lain.
Dalam perkembangan politik zaman Orde Baru, istilah
marhaen tak bisa lagi digunakan bukan hanya karena dianggap identik dengan
PNI, lebih jauh lagi dapat dikaitkan dengan Orde Lama yang dianggap tabu di
tengah proyek de-Soekarnoisasi (Kaligis, Marhaen dan Wong Cilik, 2014).
Figur Megawati yang mampu menyatukan seluruh kader dan
dianggap simbol atau representasi ideologis Soekarno, sekaligus penerus trah
Soekarno, membuat kader PDI-P seperti nyaman di bawah bayang-bayangnya.
Faktor lain, perkembangan dan situasi politik nasional mutakhir yang membuat
PDI-P mesti dipimpin Megawati.
Di luar PDI-P, ada partai besar yang juga masih
mempertahankan ketua umum dengan alasan yang hampir mirip. Di Partai Gerindra
ada Prabowo Subianto dan di Partai Demokrat ada sosok Susilo Bambang
Yudhoyono, presiden sebelum Jokowi.
Terpusat pada tiga orang
Ada yang menyebut panggung politik nasional saat ini
terpusat pada tiga orang: Megawati dengan PDI-P-nya, Prabowo dengan
Gerindra-nya, dan SBY dengan Demokrat-nya. Pilkada DKI yang menghadirkan tiga
pasangan calon jadi representasi pertarungan politik tiga tokoh itu. Pasangan
Agus-Sylvi yang kalah di putaran pertama merepresentasikan SBY, pasangan
Basuki-Djarot merepresentasikan Megawati, dan pasangan Anies-Sandi
merepresentasikan Prabowo. Sebelumnya, pertarungan politik sengit pada Pilpres
2014 yang menghadirkan petarung Jokowi (representasi Megawati) dan Prabowo.
Andai kata tak ada batas masa jabatan presiden, barangkali SBY maju lagi.
Kepemimpinan Megawati masih sangat dibutuhkan PDI-P,
mungkin hingga Pemilu 2019. Setelah itu, semestinya para kader PDI-P sudah
legawa mempersilakan Megawati beristirahat. Karena itu, sudah sejak saat ini
mestinya para kader PDI-P tak bersantai-santai. Mereka mesti sudah mencari
figur pengganti Megawati yang mewarisi dan meneruskan semangatnya. Dari
kalangan trah Soekarno, misalnya, masih ada Guruh Soekarnoputra (64 tahun)
atau putri Megawati sendiri, Puan Maharani (43 tahun). Di luar trah Soekarno,
ada Jokowi, Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, atau Budiman Sudjatmiko, kader muda
potensial.
Soal kaderisasi pemimpin dari kalangan trah keluarga,
PDI-P tampaknya kalah selangkah dari Demokrat. Diajukannya Agus Harimurti
Yudhoyono (38 tahun) sebagai calon gubernur DKI, meski akhirnya kalah dini,
menunjukkan progres Demokrat dalam regenerasi kepemimpinan. Agus seperti mewarisi
semangat SBY, tak hanya dari penampakan fisik, tetapi juga pemikiran
kebangsaan dan kenegaraannya.
Meski kalah di Pilkada DKI, bagi SBY, itu bentuk
pembelajaran politik langsung bagi Agus yang akan mematangkannya di panggung
politik nasional kelak. SBY telah mempersiapkan Agus sebagai pemimpin masa
depan, tidak hanya bagi Partai Demokrat, tetapi juga bagi Indonesia.
Dimunculkannya sosok Agus bisa jadi penanda penting era
kepemimpinan kaum muda dalam panggung politik nasional masa depan. PDI-P dan
partai-partai lain mungkin sudah waktunya memikirkan juga kader-kader muda
sebagai bagian dari regenerasi kepemimpinan partai. Jadi, pemimpin yang lahir
bukan hasil comotan dari luar partai, melainkan dari dalam partai sendiri,
kader-kader sendiri, yang dipoles dan dipersiapkan dengan sangat matang dan
penuh perhitungan. Kepemimpinan kaum tua mungkin sudah waktunya mundur dengan
terhormat dan mempersilakan kaum muda potensial untuk menggantikan.
PDI-P, juga partai-partai lainnya yang telat melakukan
regenerasi, pada saatnya nanti bisa tergilas dan ditelan zaman, ditinggalkan
orang, bahkan dilupakan, menjadi artefak dan masuk dalam museum sejarah.
PDI-P, selain Golkar dan PPP, adalah partai tua yang telah
kenyang pengalaman di panggung politik nasional. Regenerasi kepemimpinan
mestinya bukan sesuatu yang sulit dilakukan. Gaya politik lama yang
menyandarkan pada karisma tokoh tua sudah saatnya diubah ke gaya politik baru
yang lebih inovatif, kreatif, dan progresif dengan kaum muda terutama sebagai
penopang utama. Megawati telah membuka ruang untuk itu, tinggal
kader-kadernya berani atau tidak memunculkan tokoh baru yang lebih segar dan
menyegarkan, dan tentunya punya visi kebangsaan dan kenegaraan yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar