Sengsara
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 16 April 2017
Waktu sedang mempersiapkan pikiran agar tenang dalam
menulis artikel ini, sebuah berita datang di telepon genggam. Soal penurunan
paksa penumpang di salah satu maskapai penerbangan Amerika, yang berakhir
dengan kekerasan terhadap penumpang yang bersangkutan.
Beruntung dan nikmat
Setelah membaca, saya lumayan emosi, seperti air sedang
mendidih. Saya marah sekali membaca berita dan melihat video yang disertakan
dalam berita itu. Beberapa menit lamanya saya tak habis berpikir bagaimana
peristiwa semacam itu terjadi. Seperti biasa saya mengomel sendiri, saya
marah-marah sendiri, saya kesal sendiri.
Kemudian dalam keadaan mendidih saya teringat kejadian
satu bulan yang lalu, saat muka saya dipukul oleh seorang tak dikenal dan
ternyata tidak waras, di sebuah taman indah di kota Teheran. Teringat akan
peristiwa yang terjadi secepat kilat itu, kekesalan saya makin bertambah.
Seperti biasa, saya mulai bertanya. Mengapa kejadian itu
harus menimpa saya? Harus menimpa dokter di dalam pesawat itu? Mengapa saya
dan dokter itu yang dipilih untuk dijadikan sasaran? Mengapa dari sekian
puluh mungkin ratus penumpang, dokter itu yang kena sasaran?
Apa gunanya kejadian buruk menimpa seseorang? Apakah agar
seseorang mendapat keberuntungan? Beruntung bisa naik kelas dalam kesabaran?
Beruntung bisa mempraktikkan ajaran untuk memaafkan orang yang menyakitkan?
Beruntung bisa diubahkan menjadi orang yang semakin baik
dan semakin sabar sehingga karena ia beruntung ia bisa mengatakan bahwa
sengsara itu membawa nikmat? Atau, memang sialnya seseorang saja kalau ia
harus ditimpa kemalangan tanpa perlu mencari alasan apa pun?
Apakah kebaikan yang dilakukan seseorang tidak menjamin
bahwa kesengsaraan tak akan menimpanya? Apakah justru orang itu makin berbuat
baik, makin sengsara hidupnya? Apakah kesengsaraan memilih manusia yang
berbudi luhur sebagai tempat ia bersarang?
Saya bukan sedang menulis dan menjelaskan bahwa saya dan
dokter itu adalah contoh orang baik. Saya ini malah jadi bertanya, apakah
karena saya ini manusia yang tidak baik atau katakan kurang baik, pernah dan
masih melakukan ketidakbaikan meski bentuknya ringan, maka kesengsaraan dalam
bentuk apa pun memilih saya untuk diberikan pelajaran?
Jadi, semakin saya ini ditimpa sengsara bukan semakin saya
naik kelas dalam kesabaran dan kebaikan lainnya, tetapi itu dapat digunakan
sebagai indikator bahwa saya adalah orang yang tidak baik.
Dengan demikian, kesengsaraan yang menimpa dapat dilihat
sebagai sebuah harga yang harus saya bayar atas kejahatan yang pernah dan
masih saya lakukan di masa lalu dan sampai sekarang ini. Begitu?
Munafik
Kalau ternyata begitu, mengapa bukan orang lain saja yang
tertimpa sengsara? Bukankah mereka sama seperti saya dan dokter itu, adalah
manusia yang tak sempurna, yang telah dan mungkin masih melakukan
ketidakbenaran?
Kalaupun saya ini tidak mau sengsara, tidak mau ditimpa
kejadian yang menyakitkan dan meluluhlantakkan jiwa raga, apakah itu bisa
saya wujudkan? Apakah mewujudkan ketidaksengsaraan itu bisa terjadi, seperti
saya bisa mewujudkan cita-cita saya bepergian ke sebuah tempat?
Apakah bisa seperti peribahasa yang mengatakan bahwa hemat
itu pangkal kaya? Kalau saya rajin bekerja, berbuat baik, hidup sehat,
memaafkan, rendah hati, mengampuni, itu merupakan pangkal saya tidak
sengsara? Apa jaminannya?
Apakah peribahasa itu hanya sebuah kalimat yang tak
berarti apa-apa? Dulu saya royal, terus saya berusaha hemat, tetapi fakta
mengatakan, niat baik saya mengubah royal jadi berhemat, sadar royal itu
tidak menguntungkan, ternyata sampai sekarang saya tidak kaya-kaya.
Pangkalnya saja tidak, bagaimana ujungnya.
Dulu kalau makan saya sembarangan, sekarang karena tahu
bahwa yang sembarangan akan berakibat mengundang kesengsaraan di masa depan,
bolehlah saya mengatakan sekarang hidup saya sudah jauh dari sembarangan.
Tetapi mengapa itu tak mengurangi datangnya kesengsaraan bernama penyakit?
Sampai saya ini jadi berpikir, apakah perbuatan baik
seseorang itu tak berarti apa-apa? Tak menjamin apa-apa? Belum lagi saya ini
diajari, tepatnya dicekoki, bahwa saya ini harus mengampuni orang yang
membuat saya sengsara, saya harus berdoa untuk mereka yang menganiaya saya.
Sungguh saya jadi bingung dibuatnya, saya seperti
diharuskan untuk menghilangkan kemanusiaan saya untuk tidak boleh sakit hati.
Infrastruktur saya ini manusia biasa, tetapi saya diharuskan memiliki hasil
perbuatan yang seperti malaikat.
Setelah kejadian pemukulan di taman indah itu, saya
mempraktikkan untuk berdoa buat pria tinggi yang tidak waras itu. Alhasil?
Saya berdoa dengan susah payah. Saya kesusahan untuk memaafkan, tetapi saya
paksakan juga pada akhirnya.
Selesai memanjatkan doa itu, saya sungguh merasa tidak
lega. Saya sampai berpikir, masihkan ada gunanya memanjatkan doa untuk
seseorang yang menyengsarakan saya kalau saya sendiri merasa seperti seorang
yang begitu munafiknya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar