Golgota
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 16 April 2017
Di puncak bukit Golgota
Ia bergantung antara langit dan
bumi
menjadi korban konspirasi
pemuka agama, penguasa, dan
politisi
ketika suksma-Nya meninggalkan
raga
Ia melepaskannya seraya berkata
”Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu
Kuserahkan jiwa-Ku.”
Jakarta, 12 April 2017
Pada saat itu, surga seakan-akan tuli. Tidak ada malaikat
yang turun. Tidak ada api dari langit yang menyambar dan menghanguskan bumi.
Cahaya siang malah dicabut. Langit gelap. Bumi gelap. Kegelapan menyelimuti
seluruh bumi. Dan, bumi pun berguncang keras karena gempa.
Cyril dari Aleksandria menulis, ”Setelah kegelapan itu,
sesuatu yang tidak wajar terjadi: bulan tampak memerah darah, seperti yang
pernah dinubuatkan oleh Nabi Yoel. ’Matahari akan menjadi gelap dan bulan
akan berwarna darah....’”
Jerusalem, Jerusalem, engkau membunuh nabi-nabi dan
merajam rasul-rasulmu. Apa yang kau cari, Jerusalem. Demikian banyak nabi
dilahirkan di rumahmu; hidup menghirup udaramu; makan memakan makanan yang
tumbuh di tanahmu; minum meminum air yang mengalir di tubuhnya. Demikian
banyak nabi pernah menginjakkan kakinya, berjalan, menyusuri lorong-lorongmu.
Tetapi, sedikit pun tidak ada setitik rasa dalam hatimu bahwa kamu telah
berutang budi dan harus melunasinya.
Tetapi, apakah Jerusalem bersalah? Apakah Jerusalem harus
dituntut karena kematian Nabi Agung yang telah menginspirasi manusia sejagat
agar membumikan kasih-Nya? Apakah Jerusalem harus bertanggung jawab karena
membiarkan orang-orang munafik bersekongkol dengan orang-orang yang takut
kehilangan jabatannya, menjadikan orang yang tidak bersalah menjadi korban
nafsu-nafsu mereka?
Jerusalem yang di dalam dirinya menyimpan aura kesucian
ilahi; yang menjadi tujuan ziarah ketiga umat agama samawi telah menjadi
saksi. Jerusalem telah menjadi saksi persekongkolan, perselingkungan itu;
perselingkuhan antara para pemuka agama, politisi, dan penguasa. Jerusalem
telah menjadi saksi perselingkungan antara agama dan politik. Politisasi
agama telah menodai kesucian Jerusalem karena agama telah dijadikan sebagai
dalih untuk mengabsahkan pembunuhan.
Adalah fakta sejarah ketika penguasa Romawi di wilayah
Galilea dan Yudea Pontius Pilatus mengatakan, ”Ibis ad crucem!” Engkau akan
disalibkan. Ucapan itu keluar, setelah ia tidak berdaya menghadapi para
pemimpin agama dan pemimpin politik lokal. Ia tidak berdaya karena ketakutan
kehilangan jabatan sehingga mengikuti saja kehendak para pemimpin agama dan
pemimpin politik lokal.
Maka ketika itu, dilihat dari sudut kenyataan sejarah
(dengan menyisihkan semua perkara teologis), terjadilah konspirasi
politis—keagamaan. Konspirasi antara penguasa negara, yakni Pontius Pilatus,
dan kuasa agama—Imam Agung dan para ahli kitab—serta mobilisasi massa bayaran
dan budak. Hukuman salib dijatuhkan oleh triumvirat jahat: Sang Wali Negeri
(Pontius Pilatus), pemimpin politik lokal (Raja Herodes), dan Imam Agung
(Hanas dan Kayafas) bersama dengan para ahli kitab.
Mengapa Imam Agung Kayafas dan Pontius Pilatus bisa
bertemu pendapat? Menurut Gordon Thomas (2009), mereka memiliki kepentingan
yang sama: mempertahankan kekuasaan imperialisme. Apabila kekuasaan
imperialisme Romawi bertahan, kekuasaan keduanya pun akan tetap di dalam
genggamannya.
Itulah sejarah kelam konspirasi kekuatan politik dan agama
yang berujung pada ketidakadilan, yang terjadi di zaman Romawi berkuasa atas
Palestina.
Seorang sarjana Suriah kelahiran Aleppo (1489, dan
meninggal pada tahun 1903), Abdurrahman Al-Kawakibi yang dikenal sebagai
pionir nasionalisme Arab atau pemikiran politik Islam modern, dalam salah
satu buku karya besarnya, Taba’i’ Al-Istibdad (Karakteristik Tirani),
menjelaskan tentang otoritarianisme yang paling berbahaya, yakni
otoritarianisme yang ditopang oleh dua kekuatan: politik dan agama.
Zuhairi Misrawi menulis, perselingkuhan politik dan agama
tidak hanya mengukuhkan otoritarianisme, tetapi secara sosiologis
perselingkuhan itu dapat menjadi penyebab meluasnya kekerasan. Kekerasan atas
nama agama adalah sebuah petaka yang sangat mengerikan, dan petaka tersebut
semakin menakutkan karena mendapat restu dan amunisi dari kekuasaan. Apalagi
kalau kekuasaan (tidak harus pemerintah) mempunyai intensitas untuk
menebarkan kekerasan (Trias Kuncahyono,
Jerusalem 33: 2002).
Kekerasan tidak pernah baik. Kekerasan selalu memakan
korban, seperti didefinisikan oleh Francois Chirpaz: ”Kekerasan adalah
kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik
jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan entah dengan memisahkan orang
dari kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui
penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai
representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap
orang lain” (Haryatmoko: 2002).
Bahkan, Muhammad Arkoun (2 Januari 1928-14 September
2010), seorang filsuf Islam Modern, yang lahir di Desa Berber, Aljazair,
berpendapat, pertalian antara ”yang sakral” dan ”kekerasan” merupakan cikal
bakal fundamentalisme, bahkan ekstremisme atas nama agama.
Kini, sangat mudah disaksikan, ekstremisme atas nama agama
ini muncul di mana-mana, dan menjangkiti agama apa pun. Itulah warisan
Imperium Romanum yang hingga kini masih tetap hidup, bahkan dihidup-hidupkan
demi yang namanya kekuasaan.
Kekuasaan, memang sedari awalnya, sungguh menakjubkan,
sungguh memesona, sungguh memabukkan, dan sekaligus apabila lepas dari
kendali akan menghancurkan. Banyak yang takjub terhadap kekuasaan, banyak
yang terpesona pada kekuasaan, banyak yang mabuk kekuasaan. Karena itu,
berusaha dengan segala cara untuk mendapatkannya dan mempertahankannya,
termasuk dengan cara membangun konspirasi, membangun persekongkolan antara
politik dan agama.
Itulah kisah tragis yang berakhir di puncak Golgota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar