Pasca-program
Amnesti Pajak
Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif Center for
Indonesia Taxation Analysis (CITA)
|
KOMPAS, 05 April 2017
Program amnesti pajak secara resmi berakhir 31 Maret 2017.
Selama sembilan bulan program ini dijalankan, lengkap dengan seluruh kisah
suka duka, penerimaan dan penolakan, berikut capaian-capaian yang cukup
membanggakan dan sederet catatan dan pekerjaan rumah baru.
Kini, mentari pengampunan telah tenggelam dan fajar
penegakan hukum menyingsing. Lantas sejauh mana seluruh kisah pelaksanaan
amnesti pajak ini dapat dicandra sebagai bekal penting bagi ikhtiar menuju
era baru perpajakan?
Capaian dan tantangan
Sungguh bukan perkara mudah menilai secara obyektif sebuah
program yang sangat kompleks seperti amnesti pajak; baik dari sisi politik,
hukum, ekonomi, maupun teknis-administrasi. Sekurang-kurangnya ada empat
indikator yang dapat kita gunakan untuk mengukur kinerja program ini:
deklarasi harta, repatriasi, uang tebusan, dan partisipan.
Hingga detik terakhir 31 Maret 2017, sedikitnya Rp 4.866
triliun harta dideklarasikan dan terdiri dari Rp 3.687 triliun deklarasi
dalam negeri, Rp 1.032 triliun deklarasi luar negeri, dan Rp 147 triliun
komitmen repatriasi. Deklarasi harta melampaui target Rp 4.000 triliun, sedangkan
repatriasi hanya tercapai 15 persen, jauh di bawah target Rp 1.000 triliun.
Uang tebusan yang terkumpul Rp 135 triliun atau 82 persen dari target Rp 165
triliun.
Meski tak tercapai, perolehan uang tebusan jauh di atas
prediksi hampir semua lembaga dan pengamat yang skeptis di awal program.
Hingga usai, program ini diikuti hampir satu juta wajib pajak, baik orang
pribadi, badan, maupun UMKM.
Berdasarkan empat indikator di atas, program amnesti pajak
dapat dinilai berhasil. Jika kita melakukan kilas balik, program ini
dijalankan hampir tanpa persiapan, diawali dengan centang-perenang
implementasi dan penafsiran, keterlambatan terbitnya aturan teknis, penolakan
karena dianggap salah sasaran, perlawanan Singapura, uji materi di Mahkamah
Konstitusi, dan tensi politik yang meninggi di beberapa bulan terakhir.
Di tengah berbagai kendala itu, toh pencapaian deklarasi
harta dan uang tebusan, program amnesti pajak Indonesia tercatat sebagai yang
tersukses di dunia. Tanpa perlu berpuas diri terlalu lama, kita justru perlu
menganalisis dan mencermati statistik capaian ini dengan saksama agar
pasca-amnesti pemerintah dapat segera merumuskan kebijakan dan strategi yang
tepat guna mencapai level penerimaan pajak yang lebih tinggi dan
berkesinambungan. Maka, evaluasi menyeluruh merupakan titik awal yang amat
diperlukan agar kita tidak tersesat menerka arah reformasi perpajakan.
Pertama, belum maksimalnya beberapa capaian, khususnya
repatriasi dana dan partisipan amnesti merupakan cermin bahwa koordinasi,
integrasi, dan sinergi (KIS) masih menjadi barang mewah.
Program ini masih sering diperlakukan sebagai hajatan
Kementerian Keuangan, bukan program nasional yang perlu didukung seluruh
elemen meski Presiden Joko Widodo all out mendukung dan turun langsung. Tidak
tampak upaya membuat kemasan (packaging) produk tujuan investasi yang konkret
dan pemerintah daerah hampir tak terdengar mendorong para pelaku UKM
berpartisipasi.
Kedua, amnesti pajak memiliki tujuan utama mengalihkan
harta dari luar negeri ke dalam negeri. Artinya, repatriasi adalah sasaran
amnesti. Faktanya, pencapaian Rp 147 triliun-dengan kemungkinan Rp 29 triliun
membatalkan repatriasi-menyulitkan upaya menyuntikkan likuiditas pada
perekonomian domestik. Apalagi sebenarnya uang tebusan Rp 135 triliun adalah
perpindahan likuiditas dari perbankan ke kas negara. Dengan kata lain,
kondisi likuiditas perbankan dan sektor keuangan pasca-amnesti masih impas.
Namun, tetap ada peluang dan kabar baik. Selama program
ini, sebanyak Rp 800 triliun harta yang diungkap di luar negeri berupa aset
finansial yang sangat mungkin dipersuasi untuk diinvestasikan ke Indonesia di
masa mendatang. Minimnya repatriasi juga cermin belum tersedianya jaminan
stabilitas politik, kepastian hukum, dan kemudahan investasi-hal yang terus diupayakan
pemerintahan Jokowi.
Ketiga, rendahnya partisipan amnesti tentu amat
memprihatinkan. Program yang menawarkan pengampunan, rekonsiliasi, dan
rintisan bagi perbaikan administrasi perpajakan seolah memamerkan wajah
paradoksal. Di satu sisi, terjadi antusiasme dan gegap gempita publik
menyambut dan membincangkan amnesti pajak. Namun, di sisi lain partisipan tak
mencapai satu juta, jauh di bawah jumlah 30 juta wajib pajak terdaftar dan 20
juta warga negara yang layak jadi wajib pajak baru.
Dengan kata lain, sosialisasi telah dilakukan dengan
berhasil, tetapi internalisasi belum terjadi. Saya tahu ada amnesti pajak,
tetapi tak cukup diyakinkan bahwa saya merupakan sasaran yang harus ikut dan
membutuhkan pengampunan. Mitigasi terhadap fakta ini perlu disiapkan dengan
matang agar penegakan hukum pasca-amnesti tak justru menciptakan kegaduhan
baru.
Keempat, rincian harta yang dideklarasikan. Sebesar 60
persen harta adalah aset keuangan yang selama ini sebagian besar sudah
dipajaki tetapi belum dilaporkan, artinya tidak dapat dipastikan akan ada
tambahan pajak dalam jangka pendek. Harta berupa tanah dan bangunan-yang akan
menghasilkan pajak tambahan jika dijual atau disewakan-mencapai sekitar 20
persen. Amnesti ini juga membabar fakta problem ketimpangan yang menganga.
Hanya sekitar 2,5 persen partisipan memiliki 60 persen dari total harta yang
dideklarasikan dan 15 persen partisipan menguasai 95 persen harta.
Penumpukan harta hanya pada segelintir wajib pajak jelas
akan mempersulit upaya penggalian potensi, apalagi jika mereka adalah
kelompok berpengaruh yang mudah mendapatkan perlindungan dan perlakuan
istimewa.
Apa setelah amnesti?
Empat catatan penting di atas tidak perlu dianggap sebagai
rintangan, tetapi tantangan agar tugas memastikan reformasi pajak menjadi
perjuangan yang menggairahkan. Terlepas dari catatan dan kekurangan yang ada,
program ini berhasil mengarusutamakan pajak sebagai bagian penting bangsa
ini, bahkan merupakan nadi kehidupan bangsa. Kini tersemai modal sosial baru,
yakni kesadaran tentang pajak, yang akan menjadi bekal berharga.
Tugas pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan
Direktorat Jenderal Pajak untuk segera menyusun kebijakan dan strategi yang
tepat, lalu dikemas dalam peta jalan yang terang dan terukur sehingga dalam
jangka pendek penerimaan pajak terjaga dan meningkat berkesinambungan dalam
jangka panjang.
Maka, hal-hal berikut diusulkan sebagai bahan
pertimbangan. Pertama, segera disusun desain besar reformasi perpajakan dalam
peta jalan yang menyeluruh, disertai visi yang terang (sistem perpajakan yang
berkeadilan dan berpemerataan), sasaran yang jelas (orang pribadi kaya),
target yang terukur (struktur penerimaan pajak yang sesuai kemampuan
membayar), dan agenda aksi yang rinci dan masuk akal (terukur, dapat diawasi,
dan dievaluasi). Tiga ranah juga harus dicakup sekaligus: kebijakan,
regulasi, dan administrasi perpajakan.
Kedua, buah amnesti pajak adalah tumbuhnya sikap saling
percaya antara otoritas pajak dan wajib pajak. Hal ini harus segera
dikapitalisasi sebagai momentum pembangunan sistem perpajakan yang
transparan, kredibel, dan akuntabel. Dalam konteks relasi dialektis, berbagai
tuntutan keterbukaan harus konsisten dijalankan dan didukung seluruh lembaga
negara dan politik, dengan diikuti peningkatan integritas dan kompetensi
aparatur negara.
Agenda seperti revisi UU Perpajakan, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (perppu) tentang Automatic Exchange of Information
untuk perluasan akses ke data perbankan, pemerkuatan regulasi anti
penghindaran pajak, implementasi nomor identitas tunggal, serta pembenahan
administrasi yang mudah dan murah harus dituntaskan.
Ketiga, penegakan hukum yang tegas pasca-amnesti.
Konsekuensi UU Pengampunan Pajak adalah penegakan hukum bagi yang tidak ikut
dan tidak jujur, juga yang sudah ikut, tetapi belum sepenuhnya jujur.
Penegakan hukum penting bagi terjaganya kewibawaan pemerintah meski tetap
harus dilakukan dengan terukur, tepat sasaran, dan didasarkan pada data
akurat. Harus segera dilakukan pemetaan (mapping), profiling, dan audit.
Tanpa penegakan hukum yang baik, justru akan subur
anggapan bahwa pemerintah memang takluk pada pengemplang pajak. Sasar yang
besar, terkenal, berpengaruh agar tercipta efek bola salju yang mendorong
kepatuhan melalui compliance risk management yang baik.
Keempat, perlindungan hak wajib pajak, termasuk
kelonggaran napas bagi wajib pajak menengah-bawah dan wajib pajak patuh.
Pemerintah perlu memastikan terciptanya clarity, certainty, dan consistency
dalam pelaksanaan UU Perpajakan, yang tecermin dalam imparsialitas dan
obyektivitas setiap kebijakan dan keputusan. Lalu administrasi juga mengarah
kepada standardisasi dan simplifikasi, yakni kiblat pada praktik terbaik,
sederhana, mudah, dan disertai komunikasi dan pelayanan yang baik.
Pasca-amnesti kita diajak menyelami era baru perpajakan
yang-meminjam Peter Essers-berciri "less Machiavelli, more
Habermas", perluas diskursus dan kurangi cara represif. Dengan demikian
perpajakan akan kembali menjadi seni sebagaimana yang pernah diucapkan Aristides
dua ribu tahun silam bahwa pemungutan pajak yang baik bukan sekadar harus
adil dan tidak korup, melainkan juga harus membahagiakan semua pihak.
Untuk mewujudkannya, kita butuh pengayaan dan penyemaian
kepemimpinan yang berintegritas dan mengabdi pada kepentingan rakyat.
Beruntung kita memiliki Jokowi dan Sri Mulyani Indrawati, dua anak bangsa
terbaik yang kita harapkan menjadi pandu dan inspirasi sukacita warga
bergotong-royong melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik dan benar demi
terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar