Ke
Mana Negara Mengembara?
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 04 April 2017
Mengungkapkan kegalauan terhadap fenomena ancaman
intoleransi, yang secara sadar dan sengaja diinternalisasikan kepada bocah
usia amat dini, Oom Pasikom melukis karikatur kepala bocah plontos diinjeksi
dengan serum "anti-keberagaman". Akibatnya, si bocah menjadi puyeng
dan ndleming (mengigau): "SARA, intoleran, demi kekuasaan, dll". Di
bawah tertulis: "Virus telah meracuni anak-anak kita!" (Kompas, 1
April 2017).
Karikatur tersebut mewakili persepsi publik bahwa proses
menegara dengan pilar nilai-nilai keindonesiaan yang memuliakan keragaman
telah keropos karena saraf otak yang merawat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
dimangsa oleh virus anti-keberagaman. Generasi muda yang sudah ditanami virus
anti-keberagaman dapat dipastikan akan mudah digerakkan oleh motif-motif
primordial dan instingtual demi kepentingan kekuasaan.
Kelumpuhan pusat saraf sentral negara mengakibatkan negara
akan mengembara tanpa tujuan jelas. Negara berjalan limbung dan sangat mudah
dikendalikan para elite penguasa untuk memuaskan dorongan angkara murkanya.
Konstatasi ini bukan paranoid karena simtom-simtom amat nyata. Misalnya,
megakorupsi KTP elektronik yang melibatkan petinggi negara, upaya kalangan
anggota DPR menggalang kekuatan untuk menolak kandidat komisioner Komisi
Pemilihan Umum dan anggota Badan Pengawas Pemilu karena ingin memasukkan
unsur partai di lembaga independen, mengulur-ulur waktu penyelesaian RUU
Pemilu, perdebatan hanya disibukkan dengan tawar-menawar ambang batas kursi
di parlemen dan pencalonan presiden, upaya konsisten pelemahan KPK, anggota
Dewan Perwakilan Daerah berbondong-bondong menjadi anggota partai politik,
dan sebagainya.
Saraf sentral negara yang sudah dimangsa racun
anti-toleransi mematikan nurani penyelenggaranya. Dalam cakrawala
konstitusional, Pasal 1 Ayat (1), yang menegaskan: "Negara Indonesia
ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik", mendapat ancaman yang
serius. Konsensus para pendiri negara merumuskan negara berbentuk republik
menunjukkan para pendiri negara dan penyusun konstitusi paham sekali prinsip
Republikanisme.
Hidup bersama hanya mungkin diwujudkan jika semua diurus
oleh semua. Kehidupan bersama adalah urusan bersama (Res-publica, artinya
'public issue' atau 'public matter'). Intinya, negara mengurus kepentingan
bersama. Gagasan Republikanisme yang berkembang ribuan tahun yang lalu
melahirkan ide yang disebut kontrak sosial. Mulai dari Thomas Hobbes, Baruch
Spinoza, hingga JJ Rousseau mempunyai paham dan keyakinan sama bahwa
kehidupan masyarakat plural hanya dapat diwujudkan dengan nilai-nilai hasil
konsensus bersama.
Oleh karena itu, toleransi, hak-hak pribadi, dan kebebasan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip dasar Republikanisme.
Kesepakatan itu dilembagakan dalam kontrak sosial yang menghasilkan negara
dengan tugas utama mewujudkan kesejahteraan umum, menjamin kerukunan,
kebebasan, dan keanekaragaman. Negara dilarang memonopoli kebenaran,
moralitas, serta nilai-nilai utama (virtue).
Peringatan
Fenomena ancaman serius terhadap konstitusi tersebut
tampaknya menyengat Presiden Joko Widodo. Ia secara sekilas menyebutkan agar
persoalan politik dipisahkan dengan agama (Kompas.com, 24 Maret 2017).
Kebiasaan Presiden Joko Widodo mengungkapkan kalimat yang singkat sudah
menjadi pemahaman umum sehingga publik tidak menafsirkan ucapan tersebut
secara berlebihan. Namun, secara esensial, Presiden Joko Widodo mengingatkan
agar negara tidak dibiarkan "mengembara" tanpa tengara dan penanda.
Arah bangsa menegara telah mulai jauh melenceng dari nilai-nilai mulia yang
menjadi acuan bersama, Pancasila. Kegaduhan wacana bernuansa atau nyata-nyata
SARA telah menyuburkan kebencian dan permusuhan masyarakat pada titik yang
berbahaya. Jika gejala ini dibiarkan tanpa perlawanan, konstitusi hanya
menjadi huruf mati. Partisipasi rakyat dalam kontestasi politik hanya menjadi
agregat angka mati, bukan kumpulan pribadi-pribadi yang secara adikodrati
mempunyai hati dan aspirasi.
Peringatan atau pepeling Presiden Joko Widodo menjadi amat
penting karena dia ingin memicu atau mengaktifkan kembali obat penawar atau
serum kekebalan yang berada di tubuh bangsa untuk melawan virus
anti-keberagaman yang telah disuntikkan kepada anak-anak. Harapan tersebut tidak
berlebihan mengingat rasa keprihatinan tokoh-tokoh masyarakat, para ulama,
dan lain-lain mempunyai persepsi yang sama.
Mereka juga mempunyai tingkat keprihatinan yang setara.
Apabila virus anti-toleransi dibiarkan berkembang biak dalam otak anak-anak
muda, ia akan meluluhlantakkan negara yang sudah dibangun dengan darah,
nyawa, serta derita. Karena itu, pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH
Ma'ruf Amin yang mempertanyakan urgensi gelar aksi 313 merupakan tanda
aksi-aksi yang bernuansa SARA sudah sampai tingkat yang membahayakan bangsa
dan negara.
Sejalan dengan peringatan Presiden Joko Widodo serta
isyarat dari para ulama besar, kompetisi politik putaran kedua Pilkada DKI
Jakarta harus lebih mengutamakan nilai-nilai yang semakin memperkukuh
nilai-nilai kebersamaan. Berbekal kekebalan tubuh bangsa, pengembaraan negara
akan tegak lurus mewujudkan cita-cita bangsa dengan semakin meresapi
nilai-nilai Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar