Merawat
Persatuan dalam Keragaman
Yudi Latif ; Cendekiawan Muda
|
MEDIA
INDONESIA, 17 April 2017
HARMONI dalam kemajemukan adalah kode genetik bangsa ini.
Modal unggulan Indonesia yang bisa dibanggakan pada dunia. Teladan luhur di
tengah pergaulan antarbangsa.
Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi
globalisasi keragaman. Bahkan, bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme
secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi
tribalisme antiasing, antiperbedaan.
Akan tetapi, Indonesia telah banyak makan asam garam.
Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia
terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnik
dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar
negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, perwakilan berbagai golongan
terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.
Di negeri kepulauan sepanjang rangkaian cincin api memang
bisa diterjang letusan gunung dan badai tsunami. Kedamaian di sepanjang
untaian zamrud khatulistiwa sesekali bisa dilanda konflik dan pertikaian.
Namun, letusan gunung tidak berarti mengakhiri kehidupan. Muntahan abu
vulkanis bisa jadi pupuk yang menyuburkan kehidupan.
Apa yang melukai bangsa ini bisa merahmatinya. Dalam pedih
pertikaian, warga disadarkan arti penting merawat persatuan dalam perbedaan
dengan berbagi kesejahteraan. Kegelapan menyediakan kunang-kunang penuntun
perjalanan bangsa untuk kembali ke jalan kerukunan hidup bersama.
Mengupayakan persatuan dari masyarakat plural seperti
Indonesia bukanlah perkara yang mudah. Sejak awal berdirinya Republik ini,
para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa proses nation building
merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan. Bung Karno,
misalnya, membangun rasa kebangsaan dengan membangkitkan sentimen
nasionalisme yang menggerakkan ‘suatu iktikad, suatu keinsafan rakyat, bahwa
rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa’.
Dengan mengacu pada pendapat Ernest Renan, Bung Karno
mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa (une nation est un âme). Satu bangsa
adalah satu solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarité).
Kebangsaan tidak bergantung pada persamaan bahasa meski dengan adanya bahasa
persatuan bisa lebih memperkuat rasa kebangsaan.
Kalau begitu, apakah gerangan yang mengikat manusia
menjadi satu jiwa? Dengan mengutip Renan, Soekarno mengatakan bahwa yang
menjadi pengikat itu adalah kehendak untuk hidup bersama (le désir d’ être
ensemble). “Jadi gerombolan manusia, meskipun agamanya berwarna macam-macam,
meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam,
asal gerombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu
adalah bangsa.”
Dengan mengacu pada pendapat Otto Bauer, Soekarno juga
menekankan perwujudan bangsa sebagai ekspresi persamaan karakter yang tumbuh
karena persatuan pengalaman. “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan
karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir,
terjadi karena persatuan pengalaman.”
Dari pendapat Bauer ini, Soekarno menyimpulkan, “Meskipun
agamanya berlain-lainan, meskipun warna kulitnya berlain-lainan, meskipun
bahasanya berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan manusia itu,
mengalami bertahun-tahun, berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun mungkin
mengalami nasib yang sama, maka karena mengalami nasib yang sama itu akan
tumbuh persatuan watak dan persatuan watak inilah yang menentukan sifat
bangsa.”
Usaha untuk merajut karakter bersama, kehendak bersama,
dan komitmen bersama dari suatu kebangsaan yang majemuk pertama-tama
mensyaratkan hadirnya suatu negara persatuan. Dalam bagian akhir dari
pidatonya pada 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, “Sebagai tadi telah saya
katakan, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus
mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan
Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat
Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang
tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong!”
Negara persatuan Indonesia, sebagai ekspresi dan pendorong
semangat kegotongroyongan, harus mampu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia; bukan hanya membela atau mendiamkan suatu
unsur masyarakat atau bagian tertentu dari teritorial Indonesia. Negara juga
diharapkan mampu memberikan kebaikan bersama bagi warganya, tanpa memandang
siapa dan dari golongan, etnik, agama atau kelas sosial apa mereka.
Usaha mewujudkan negara persatuan itu dapat diperkuat
dengan budaya gotong royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik
dengan terus mengembangkan pendidikan kewargaan dan multikulturalisme yang
dapat membangun rasa keadilan dan kebersamaan, dengan dilandasi
prinsip-prinsip kehidupan publik yang lebih partisipatif dan nondiskriminatif.
Dalam memperkuat daya gotong royong itu, keinginan hidup
menjadi satu bangsa tidak akan mengarah pada nasionalisme yang sempit dan
tertutup. Ke dalam, kemajemukan dan aneka perbedaan yang mewarnai kebangsaan
Indonesia tidak boleh dipandang secara negatif sebagai ancaman yang bisa
saling menegasikan.
Sebaliknya, hal itu perlu disikapi secara positif sebagai
limpahan karunia yang bisa saling memperkaya khazanah budaya dan pengetahuan
lewat proses penyerbukan silang budaya. Puncak-puncak kebudayaan daerah dan
hasil persilangan antarbudaya daerah terhitung sebagai kebudayaan bangsa yang
dapat memperkuat kepribadian nasional. Bahasa daerah serta penyerapan bahasa
antardaerah bisa menjadi sumber pengayaan bahasa nasional.
Keluar, nasionalisme Indonesia juga nasionalisme yang
memuliakan kemanusiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan,
perdamaian dan keadilan antarumat manusia. Dengan mengutip ucapan Karamchand
Gandhi, Soekarno menyatakan, “Buat saya, maka cinta saya pada Tanah Air itu,
masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh
karena saya manusia dan berbicara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa
juga.” Dengan demikian nasionalisme Indoneia tidaklah bersifat chauvinis atau
provinsialis yang memecah belah. Nasionalisme yang semacam ini, ia anggap
sebagai bentuk ‘assyabiyah yang dikutuk Allah’.
Sepadan dengan keterbukaan nasionalisme Indonesia terhadap
khazanah kemanusiaan universal, klaim universal pelbagai peradaban juga harus
didialogkan dengan realitas setempat. Dalam kaitan ini, seperti pernah
diingatkan Nurcholish Madjid (1995), orang-orang beragama diharapkan mampu
mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat
kesenjangan antara keagamaan dan keindonesiaan.
Bahkan lebih mendasar lagi, umat beragama di Indonesia
harus dapat menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya
lagi kesenjangan antara etika universal agama-agama dan Pancasila. Sebagai
pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, komunitas agama semakin
diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan
konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam
kerangka penguatan persatuan Indonesia.
Akhirnya, persatuan Indonesia dalam kerangka
civic-political nationalism mensyaratkan loyalitas warga pada seperangkat
cita-cita politik dan kelembagaan yang dianggap adil dan efektif. Untuk itu,
formasi kebangsaan dalam kerangka menghadapi musuh bersama harus
ditranformasikan menjadi usaha merealisasikan keadilan dan kesejahteraan
bersama.
Selain perlu adanya basis kesetaraan dalam ekonomi,
penguatan nasionalisme politik juga memerlukan kesetaraan kesempatan dan
interaksi sosial. Sekolah-sekolah publik dan ruang publik lainnya harus bisa
diakses orang dari latar agama dan etnik apa pun, dan menjadi wahana
peyerbukan silang budaya (cross-culture fertilization) yang dapat memperkuat
budaya kewargaan (civic culture). Dengan adanya kesetaraan dan keleluasaan
dalam partisipasi publik, obsesi pada perbedaan akan beralih menjadi tendensi
untuk mencari titik temu (persamaan). Dalam pada itu, warga juga bisa
menemukan suasana saling pengertian, pada titik mana mereka bisa berbeda dan
pada titik mana pula mereka harus bersama.
Dalam mentransformasikan ke-Kami-an menuju ke-Kita-an, diperlukan
sikap positif dan prasangka baik. Kerja sama dan sikap saling memercayai
serta iktikad baik tiap-tiap komunitas, yang diperkuat jalinan gotong royong
secara fungsional di antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang
ada, merupakan segi penunjang efisiensi demokrasi dalam suatu masyarakat
multikultur.
Seperti dinyatakan Nurcholish Madjid (1995: 67),
“Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada
satu sama lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup
demokratis, tapi juga dapat menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang
bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan
nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua
(egalitarianisme), dan tingkah laku penuh percaya kepada iktikad baik kepada
orang dan kelompok lain mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan
yang positif dan optimistis.”
Dengan demikian, kebangsaan Indonesia ialah ekspresi rasa
syukur atas desain sunatullah (hukum Tuhan). Segala puji bagi Tuhan atas
segala karunia kekayaan-kemajemukan dan keindahan negeri ini, dan segala
bakti bagi sesama demi kebahagiaan hidup bersama. Puji dan bakti itu kita
lakukan dengan menjunjung tinggi kesetaraan kemuliaan manusia. Lewat usaha
mengembangkan sikap positif terhadap kemajemukan bangsa, melalui perwujudan
demokrasi permusyawaratan berlandaskan semangat persatuan yang berorientasi
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar