Kekerasan
dalam Pendidikan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 17 April 2017
KEKERASAN, dalam metafora yang luas, bisa mencakup beragam
perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Efek
kekerasan terhadap anak sungguh amat dahsyat karena secara fisik maupun
psikologis, kekerasan akan membekas lama dan dalam di relung jiwa seorang
anak. Dalam jangka panjang, efek psikologis mungkin yang paling
mengkhawatirkan karena bisa memengaruhi perilaku seseorang ketika dewasa
bahkan di masa tuanya. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia
pendidikan dan mencuat dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia ini
mengindikasikan adanya tindak kekerasan yang melibatkan hampir semua stakeholders
sekolah, yaitu guru, pegawai, siswa, dan bahkan orangtua. Kasus tewasnya
siswa di SMA Taruna Nusantara, dan tak terhitung kasus yang menjerat siswa,
guru, dan orangtua dalam perilaku kekerasan, serta perlakuan kasar kakak
kelas terhadap adik kelas saat proses penerimaan siswa baru, ialah contoh
buruk betapa dunia pendidikan seolah tak mampu menghindari dan sekaligus
melawan kekerasan.
Faktor pemicu
O'Sullivan (Urban Economics: 2000) membuat analisis
menarik tentang faktor dan indikator yang membuat anak-anak sering terlibat
dengan praktik kekerasan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam
pandangannya, kekerasan yang dilakukan seorang siswa sesungguhnya merupakan
dampak langsung dari kebijakan tentang ukuran ruang kelas (class size), sumber
pembiayaan sekolah (school financial resources), kurikulum (the curriculum),
efek pergaulan sejawat (peer effects), dan latar belakang orangtua (parents'
background). Pertanyaannya ialah, mana di antara faktor dan indikator itu
yang paling determinan dan dominan dalam kasus dan praktik kekerasan para
siswa kita.
Dalam banyak riset tentang kekerasan yang melibatkan siswa
di sekolah (Gorski and Pilotto: 1993), faktor psikologis seperti ukuran
kelas, akibat pergaulan sejawat, dan latar belakang orangtua menyumbang
risiko tertinggi pada praktik kekerasan. Menarik untuk melihat dan
mempertimbangkan, betapa sistem pendidikan kita, dengan alasan angka wajib
belajar yang tinggi, tak bisa menciptakan ruang kelas yang ideal dan nyaman
bagi anak dan guru untuk belajar. Bahkan sejak di SD, anak-anak kita sudah
menghadapi kendala psikologis 'menumpuk' karena jumlah mereka yang terlalu
banyak berbanding luasnya ruang kelas. Ketika di SMP dan SMA, anak-anak kita
menghadapi problem tambahan, yaitu ketiadaan pendampingan rutin dan intensif,
baik dari guru maupun orangtua, ketika mereka mengenal dan saling memengaruhi
dalam pergaulan di sekolah.
Belum lagi faktor latar belakang orangtua yang juga
menyumbang signifikan terhadap munculnya perilaku kekerasan siswa. Jika
ditambah faktor kurikulum dan cara sekolah mengelola dan membuat perencanaan
anggaran pembiayaan sekolah, bukan tidak mungkin faktor itu juga ikut
menyuplai praktik kekerasan terhadap siswa. Secara sistemik, kurikulum
pendidikan kita seperti abai dengan upaya penumbuhan perilaku anak yang damai
dan prososial. Proses pembelajaran dilakukan dengan cara yang rigid dan
miskin kreativitas sehingga siswa kita seperti tak berdaya ketika menghadapi
hadangan budaya dan gaya hidup hedonis yang semakin kompleks. Selain itu, berdasarkan
riset di beberapa kali pelatihan tentang efektivitas pembiayaan sekolah
berbasis kebutuhan siswa, skema pembiayaan sekolah di dalam RAPBS sangat
miskin ide yang mampu menggiring siswa untuk berperilaku positif. Kasarnya,
cara sekolah menyusun RAPBS jangan-jangan merupakan faktor pemicu munculnya
budaya kekerasan di kalangan siswa karena indikasi korupsinya sangat kuat.
Kebutuhan MKBS
Menciptakan lingkungan yang positif di sekolah merupakan
kebutuhan yang tidak mungkin ditawar lagi. Terutama dalam menjamin
kelangsungan proses belajar yang aman, damai, serta mendukung pencapaian
akademis siswa dan meningkatkan keterampilan sosial siswa. Ada banyak
instrumen yang bisa digunakan para pemangku kepentingan pendidikan untuk
mencegah radikalisme dan kekerasan terjadi di sekolah. Salah satunya
mengoptimalkan mekanisme pengambilan keputusan tentang apa pun yang terjadi
di sekolah, melalui saluran keputusan bersama yang dilembagakan ke dalam
mekanisme pengelolaan konflik berbasis sekolah. Kekerasan yang terjadi dengan
intensitas tinggi dalam setahun terakhir ini patut diuji melalui serangkaian
analisis, baik secara sosiologis maupun pedagogis. Secara sosial,
jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat kita itu akumulasi
dari gagalnya lembaga pendidikan kita melakukan transfer pendidikan secara
damai dan berkeadilan. Secara pedagogis, jangan-jangan sekolah-sekolah kita
memang tak memiliki kendali operasional resolusi konflik yang dapat melatih
seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola konflik di sekolah
melalui skema pembelajaran yang efektif.
Tricia S Jones (2000) mendefinisikan pendidikan resolusi
konflik sebagai a spectrum of processes that utilize communication skills and
creative and analytic thinking to prevent, manage, and peacefully resolve
conflict. Pengertian ini memberikan gambaran umum kepada kita bahwa
sebagaimana pendidikan pada umumnya, proses kreatif dalam menumbuhkan
kemampuan berkomunikasi dan berpikir analitik harus menjadi sudut pandang
(angle) para pengajar dan pendidik untuk mengajarkan resolusi konflik. Setiap
manajemen sekolah harus memahami prinsip-prinsip dasar pengembangan kurikulum
pendidikan konflik yang didasarkan pada serangkaian kegiatan yang
memungkinkan lembaga pendidikan merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya
(school mapping). Menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas
guru dan kemampuan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem
pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence),
serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran yang
efektif-komprehensif (Jackson 1992). Kesepakatan tentang penanganan konflik
di sekolah bukan saja penting untuk dimasukkan ke struktur kurikulum secara
formal, melainkan juga bisa diskemakan ke statuta sekolah yang mengatur
segala urusan konflik secara jelas berdasarkan struktur sekolah yang efisien
dan permanen.
Membangun komitmen pendidikan damai, dengan demikian,
ialah kata kunci yang harus dilakukan komunitas sekolah dalam rangka merancang
bangunan resolusi konflik yang memadai di lingkungan sekolah agar anak-anak
kita terhindar dari semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari seperti
yang kita lihat hari-hari terakhir ini. Secara integratif, pendekatan
terstruktur di dalam sekolah merupakan sebuah keniscayaan karena ini berarti
sekolah sedang secara serius memikirkan mekanisme konflik dan penanganan
kekerasan secara integratif. Dalam terminologi Willam De Jong dari Harvard
School of Public Health (2003) 'the best school-based violence prevention
programs seek to do more than reach the individual child. They instead try to
change the total school environment, to create a safe community that lives by
a credo of non-violence'. Dengan praktik tak ada kekerasan di sekolah, baik
guru maupun siswa harus berusaha menghindarkan diri dari kebiasaan buruk
berlaku kasar pada saat mengajar maupun belajar di lingkungan sekolah. Kredo
tentang asas nirkekerasan ini merupakan disiplin serius yang harus ditegakkan
seluruh sekolah kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar