Merajut
Kepastian Berusaha
Adhi S Lukman ; Ketua Umum Gapmmi(Gabungan Pengusaha Makanan
dan Minuman Seluruh Indonesia); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
(DKP) Indonesia; Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Pangan, Kadin
Indonesia
|
KOMPAS, 29 Maret 2017
Gonjang-ganjing pangan dan pertanian terus bergulir seolah
tiada henti, seperti keributan pasokan dan harga beras, cabai, telur ayam,
dan daging sapi. Akhir-akhir ini harga cabai melambung sangat tinggi,
sebaliknya harga telur ayam turun drastis. Apakah ini faktor
pasokan-permintaan semata yang bisa disebabkan oleh faktor teknis seperti
kegagalan panen, waktu, musim, logistik, dan sebagainya; atau karena
kesengajaan pihak-pihak tertentu dalam mengendalikan pasokan dan harga, yang
lebih dikenal sebagai mafia dan kartel.
Semua belum pernah dikupas secara tuntas sehingga akhirnya
berulang terus.
Penanganan secara politik, sosial, budaya, dan bernuansa
populer bercampur menjadi satu dengan sekat yang amat sangat tipis dalam
menanggapi masalah ini. Kekurangan atau kelebihan pasokan dipermasalahkan,
demikian juga harga yang terlalu tinggiatau terlalu rendah. Semua bermuara
pada penyebab utamanya yang kadang tidak diketahui dengan jelas di tengah
ketidaktersediaan data yang akurat, atau informasi yang simpang siur.
Bahkan, sering kali terlalu cepat sejumlah pihak menarik
kesimpulan sehingga justru menimbulkan masalah baru, bisa karena niat
tertentu, ketidaktahuan, atau karena dipicu oleh sekadar kebebasan
berpendapat saat ini. Akibatnya, kata-kata seperti kartel, mafia, dan
lain-lain sering kali menjadi ”kambing hitam” dalam menyelesaikan masalah,
yang belum tentu menjadi penyelesaian mendasar.
Pemerintah berusaha melakukan yang terbaik untuk
memperbaiki iklim usaha dan menarik investasi agar dunia usaha bisa menjadi
penyumbang pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, berbagai paket deregulasi
kebijakan ekonomi dan perbaikan kemudahan berusaha juga diluncurkan.
Seperti beberapa kali disampaikan oleh Presiden Jokowi
bahwa dunia usaha adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah menjadi
faktor pemicu dan fasilitator pembangunan saja. Peran dunia usaha sangat
vital. Namun, berbagai masalah di atas bisa menjadi faktor yang melemahkan
karena timbul ketidakpastian berusaha, yang berakibat pada menurunnya minat
berinvestasi. Energi kita juga habis untuk membahas hal-hal di luar masalah
ekonomi.
Investasi di Indonesia sebenarnya sangat menarik, terbukti
dari nilai realisasi investasiindustri pangan yang meningkat sekitar 40
persen. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi
penanaman modal asing naik dari 1,5 miliar dollar AS tahun 2015 menjadi 1,6
miliar dollar AS tahun 2016. Sementara penanaman modal dalam negeri meningkat
dari Rp 24,5 triliun menjadi Rp 32 triliun.
Minat investasi yang besar seharusnya disertai dengan
kondisi yang kondusif dan kepastian berusaha agar menjadi langgeng dan
menyumbang pada pertumbuhan ekonomi secara nyata. Apalagi industri pangan
berkontribusi cukup signifikan, yaitu sekitar 33 persen, pada produk domestik
bruto (PDB) industri sektor non-migas.
Perlu lembaga klarifikasi
Beberapa kasus seperti terjadi pada komoditas unggas dan
cabai menjadi isu besar di media akhir-akhir ini dan melibatkan banyak pihak
mulai dari pemerintah, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), dan bahkan
kepolisian.
Saling silang para pihak bahkan menyebar melalui media
sehingga menambah kerumitan dan memengaruhi independensi para pihak dalam
menangani perkara. Akhirnya hal ini menjadi disinsentif bagi dunia usaha
maupun konsumen sendiri.
Pemerintah perlu memikirkan prosedur penanganan masalah
dan etika penyampaiannya kepada publik. Juga perlu dibentuk lembaga yang
independen, kompeten, dan kredibel dalam membantu Presiden terkait hal ini.
Dengan demikian bisa diminimalkan dampak negatifnya.
Lembaga ini harus menyiapkan tata cara serta tata kelola
menangani isu di bidang pangan dan sekaligus menjadi lembaga klarifikasi
(clearing house) para pemangku kepentingan agar segala persoalan bisa dibahas
bersama, mencari solusi yang konstruktif, serta tindak lanjut untuk mencegah
agar masalah yang sama tidak terjadi lagi.
Tentu saja, lembaga ini harus dilengkapi dengan
ketersediaan data dan informasi yang faktual serta akurat tepercaya. Etika
penyampaian masalah dan penyelesaian ke publik disiapkan dengan baik agar
tidak berkembang menjadi isu liar dan ditanggapi banyak pihak yang
ujung-ujungnya merugikan semua.
Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 telah
diatur terbentuknya lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang
berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Sebenarnya, lembaga ini (yang belum terbentuk), apa pun
namanya nanti, apakah Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau Badan Otoritas
Pangan (BOP), bisa menjadi lembaga klarifikasi yang baik. Kebijakan, tata
cara, tata kelola, serta penyelesaian bisa dilaksanakan di sini, apalagi
lembaga ini langsung berada di bawah Presiden.
Lembaga ini sebenarnya sudah dirancang mempunyai
kewenangan, antara lain, bidang ketersediaan dan kerawanan pangan;distribusi
dan pelembagaan pangan; serta konsumsi dan keamanan pangan. Kewenangan di
bidang distribusi dan pelembagaan pangan, termasuk mengatasi pasokan dan
stabilisasi harga, sangat relevan dalam mengatasi isu-isu pangan seperti
terjadi akhir-akhir ini.
Akhirnya, didasari pikiran positif semua pihak, dengan
mencari solusi yang didasarkan pada fakta dan data tepat, menyimpulkan untuk
kepentingan nasional, serta menindaklanjuti untuk pertumbuhan ekonomi,
diharapkan kepastian berusaha akan tumbuh dan lebih meyakinkan investor.
Dengan begitu, upaya pemerintah untuk menarik investasi
dan menjadikan dunia usaha menjadi motor pembangunan tidak menjadi sia-sia.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar