Menyidik
Teror Penyidik KPK
Lasarus Jehamat ; Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 15 April 2017
TEROR melanda Komisi Pemberantasan Korupsi. Selasa (11/4)
pagi, penyidik KPK, Novel Baswedan, disiram orang tidak dikenal dengan
menggunakan air keras. Fenomena itu tentu menyulut berbagai pihak untuk
menganalisis sebab dan implikasi berikutnya. Sampai hari ini, KPK dianggap
sebagai lembaga superpower yang memiliki kekuasaan sangat besar dalam proses
pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK menjadi satu-satunya lembaga yang
memiliki keluasan akses untuk masuk sampai ke ruang pribadi, terutama ketika
individu tertentu disinyalir melakukan tindakan korupsi. Itulah alasan
mengapa kemudian, selama ini, berbagai pihak yang kepentingannya terganggu
berusaha mengganggu KPK berbagai cara. Hanya, dalam perjalanan, beragam cara
untuk melemahkan KPK menemukan jalan buntu.
Rupanya, kekuatan masyarakat sipil dan seluruh rakyat
Indonesia dalam membongkar kedok perilaku buruk elite kekuasaan jauh lebih
besar ketimbang usaha beberapa pihak menghentikan berbagai langkah positif
pemberantasan korupsi. Para elite yang mengorupsi uang rakyat rupanya tidak
tinggal diam. Ketika usaha di jalur formal, berbagai cara ekstraparlementer
kerap dilakukan. Pelemahan KPK terus dilakukan dengan berbagai alasan yang
sungguh logis meski belum tentu benar. Selasa (11/4), nasib pemberantasan
korupsi di Indonesia kembali terancam. Ancaman pemberantasan korupsi tidak
hanya diterima KPK secara kelembagaan. Secara personal, pimpinan KPK berikut
penyidik KPK terpaksa harus menerima dampak dari beragam upaya pelemahan KPK
tersebut.
Selasa pagi, wajah penyidik senior KPK, Novel Baswedan
(NB), diserang dan disirami cairan beracun (air keras). Gugatan kemudian
ialah apakah penyerangan tersebut hanya dibaca sebagai fakta kriminal murni?
Apakah penyerangan itu tidak bisa dihubungkan dengan berbagai kerja bersama
dalam proses pemberantasan korupsi? Tulisan ini ingin menjawab masalah
tersebut. Tesis dasarnya bahwa penyerangan penyidik KPK yang dilakukan orang
yang tak dikenal harus dihubungkan dengan keseluruhan proses dan upaya
pemberantasan korupsi di Tanah Air. Bahwa penyerangan tersebut harus dibaca
dalam konteks pemberontakan elite yang kemapanannya terganggu oleh kerja
masif KPK.
Harus diakui, di Indonesia, korupsi menjadi masalah
sistemik. Banyak manusia yang mencuri dan menjarah uang rakyat. Perkara
sistem atau subsistem yang salah tidak jadi soal.
Yang pasti, korupsi berjalan beriringan dengan perjalanan
bangsa ini. Korupsi di Indonesia sudah melampaui ruang dan aktor. Korupsi
telah terjadi di semua level pemerintahan dan di hampir seluruh bagian
penyelenggara negara; terbentang dari pusat hingga daerah. Di titik yang
lain, korupsi dilakukan banyak sekali elite kekuasaan di negara ini.
Korupsi tidak hanya terjadi di elite pemerintah pusat,
tetapi juga di daerah. Dari pegawai kecil hingga ke pejabat negara di pusat.
Dalam dan amat menggurita. Karena realitasnya demikian, dalam setiap usaha
pemberantasan korupsi biasanya langsung berhadapan dengan tembok besar personal
dan institusional. Ujian penolakan akan tuduhan melakukan tindakan korupsi
pasti muncul dan terjadi di mana-mana. Negeri ini seakan menjadi republik
hipokrit. Sulit dipercaya dan jauh dari kejujuran.
Varian teror
Haberfeld dan von Hassell, Eds. (2009) pernah menulis
dengan sangat baik tentang varian terorisme dalam A New Understanding of
Terrorism: Case Studies, Trajectories and Lessons Learned. Menurut Haberfeld
dan von Hassell berdasarkan motifnya, terdapat tiga varian utama terorisme,
yakni criminals (kriminal), crusaders (perang atau pemberontakan), dan
crazies (kegilaan). Teror kriminal berkaitan dengan perilaku kriminal biasa
untuk tercapainya berbagai tujuan pelaku kriminalitas baik secara individu
maupun kelompok. Teror kegilaan berhubungan dengan perilaku kekerasan yang
dilakukan individu. Di aspek ini, teror kebanyakan terjadi karena faktor
psikologis. Di sudut yang lain, terdapat jenis terorisme karena motif
pemberontakan dan atau peperangan. Di jenis ini, terorisme terjadi karena
sebab jamak dan banyak. Balas dendam dan konspirasi termasuk. Untuk
memuluskan langkah pelaksanaan kegiatan, tiga jenis terorisme tersebut mesti
direncanakan dengan sangat matang.
Di situ dibutuhkan strategi. Dalam The Strategy of
Terrorism : How It Works and Why It Fails, Neumann and Smith (2007) menyebut
teror sebagai alat; alat yang dipakai pelaku kriminal, baik individu maupun
kelompok dalam mencapai tujuan. Di sana, beragam cara dilakukan untuk
menghambat setiap proses yang menghalangi berbagai usaha pelaku kriminal
tersebut. Karena hal demikian, oleh banyak ahli, fenomena banyak dan rumitnya
struktur masalah dalam persoalan terorisme disebut sebagai konspirasi.
Fenster (2008), dalam Conspiracy Theories : Secrecy And Power In American
Culture, menyebut konspirasi sebagai racun dalam sistem sosial, budaya, dan
ruang publik modernitas. Disebut racun karena dalam dirinya, aktor-aktor
konspirasi berada dan bermain di ruang maya, tetapi berimplikasi secara nyata
di dunia sosial.
Teror KPK
Kiranya tidak terlalu sulit mengenal Novel Baswedan.
Penyidik KPK ini sering menangani kasus-kasus besar korupsi elite bernama
besar. Terakhir, Novel Baswedan menangani kasus megakorupsi KTP elektronik
yang melibatkan banyak pejabat di republik ini baik yang sedang berkuasa
maupun yang tidak. Total kerugian dalam kasus ini Rp2,3 triliun.
Penyerangan penyidik bisa dijelaskan dengan pendapat ahli
itu. Kejadian yang menimpa penyidik KPK bisa masuk kategori kriminal dan
peperangan atau pemberontakan. Masuk kategori kriminalitas karena menyalahi
aturan formal. Ketika dihubungkan dengan posisi Novel di KPK penanganan
beragam kasus korupsi berskala besar, sulit untuk tidak dikatakan penyerangan
itu persis berkaitan dengan proses penyelidikan kasus besar yang ditangani
Novel. Penyerangan itu harus dibaca sebagai bentuk pemberontakan beberapa
pihak terhadap berbagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh elite
yang kepentingannya terganggu, Novel Baswedan dianggap sebagai pengganggu
kenyamanan atas praktik busuknya selama ini.
Beberapa elite kekuasaan pasti menganggap KPK terlampau
sering merusak kenyamanan posisi politik dan sosial selama ini. Mereka yang
dituduh bersalah selama ini sering menggunakan jalur hukum meski dalam
beberapa kasus, usaha mereka pun sia-sia. Karena itulah, elite yang
kepentingannya terganggu mencari upaya lain. Teror seperti yang melanda
penyidik KPK termasuk di dalamnya. Di sisi yang lain, teror seperti dialami
penyidik KPK harus dianggap sebagai strategi yang dibuat pelaku korupsi untuk
mengalihkan isu yang sedang berkembang. Jika dihubungkan dengan berbagai
proses penyidikan dan penyelidikan kasus megakorupsi, teror terhadap penyidik
KPK merupakan gejala konspirasi guna menutup berbagai praktik busuk korupsi
di negara ini. Harus dibangun usaha bersama agar KPK tetap tegak berdiri
dalam melakukan usaha pemberantasan korupsi. Harus diingat bahwa semangat
dari para koruptor untuk membendung semua upaya pemberantasan korupsi pasti
besar pula. Di sini, dibutuhkan kerja bersama semua elemen bangsa untuk
menyelamatkan KPK dan terutama menyelamatkan uang rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar