Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
Hanif Nurcholis ; Guru Besar Bidang Pemerintahan Daerah
Universitas Terbuka; Ketua Umum Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
|
KOMPAS, 15 April 2017
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B Ayat (2) memberikan
mandat kepada negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adat. Kesatuan masyarakat hukum adat lebih lanjut dijelaskan dalam UU No 41
Tahun 1999, UU No 18 Tahun 2004, UU No 32 Tahun 2009, UU No 21 Tahun 2001,
dan putusan Mahkamah Konstitusi No 31/PUU-V/2007. Intinya adalah masyarakat
hukum adat adalah masyarakat organik yang terikat dan mematuhi hukum adat.
Ciri-cirinya, anggota masyarakatnya memiliki perasaan
sekelompok (in-group feeling), pranata pemerintahan adat, benda-benda adat,
norma hukum adat, dan wilayah tertentu sebagai tempat tinggal dan sumber
penghidupan. Konsep kesatuan masyarakat hukum adat sama dengan konsep
indigenous peoples Deklarasi PBB 2007 tentang Hak-hak Indigenous Peoples.
Kesatuan masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat
adat. Masyarakat adat bukan masyarakat organik, tetapi hanya sebuah komunitas
yang terikat dan mematuhi adat tertentu. Masyarakat adat tak punya pranata
pemerintahan adat, benda-benda adat, norma hukum adat yang dipatuhi karena
memiliki sanksi, tanah adat, dan wilayah tertentu sebagai tempat tinggal dan
sumber penghidupannya.
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa juga mengatur Desa Adat
(Pasal 96-Pasal 110). Lima pasal ini merujuk Pasal 18 B Ayat (2): Negara
mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat. Mengakui dan
menghormati maknanya adalah melakukan rekognisi atas kesatuan masyarakat
hukum adat yang sudah eksis ratusan tahun lalu apa adanya, mencakup pranata
pemerintahan adat, kewenangan adat, norma hukum adat, benda-benda adat, tanah
adat/komunal/ulayat, batas desa adat.
Namun, UU No 6 Tahun 2014 bukan mengakui dan menghormati,
tetapi menata (Pasal 96), membentuk (Pasal 98 Ayat (2)), dan menetapkan
kewenangan asal-usul yang bersifat atributif (Pasal 103) Desa Adat. Jadi,
Desa Adat dalam UU No 6 Tahun 2014 bukan kesatuan masyarakat hukum adat yang
diakui dan dihormati sebagaimana dimaksud Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945,
tetapi desa yang ditata, dibentuk, diberi kewenangan asal-usul yang bersifat
atributif oleh negara.
Beberapa peraturan daerah tentang Desa Adat salah satu di
antaranya adalah Perda Penataan Desa dan Desa Adat Kabupaten Rokan Hulu,
isinya bukan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat yang
masih hidup, melainkan menetapkan, mengatur, dan memberi kewenangan atributif
terhadap desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat artifisial.
Revitalisasi adat
Untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adat, pemerintah seharusnya melakukan penelitian yang mendalam terlebih dulu
atas keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, tidak buru-buru menyulap desa
menjadi ”kesatuan masyarakat hukum adat”. Pembentukan kesatuan masyarakat
hukum adat artifisial berpotensi menjadi bom waktu.
Di beberapa daerah, masyarakat adat dimobilisasi
orang-orang kota, mulai dari politikus, pejabat negara, kepala daerah,
akademikus, aktivis LSM, pemodal, dan pengacara agar menuntut pemerintah
menjadikan dirinya sebagai Desa Adat dengan klaim hak kepemilikan tanah
adat/ulayat.
Jika pemerintah tak selektif, beberapa tahun lagi akan
terbentuk ribuan ”kesatuan masyarakat hukum adat” yang akan dijadikan alat
orang-orang kota untuk menuntut perusahaan swasta dan BUMN mengembalikan
hutan dan lahan yang digarap kepada kesatuan masyarakat hukum adat
jadi-jadian.
Penelitian Renske Biezveld (2010: 244) tentang masyarakat
adat di Sumatera Barat menyimpulkan bahwa upaya revitalisasi adat tidak
terlalu terkait dengan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri,
tetapi lebih sebagai upaya orang per orang dan kelompok yang hendak mendapatkan
keuntungan dari peluang-peluang baru yang tersedia dalam isu otonomi
politik-ekonomi masyarakat adat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar