Menumbuhkan
Literasi Agama
Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib Syuriah PWNU dan
Pengurus LPPM Universitas NU
(UNU) Yogyakarta;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
|
KOMPAS, 12 April 2017
Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan Presiden Joko
Widodo di Istana Negara (5/4/2017), Prof Nasaruddin Umar—Imam Besar Masjid
Istiqlal—menyampaikan salah satu faktor utama maraknya perilaku intoleransi
dalam kehidupan masyarakat disebabkan dangkalnya pemahaman keagamaan.
Sikap intoleransi yang mewujud dalam berbagai bentuk,
seperti menyesatkan, mengafirkan, membenarkan ajarannya sendiri, dan disertai
menyalahkan ajaran pihak lain beririsan kuat dengan rendahnya pemahaman
keagamaan. Pemahaman keagamaan menjadi kunci utama yang perlu dibenahi agar
bisa memunculkan sikap moderat, toleran, dan progresif. Pertanyaannya,
bagaimana merajut sebuah pemahaman keagamaan yang dalam agar dapat menjadi
pandu keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat Indonesia?
Merujuk pemikiran KH Mustofa Bisri dalam buku Saleh
ritual dan Saleh Sosial: Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, dan Kualitas Akhlak
Sosial, pemahaman keagamaan tak sekadar mengaitkan ketundukan
terhadap Tuhan yang diyakini lalu dimanifestasikan dalam bentuk kesalehan
ritual. Secara antromorfik pemahaman keagamaan bisa terejawantah pula ke
dalam kesalehan sosial yang dilandasi komitmen saling mengasihi sesama dan
menghargai aneka perbedaan.
Dengan demikian, untuk membenahi pemahaman keagamaan yang
bervisi antromorfis diperlukan melek agama (religious literacy) yang
bisa membingkai berbagai perilaku dan pengetahuan tentang agama secara
konstruktif, dinamis, humanis, komprehensif.
Literasi agama
Merujuk pemikiran Dr Abdul Ghaffar Karim—dosen politik dan
agama FISIP UGM—bahwa dalam literasi agama yang diperlukan adalah tiga aspek.
Pertama, memiliki pemahaman terhadap agama yang dipeluk. Kedua, memiliki
pemahaman konteks relasional antara satu agama yang dipeluk dan agama-agama
yang lain. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang konteks evolusi setiap agama.
Ketiga aspek ini menjadi semacam modalitas sosial untuk
menempatkan agama kita di tengah banyaknya agama lain. Baik agama semit yang
turun dari langit maupun agama bumi yang dihasilkan dari proses interelasi
budaya kehidupan masyarakat.
Ketika seseorang telah menyatakan diri Muslim tentu pada
dirinya melekat berbagai informasi dan pengetahuan tentang apa itu Islam.
Bagaimana menjalankan ajarannya. Bagaimana menjalankan segala perintah dan
menjauhi larangannya.
Akan tetapi, ini tidak cukup untuk menumbuhkan iklim
keberagamaan yang mencerdaskan. Kita masih membutuhkan pengetahuan lain yang
bisa memberikan pemahaman lebih komprehensif bahwa ajaran dan peribadatan
yang dijalankan sebenarnya bermula dari keyakinan agama lain. Salah satu contoh
adalah kewajiban berpuasa yang sejak dahulu sudah diwajibkan kepada umat
sebelumnya dan diadopsi oleh agama Islam.
Selain itu, kita pun perlu mengetahui bagaimana keberadaan
agama kita di antara agama-agama lain yang sudah hadir sebelumnya. Jika kita
memahami sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan bahwa ajaran Islam
yang dibawa beliau hanyalah semacam batu bata terakhir yang dipasang dalam
sebuah bangunan, maka keberadaan Islam tidaklah menjadi alat untuk menihilkan
ajaran agama lain. kehadiran agama Islam sekadar melengkapi sebuah bangunan
kepercayaan yang diekspresikan dan dijalankan oleh masing-masing pemeluknya.
Dalam pembacaan ini, maka dalam bingkai pengetahuan agama
secara konstrukif, dinamis, humanis, dan komprehensif, kita akan selalu
berupaya merajut pemahaman keagamaan secara cerdas dan tak menjadikan
pengetahun agama untuk saling menjatuhkan. Selain itu, kita juga akan selalu
berusaha mempelajari agama lain sebagai sarana memperkuat pengetahuan
keagamaan kita sendiri. Setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana memosisikan
diri secara arif.
Dengan kata lain, merujuk pandangan Prof Amin
Abdullah—guru besar perbandingan agama UIN Sunan Kalijaga— ”untuk menjadi
religius, kita harus memiliki pengetahuan lintas agama”. Dalam hal ini, mengetahui
agama lain bukan berarti harus masuk ke dalam agama itu, melainkan berusaha
memahami dan mengerti ajaran-ajarannya agar menghindari kesalahpahaman yang
memicu konflik.
Semangat moderasi dalam menumbuhkan literasi keagamaan
demikian akan berdampak pada sikap lebih humanis, yaitu membangun sikap
saling memahami secara konstruktif dan dinamis tentang segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bertukar pikiran tentang praktik
keberagamaan inklusif guna memperkuat hubungan sosial keberagamaan yang
toleran.
Saling memahami
Dalam kondisi sosial keberagamaan yang menegaskan sikap
saling memahami (mutual understanding), kita akan selalu waspada diri
untuk mencegah cara-cara otoritarian dan despotik dalam menyampaikan ajaran
agama. Kita pun akan selalu melek untuk tidak menyertai berbagai bentuk
ujaran yang bernuansa cacian dan makian tentang agama lain hanya karena tidak
sama dengan sistem keyakinan kita. Sebab, pola sajian agama yang demikian
hanya akan memperbesar kubang perbedaan dan memerosokkan orang dalam pusaran
konflik horizontal.
Di samping itu, sesungguhnya puncak dari pemahaman
keagamaan yang dalam adalah jika di antara masing-masing orang dan kelompok
terlibat dalam sikap saling memahami. Seberapa kuat keinginan kita menganalisasi
setiap apa yang kita ketahui dari agama untuk dijadikan suplemen ”saling
memahami”, maka di situlah titik tumpu literasi agama itu akan tumbuh dengan
baik.
Dari sikap saling memahami ini, yang kita imajinasikan
bukan sekadar memperkuat ikatan keumatan secara seragam yang terbangun dalam
struktur keberagamaan, mnelainkan membangun ikatan kewargaan yang beragam
yang didorong atas dasar literasi keberagamaan kita.
Dengan kata lain, merujuk pada pemikiran Stephen Prothero
dalam Religious Literacy: What Every American Needs to Know and
Doesn’t bahwa literasi agama dapat digunakan sebagai pendorong
membentuk ikatan kewargaan yang efektif yang menjembatani setiap ruang
keberagaman dan menciptakan sikap saling memahami agar satu dengan yang lain
bisa hidup berdampingan secara toleran dan inklusif. Dalam ungkapan Prothero,
”we need religious literacy in order to be an effective citizen.”
Pada titik ini, maka dalam pemahaman keagamaan akan
tersumbul semacam kesalehan multikultural (multicultural pieties)—meminjam
istilah Prothero —yang akan mengerangkai setiap tindak-tanduk keberagamaan
yang moderat, toleran, dan progresif—sebagaimana disampaikan oleh Prof
Nasaruddin Umar. Selebihnya, kita berharap rangkaian pertemuan Presiden
Jokowi dengan para tokoh agama menjadi ruang pembelajaran bahwa yang perlu
kita sematkan dalam pemahaman keagamaan adalah literasi keagamaan dalam
merajut sikap saling memahami yang menunjang terciptanya kehidupan berbangsa
yang damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar