Ketoprak
Ketatanegaraan
Abdul Wahid ; Wakil Direktur I Bidang Akademik Program
Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN
|
KOMPAS, 12 April 2017
Menyikapi gonjang-ganjing para elitis yang membuat
konstruksi ketatanegaraan tampak ringkih—meminjam istilah Himawan, Sekjen
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, layaknya
organisasi ”ketoprak”—sejatinya tak lepas dari sikap mental yang sering kali
membenarkan cara-cara demagogisme.
Demagogisme para elitis itu terbaca dalam kasus pelantikan
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Mahkamah
Agung (MA). Antara DPD dan MA ini dipraduga oleh publik sedang menyimpan
”misteri” kepentingan. Jika tidak karena kepentingan yang sangat strategis,
tak mungkin sampai noma-norma yuridis dijadikan obyek permainan.
Demagogisme merupakan deskripsi pendustaaan atau
kebohongan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang terlibat
dalam praktik-praktik tidak terpuji, melanggar kode etik jabatan atau
”menyelingkuhi” norma yuridis. Mereka nekat melakukan ini karena ada
kepentingan besar yang diincar atau dikalkulasi menguntungkannya.
Seseorang atau sejumlah orang itu mendustai kebenaran dan
kejujuran. Norma yuridis yang seharusnya memerintahkan untuk menjaga martabat
institusi, khususnya institusi negara,tidak dilaksanakannya dengan benar,
konsisten, egalitarian, dan berkeadilan.
Norma yuridis justru dijadikan sebagai instrumen
melindungi praktik kotor atau dustanya. Norma yuridis dipermainkan sehingga
tampak tidak menarik dan kian kehilangan kredibilitasnya.
Secara yuridis melantik pejabat sekelas ketua DPD hanya
boleh dilakukan ketua MA, bukan oleh Plt, atau dalam norma yuridis tidak ada
”ruang” pendelegasian. Namun, ternyata perintah norma ini tidak diindahkan
sehingga yang terbaca adalah gugusan para bintang yang menjatuhkan opsi jadi
demagogisme.
Mereka yang menjadi komunitas demagogis itu merupakan
kumpulan orang pintar atau berpengetahuan hukum. Mereka ini pintar berdalil
dan berlogika, tetapi gagal menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya.
Mereka bukan hanya mendustai rakyat, melainkan juga membodohi dirinya
sendiri.
Bukan hanya elitis DPD dan ”oknum” di MA yang terbaca jadi
demagogis. Karena, faktanya, para demagog memang masih mencengkeram kuat
negeri ini. Mereka menancapkan kuku-kukunya dalam lingkaran kekuasaan atau
jabatan yang dipercayakan kepadanya. Mereka jadikan kekuasaan untuk membuka
jalur pungli dan memperluasnya.
”Kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang
menerapkannya dalam hidup ini,” demikian ajakan pakar hukum Edwin Markham
yang ditujukan kepada setiap pengemban amanat negara untuk mewujudkan sikap
dan perilaku yang tidak mendustai kebenaran.
Pengemban amanat negara adalah sosok manusia yang sudah
pintar melafazkan hukum. Namun, fakta yang terbaca: mereka belum tentu
militan dalam mengimplementasikannya. Mereka itu bisa paham dan hafal
regulasi birokrasi di luar kepalanya, tetapi faktanya mereka tidak bermental
konsisten dan militansi dalam penerapannya. Penegakan norma dapat terukur
melalui regulasi yang terimplementasi secara jujur, obyektif, dan
berkeadilan.
Tak boleh didiamkan
Demagogisme itu merupakan jenis model berpolitik yang
pelakunya tergolong serius dalam mempermainkan hukum. Di tangannya, hukum
digunakan sebagai instrumen untuk menciptakan kebingungan di tengah
masyarakat. Mereka jadikan kekuasaan sebagai instrumen menghancurkandan
melumpuhkan bekerjanya sistem hukum.
Ketika di mana-mana gampang ditemukan praktik demagogis
itu, maka ini mengindikasikan kegagalan mewujudkan negara berbasis regulasi.
Para oknum aparat penegak hukum dan birokrasi sejatinya adalah pelaksana
utama gerakan pembumian norma yuridis. Namun, ketika dalam realitasnya rakyat
(publik) masih ”terjajah” oleh berbagai model pembangkangan hukum, berarti
gerakan itu bisa terbilang gagal.
Segala bentuk politik pembaruan hukum nasional yang
menghabiskan dana besar tidak akan ada artinya jika setiap produk
legislasinya tidak bermarwah akibat disimpangi oleh para elite yang
seharusnya menjadi sumber keteladanan hukum.
State without law adalah kata yang digunakan oleh
Shubhan al-Khafaidz (2007) untuk menjawab risiko kehancuran negara akibat
berlaku absolutnya egoisme dan sikap ambisius pemegang kekuasaan yang suka
mengembangkan berbagai model pembangkangan hukum atau penyalahgunaan etik
kekuasaan. Stigma itu tidak salah.
Hukum kausalitas terjadi di negeri ini. Rentannya
konstruksi negara atau tercerabutnya marwah negara hukum adalah akibat sepak
terjang aparatnya yang lebih menyukai mempermainkan (memandulkan) norma-norma
yuridis dan sibuk menahbiskan demagogisasi yang menguntungkan secara ekonomi
dan politik.
”Memanfaatkan” (mendemagogisasi) kekuasaan merupakan salah
satu jenis ”kejahatan” yang dijadikan opsi, bahkan ditahbiskan oleh oknum
aparat negara, pasalnya opsi ini menjadi sumber strategis memenuhi ambisi
ekonomi dan politik. Jika ambisi itu yang terus dimenangkan, sulit rasanya
mengeliminasi stigma ”ketoprak ketatanegaraan”.Mereka yang berambisi ini
diniscayakan akan terus melanjutkan mental oportunisnya untuk mendapat yang
lebih istimewa dan menguntungkannya.
Di mata demagogis itu, konstruksi negara—mau lembek atau
kuat—tak jadi pertimbangannya. Yang selalu dipertimbangkan adalah bagaimana
”sekoci-sekoci” hajat eksklusif dan instannya bisa terpenuhi. Penyakit yang
dipertahankan dan diabsolutkan oleh para oportunis itu tidak boleh didiamkan
oleh rakyat. Rakyat lewat berbagai organisasi harus ”mengeraskan” suaranya
untuk mengingatkannya.
Rakyat tidak boleh membiarkan, apalagimengamini, mereka
makin membentuk sepak terjangnya jadi oportunis. Mereka harus ”dijewer”
supaya negara ini tidak dijadikan objek ”ketoprakan”. Mereka harus
”ditobatkan” agar paham dan sadar makna khitah etik dan yuridisnya sebagai
pejabat negara dan bukan sebagaielemen yang memolitisasi jabatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar