Mengoptimalkan
Ruang Perjumpaan
Anggi Afriansyah ; Dosen Peneliti Sosiologi Pendidikan
di Puslit Kependudukan LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 01 April 2017
SEJUMLAH tokoh, mulai aktivis pendidikan, aktivis HAM,
hingga akademisi menyuarakan kegelisahan terhadap munculnya gejala
intoleransi pada anak-anak sekolah dasar. Riset dari Human Rights Working
Group menunjukkan kecenderungan menguatnya intoleransi di kalangan pelajar
dan anak muda (Media Indonesia, Rabu 29/3). Anak-anak memang sasaran yang
paling strategis bagi internalisasi beragam nilai. Di usia yang masih belia,
orangtua dan gurulah pihak yang paling dominan memengaruhi cara pandang
mereka tentang beragam hal. Mereka lebih mudah dibujuk dan digerakkan untuk
melakukan beragam perintah. Alih-alih dididik menjadi pribadi inklusif,
mereka dididik menjadi pribadi eksklusif. Ini tentu berbahaya sebab
ketidakmauan dan ketidakmampuan bergaul dengan beragam kelompok yang berbeda
akan berdampak pada mereka menjalin relasi sosial.
Kecenderungan mereka untuk berlaku intoleran pun semakin
besar. Negara 'semua untuk semua' seperti yang diungkap Bung Karno dalam
pidatonya pada 1 Juni 1945 silam akan semakin sulit dicapai jika sejak kecil
anak-anak sudah dipengaruhi untuk alergi terhadap perbedaan. Apalagi, jika
setiap kelompok sibuk mentransmisi nilai eksklusif secara masif kepada
anak-anak mereka dan melupakan konstruksi keberagaman dan kebinekaan. Berbeda
pilihan politik, tempat pengajian, preferensi tokoh agama bisa menjadi celah
konfrontasi panjang perdebatan tanpa akhir. Berbeda seolah sebuah persoalan
besar. Jurang perbedaan tersebut semakin kentara di media sosial. Debat dan
pertarungan wacana tak terhindarkan. Tentu hal tersebut wajar saja. Yang
merepotkan ialah ketika pertarungan di jagat maya terbawa di jagat nyata.
Kebencian yang disebar di media sosial kemudian di panen di dunia nyata.
Maraknya informasi hoax semakin memperkeruh suasana.
Survei yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia menyebutkan 92%
informasi hoax menyebar di Facebook, Twitter, Instagram, dan Path.
Aplikasi-aplikasi media sosial itu sangat akrab digunakan anak-anak muda.
Amat mungkin mereka pun mendapatkan beragam berita hoax yang disebar melalui
media sosial. Informasi hoax itu diproduksi dan didistribusi secara gencar
oleh para pembuatnya demi beragam kepentingan. Di tengah buruknya semangat
membaca secara cermat, informasi hoax dengan mudah menemukan mangsa. Jika tak
waspada, anak-anak muda merupakan sasaran empuk dari informasi hoax ini. Jika
guru ataupun orangtua tak memberikan pemahaman yang mumpuni mengenai
penggunaan media sosial, niscaya anak akan mudah teragitasi pada informasi
hoax tersebut. Harus ada early warning system yang ditanamkan guru dan
orangtua kepada anak-anak didik agar mereka tak mudah terbius dan menjadi
bagian pendistribusi informasi hoax.
Perbanyak ruang perjumpaan
Mengapa perbedaan membuat kita mudah bertengkar dan saling
membenci? Salah satu jawaban yang bisa diajukan ialah ruang perjumpaan kita
dengan kelompok yang berbeda masih sangat minim. Tanpa perjumpaan yang
intensif dengan beragam pihak yang berbeda agama, kelas sosial, maupun
budaya, niscaya api kebencian akan lebih mudah disulut. Sangatlah tepat jika
salah satu agenda prioritas Jokowi-JK yang termaktub dalam Nawa Cita ialah
memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui
kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog
antarwarga. Berita dari Purwakarta dapat menjadi salah satu angin segar dan
patut dicontoh. Di beberapa media massa baik cetak maupun daring diberitakan
seribuan siswa sekolah di Purwakarta menggelar botram atau makan bersama di
Bale Paseban Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Senin (27/3), dalam rangka
perayaan Nyepi.
Selayaknya kegiatan botram yang biasa dilakukan masyarakat
Sunda, pada momen tersebut para siswa menikmati beragam santapan, saling
berkumpul, dan berbagi keceriaan. Kegiatan ini memang terlihat sederhana,
perjumpaan secara langsung yang diisi dengan makan bersama. Namun, perjumpaan
itu menjadi pintu masuk untuk kegiatan lain yang lebih konstruktif. Pada
tahapan selanjutnya, perjumpaan dapat dijadikan medium pertukaran gagasan.
Oleh karena itu, perjumpaan dengan pemeluk agama, etnik, maupun kelompok
politik, menjadi penting dilakukan secara reguler. Lembaga pendidikan dapat
menjadi inisiator dalam menggagas ruang perjumpaan itu. Bagi siswa, itu
pembelajaran penting untuk proses pendewasaan diri. Perjumpaan siswa dengan
beragam kelompok akan menjadikan mereka sosok yang lebih luwes dalam bergaul,
memiliki kekayaan perspektif, mengikis kecurigaan. Pada akhirnya memperkuat
persatuan. Karena seringnya bertautan dengan kelompok yang berbeda,
kolaborasi kebaikan pun akan semakin mudah dilakukan.
Acara-acara yang mempertemukan siswa dari beragam
identitas menjadi semakin urgen dilakukan. Kegiatan olahraga, seni budaya,
dan musik merupakan ruang perjumpaan yang perlu dioptimalkan. Pada
praktiknya, perjumpaan dengan lintas agama, etnis, maupun kelas sosial memang
lebih memungkinkan terjadi di sekolah-sekolah negeri. Halev (2003) mengungkap
siswa di sekolah negeri mendapat lebih banyak kesempatan untuk belajar
bekerja sama, berkompromi, berdialog, dan mendapatkan pandangan-pandangan
berbeda dari teman-temannya yang beragam. Kondisi yang sangat baik bagi
pembentukan warga negara di negara yang beragam. Khusus untuk sekolah dengan basis
keagamaan, acara-acara yang mempertemukan para siswa dengan beragam kelompok
sangat penting dilakukan. Sebab, internalisasi untuk menguatkan keberagaman
tak bisa berhenti pada ceramah-ceramah semata.
Praktik-praktik melalui perjumpaan-perjumpaan lintas
budaya, agama, maupun kelas sosial secara langsunglah yang akan dikenang oleh
siswa hingga mereka dewasa. Membiasakan siswa untuk respek terhadap mereka
yang berbeda ialah upaya yang harus dikuatkan terus menerus oleh guru. Bahwa
kebanggaan terhadap agama masing-masing bukan berarti menegasikan dan
merendahkan keyakinan orang lain. Guru punya peran vital dalam
mendesiminasikan pentingnya penghargaan terhadap kelompok yang berbeda
Anak-anak harus diberikan keleluasaan perspektif. Agar mereka tak picik dalam
memandang hidup, mereka harus dikenalkan pada realitas kebangsaan. Indonesia
yang binneka hanya dapat dirawat anak-anak yang mencintai bangsa ini sepenuh
hati. Mereka yang insaf bahwa Indonesia yang beragam harus tetap lestari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar