Indonesia
dan Titik Nol
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS, 01 April 2017
Ketika meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara
di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (24/3/2017), Presiden Jokowi menegaskan,
agama mesti dipisahkan dari politik. Pasalnya, mencampuradukkan urusan agama
dan politik berpotensi membidani tumbukan sosial dan pertikaian mendatar.
Keindonesiaan kita, rasa-rasanya, tengah bergerak ke titik
nol kalau kelompok politik tertentu terus dibiarkan melakukan provokasi politik
dengan memakai bahasa dan simbol agama. Pernyataan Presiden adalah peringatan
yang benar tentang imajinasi keindonesiaan kita yang belum utuh.
Evolusi Indonesia
Boleh jadi Max Lane (2008) benar, kita belum selesai
sebagai bangsa (the unfinished nation). Evolusi keindonesiaan belum tuntas
dari semangat anti-kolonial menuju semangat nation building yang semestinya
ditandai adanya transformasi sosial dan politik dalam mewujudkan cita-cita
teleologis berbangsa dan bernegara.
Pada dekade 1930-an, Sutan Takdir Alisjahbana (STA),
Sanusi Pane, Poerbatjaraka, dan R Sutomo berdebat seru di harian Suara Umum
yang ditulis ulang oleh Achdiat K Mihardja dalam Politik
(Polemik?) Kebudayaan (1948). Berdebat tentang apakah kerajaan-kerajaan yang
berdiri sebelum 1908 (seperti Kutai, Samudra Pasai, Majapahit, Sriwijaya, dan
Mataram) masuk atau tidak dalam kategori ”Indonesia”.
STA menolak tegas danmenyatakan bahwa semua kerajaan
sebelum 1908 adalah bagian dari kontinum sejarah ”pra-Indonesia”. Tentu STA
tak bermaksud anakronis seperti dituduhkan Sanusi Pane, Poerbatjaraka, dan R
Sutomo.
Ia hendak menekankan, keindonesiaan adalah identitas yang
dibangun secara sadar. STA adalah seorang konstruktivis yang tak bermaksud
menderogasi dialektika sejarah Hegelian. Ia hanya menggarisbawahi pentingnya
aspek ”kesadaran”dalam ”menjadi Indonesia” yang belakangan justru dibenarkan
banyak ahli, seperti tesis nasionalisme BenedictAnderson (1983) tentang
imagined community.
Jadi, keindonesiaan adalah identitas kebangsaan yang
tunggal yang dibangun secara sadar dari kebinekaan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Kesadaran inilah yang menyebabkan Piagam Jakarta
(Jakarta Charter) yang dirumuskan Tim Sembilan pada 22 Juni 1945 dikoreksi
oleh Mohammad Hatta setelah bersepakat dengan Teuku Muhammad Hasan, Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Anehnya, dewasa ini muncul lagi kelompok yang berteriak
menghidupkan lagi Jakarta Charter. Mereka berteriak pada saat bola panas
”NKRI Syariah” bergulir kencang sejak 2016. Belum jelas siapa dalang di balik
pertunjukan wayang politik ini, yang jelas kita bisa pastikan bahwa target
mereka adalah mengubah Pancasila dengan sesuatu yang lain.
Para pendiri merancang Republik ini dalam bingkai
demokrasi. Hal itu tak berintensi meminggirkan peran agama dalam politik.
Sekularisasi di Eropa yang memperoleh bentuk kuat pada abad ke-19, setelah
bermunculan kritik keras dari para filsuf terhadap agama sejak abad ke-17,
tidak serta-merta menegasi eksistensi agama dalam kehidupan bernegara.
Indonesia milik semua
Prinsip sekularisasi hanya menertibkan otonomi agama dalam
ruang privat karena ruang publik adalah murni politik (baca: urusan negara).
Hari ini pun masih banyak partai memakai nama agama di Eropa yang sekuler,
seperti Partai Kristen (CDU) atau Partai Katolik (CSU) di Jerman. Namun,
partai-partai berjubah agama itu tidak menjual kitab suci dan simbol liturgis
dalam ruang publik.
Memang, setelah terorisme menjadi perang masa kini, muncul
banyak partai sayap kanan yang terang-terangan menjual isu agama. Partai
sayap kanan di Jerman, Alternative fÜr Deutschland (AfD), berdiri pada 2013
dan terus bermimpi mengusir semua pengungsi dari Eropa. Di Inggris, ada
Britain First, partai radikal yang pada 2015 heboh dengan gebrakan ”Patroli
Kristen” yang bertujuan menyerang komunitas Muslim.
Demokrasi memungkinkan kelompok-kelompok ini hidup, tetapi
hukum demokrasi menindak mereka dengan tegas ketika ada di ruang publik
karena negara bukan milik satu kelompok.
Logika ini yang hendak diperkuat oleh Presiden Jokowi
dalam pernyataan di awal tadi. Bahwa Indonesia adalah milik semua, tidak bisa
dan tidak boleh diklaim oleh satu kelompok, entah itu minoritas ataupun
mayoritas.
Sebagai kekayaan dan identitas bangsa, agama dalam tradisi
Indonesia adalah sumur nilai, tempat kita menimba kebijaksanaan untuk
membangun habitus keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila. Apalagi, Islam
sejak awal adalah unsur penting yang turut membentuk hakikat nasionalisme
keindonesiaan sebagaimana ditegaskan oleh Michael Francis Laffan (2003) dalam
Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below the winds—buku yang
dianggap para kritikus telah melampaui Imagined Communities-nya Benedict
Anderson (1983)!
Berkaca pada Laffan, ekumenisme agama adalah keistimewaan
dalam demokrasi kita.Namun, perjuangan politik agama merujuk pada upaya
menciptakan kemaslahatan umum, bukan membangun arogansi kelompok yang
mengancam kebinekaan.
Memisahkan agama dan politik yang dimaksud Presiden Jokowi
tentu tak berpretensi menolak peran agama dalam politik, tetapi menolak
segala bentuk provokasi dan politisasi agama sebagai taktik untuk berkuasa.
Prinsip demokrasi mengatur bahwa agama secara prosedural
harus ada di ruang privat. Namun, secara substansial agama mesti
mengejawantahkan diri dalam ruang publik melalui perjuangan kebaikan dan
kebajikan yang universal. Dengan jalan demikian, agama bisa menyelamatkan
Indonesia di masa depan agar tidak mundur ke titik nol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar