Menakar
Pemenang Pilkada DKI
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
KORAN
JAKARTA, 3 April 2017
Pilkada DKI putaran kedua merupakan pertarungan abadi
dalam ciri politik Indonesia mutakhir, yakni pertarungan antara partai
politik nasionalis versus partai politik Islam. Pasangan Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (diusung PDIP, Golkar, Hanura dan
Nasdem) merepresentasikan parpol nasionalis dan Anies-Sandiaga (diusung
Partai Gerindra dan PKS) mewakili parpol Islam.
Sejak pemilu pertama 1955 hingga tahun 2014 selalu
menghadirkan lanskap pembilahan dalam dua kutub kekuatan tajam. Merujuk pada
teori Clifford Geertz (1960) dalam The Religions of Java, yang membagi
pembilahan masyarakat Jawa dalam tiga tradisi berseberangan: priyayi, santri
dan abangan. Dalam realitas politik tiga tradisi itu melebur dalam dua kutup
preferensi pilihan parpol. Priyayi dan abangan memilih parpol nasionalis,
sedang santri cenderung Islam.
Jika merujuk pada pengalaman selama ini, peraturangan
parpol nasionalis versus Islam selalu menghasilkan dinamika pasang surut.
Sejarah pemilu mengajarkan tak pernah sekalipun parpol berbasis agama menang
dalam pemilu. Mayoritas muslim tidak ekuivalen dengan pilihan parpol berbasis
Islam.
Muslim Indonesia bercorak moderat karena mampu membedakan
batasan ketaatan agama dan pilihan politik. Pada saat harus taat beragama
umat muslim bisa mematuhi para pemuka agamanya, tapi pemilu tak memilih
parpol berbasis Islam.
Itulah sebabnya kompetisi putaran kedua cukup keras dan
punya peluang sama kuat untuk menang. Ceruk parpol nasionalis dan para
konstituennya akan memilih Ahok-Djarot. Parpol Islam ke Anies-Sandiaga. Namun
ikatan idelogis ini berada dalam tikungan para elite parpol yang sangat
pragmatis mengandalkan uang dan konsesi politik jelang Pilpres 2019.
Hanya sedikit pemilih yang akan tetap ideologis. Akan
tetapi mayoritas pemilih dan elitenya akan pragmatis. Persis seperti
dikatakan Katz and Mair (1996) dalam Cadre, Cath-all or Cartel? A Rejoinder.
Ini mengingatkan, kini sistem kepartaian telah terkartelisasi. Parpol
bersikap permisif atau serbaboleh (promiscuous) dalam perilakunya nyaris
tanpa ikatan ideologi. Maka untuk konteks DKI, tak cukup relevan mengkaitkan
lagi dengan politik ideologis berbasis agama.
Karena itu isu-isu agama dalam Pilkada DKI tetap
“digoreng” sejumlah pihak terutama ormas-ormas radikal, tapi tak cukup mampu
secara signifikan mempengaruhi kemenangan. Boleh jadi yang sangat menentukan
dalam konstelasi sentimen agama ini adalah siapa yang paling rasional dan
cerdas dalam menyodorkan program perubahan DKI.
Jika dibaca dalam debat putaran pertama, Ahok-Djarot mampu
menunjukkan bukti konkret kinerja dengan argumentasi memadai. Sedangkan
Anies-Sandiaga mampu menyodorkan program-program baru. Pilkada DKI cermin
perseteruan agama dan idelogi parpol yang semu (pseudo of ideology).
Perseteruan
Pilkada DKI putaran kedua akan menghadirkan perseteruan
antaretnis yang kuat dan sedikit banyak akan dapat mempengaruhi suara. Ahok-
Djarot akan diidentikkan dekat etnis Tionghoa. Anies-Sandiaga lebih dipandang
sebagai identifikasi etnis Arab.
Namun begitu, sebenarnya tak perlu menghadapkan dua etnis
tadi dalam dinamika politik DKI. Hanya harus diakui, etnisitas ini menjadi
isu sensitif di setiap perebutan kekuasaan politik dari India sampai ke
Amerika Serikat.
Jika isu etnis ini dikomodifikasi menjadi isu untuk saling
black campign, maka akan menjadi berkah bagi Anies- Sandiaga. Sebaliknya jika
isu nasionalisme dan pluralisme yang diusung dan dikomodifikasi oleh
Ahok-Djarot, hal itu akan menjadi berkah kemenangannya juga.
Pilkada DKI putaran kedua akan menghadirkan perseteruan
dua aktor politik nasional. Ahok-Djarot sesungguhnya merepresentasikan
ketokohan Megawati Soekarno Putri. Anies-Sandiaga mewakili Prabowo Subianto.
Kedua tokoh “gaek” ini tak dapat dilepaskan dari kehadiran dua cagub ini.
Mereka sejak semula diracik menjadi cagub DKI atas kreativitas tangan dingin
Megawati dan Prabowo.
Inilah ciri khas kepolitikan Indonesia yang berciri
paternalistik selalu menempatkan tokoh politik besar di belakang panggung
(back stage). Dalam tradisi politik paternalistik ini kehadiran pengayom,
pelindung, dan perekat selalu diperlukan, Megawati dan Prabowo adalah
representasinya. Maka Pilkada DKI putaran kedua ini dapaat dikatakan
pertarungan ketokohan antara Megawati dan Prabowo.
Perlu diingat di belakang Megawati ada Presiden Jokowi
yang punya kekuasaan. Sementara, di belakang Prabowo ada SBY yang merupakan
peracik pencalonan Agus-Silvy dengan 17 persen suara. Jika Megawati berhasil
mendorong Jokowi menarik parpol Islam (PPP, PKB dan PAN) yang semula
mendukung Agus-Silvy untuk merapat ke Ahok-Djarot akan merupakan keuntungan
besar.
Demikian pula jika Prabowo berhasil merayu SBY (yang
mengklaim nonblok) untuk merapat ke Anies dan menarik dukungan PPP, PKB dan
PAN, akan menambah peluang menang.
Putaran ini sangat dipengaruhi kemampuan menempatkan
sejumlah tokoh politik kunci untuk diam atau merapat. Mereka adalah Jokowi
dan SBY. Keduanya punya kans untuk saling mengkunci dan memainkan kartu truf
masing-masing.
Jokowi bisa mengapitalisasi kasus SBY yang berseteru
dengan Antasari Azhar yang merasa dikriminalisasi SBY dalam pembunuhan
Nashrudin Zulkarnain...................yang penuh rekayasa. Antasari telah
diberi grasi. Kiriminalisasi Antasari telah dilaporkan ke Polri. Ini membuat
mudah bagi Jokowi untuk mendapat dukungan SBY, atau setidaknya membuatnya
netral.
Tapi SBY dipastikan juga tidak diam dalam posisi
tereliminasinya Agus-Silvy di putaran pertama. Tentu menjadi malapetaka
baginya. Maka cara paling jitu merapat ke Parbowo, sesama purnawirawan TNI.
Prabowo dianggap jauh lebih akomodatif terhadap masa depan Agus yang telah
melepaskan atribut TNI.
Lebih dari itu, bagi SBY merapat ke Ahok-Djarot sama
maknanya “takluk” pada Megawati. Padahal perseteruan SBY dengan Megawati
sampai sekarang tetap berlangsung dan tampaknya tetap akan dipelihara.
Pendek kata, pemanang Pilkada DKI putaran kedua, kendati
dalam pengaruh pusaran isu-isu sensitif primordial seperti agama, etnisitas,
nasionalis, pluralisme, dan permainan tokoh-tokoh kunci dalam tradisi politik
paternalistik, sesungguhnya yang menentukan tetap pemilih.
Namun yang jelas Ahok- Djarot dan Anies-Sandiaga
berpotensi menjadi calon presiden (Capres) dalam Pilres 2019 mendatang,
karena Pilkada DKI telah berhasil mengantarkan Jokowi ke kursi presiden.
Bukan tidak mungkin jalan Jokowi akan direplikasi pemenang. Kendati nasib
orang berbeda-beda, namun politik itu rasional. Pilkada Jakarta menawarkan
rasionalitas menuju kursi presiden 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar