Mahkamah
(Tidak) Agung
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 10 April 2017
“MA yang membuat amar putusan,
namun MA juga yang melanggar putusannya sendiri, karena bersedia melantik
pimpinan baru DPD berdasarkan Tatib yang telah dibatalkannya sendiri”
DUNIA hukum kita terluka saat Wakil Ketua Bidang
Nonyudisial Mahkamah Agung (MA) Suwardi melantik Ketua DPD Oesman Sapta Odang
yang didampingi dua wakil ketua, yakni Nono Sampono dan Darmayanti Lubis,
untuk periode 2017- 2019 menggantikan pimpinan DPD lama berdasarkan Tatib DPD
No. 1/2017 yang telah dibatalkan MA. (Suara Merdeka, 5 April 2017).
Sikap MA yang melantik pimpinan DPD baru ini merupakan
preseden buruk betapa MA tidak agung lagi dalam menjaga wibawa dan martabat
hukum di negeri ini. MAtelah bersikap mendua.
Pertama, MA telah membatalkan Tatib DPD No.1/2017 melalui
putusan MA perkara No. 38/ P/HUM/2016 dan Perkara Nomor 20/ P/ HUM/2017 yang
pada intinya menyatakan, bahwa masa jabatan ketua DPD sebagaimana lembaga
tinggi negara yang lain (MPR, DPR dan Presiden) adalah 5 tahun bukan 2,5
tahun. Sehingga Tatib DPD No.1/2017 yang dijadikan dasar pemilihan pimpinan
DPD baru sudah tidak lagi berlaku.
Kedua, MA bersedia melantik pimpinan baru DPD RI yang
dipilih berdasarkan Tatib yang keliru. Padahal Tatib DPD N. 1/2017 telah
dibatalkan oleh MA sendiri. Dengan demikian MA telah meludahi putusannya
sendiri dan tak menjaga marwah putusannya yang sangat terhormat dan mengikat
itu.
Dalam batas penalaran hukum ketika muncul amar putusan MA
Perkara No.38/ P/HUM/2016 dan Perkara No.20/P/HUM/2017 tentang pembatalan
Tatib DPD No.1/2017 maka seharusnya tak ada lagi peluang untuk melakukan
pemilihan pimpinan baru DPD, karena secara normatif tak ada lagi dasar hukum
untuk melakukan pemilihan pimpinan DPD.
Seandainya terlaksana pemilihan pimpinan baru DPD, maka
hasil pemilihannya harus dianggap ilegal dan melanggar Putusan MA. Sebab
secara philosofis putusan MA adalah merupakan rujukan hukum tertinggi di
negeri ini setelah konstitusi. Anehnya, MA yang membuat amar putusan, namun
MA juga yang melanggar putusannya sendiri, karena bersedia melantik pimpinan
baru DPD berdasarkan Tatib yang telah dibatalkannya sendiri.
Di titik ini sesunggunya sulit dibantah, bahwa antara
pimpinan DPD yang baru terpilih dengan MA telah melakukan perselingkuhan
hukum yang sangat memalukan. Kuat dugaan bahwa antara MAdan DPD telah secara
sistematis merencanakan drama hukum ini jauh sebelumnya dengan merancang
aneka cara untuk melegalkan ambisi segelintir elit DPD. Dengan demikian
sesungguhnya justru MA yang paling bertanggungjawab dalam memperkeruh
internal DPD yang berakibat pada kisruh yang makin panjang.
Sikap MA yang membatalkan Tatib DPD No.1/2017, namun
bersedia melantik pimpinan baru DPD jelas merupakan preseden buruk bagi
lahirnya sikap pembangkangan hukum dari elit politik dan MA sendiri.
Pernyataan sebagian kalangan yang menyatakan, bahwa MA
bersedia melantik pimpinan baru DPD karena pelantikan dan Tatib adalah
sesuatu yang berbeda adalah pernyataan yang menyesatkan publik dan sangat
berbau politik yang amis, karena keduanya tak bisa dipisahkan bagaimana
mungkin pimpinan DPD baru dapat dilantik ketika dasar hukum pemilihannya yakni
Tatib DPD No. 1/2017 telah dibatalkan MA.
Langkah Alternatif
Untuk memulihkan martabat MAdan DPD, maka perlu dilakukan
langkah-langkah taktis dan strategis untuk melakukan perlawanan hukum
terutama pihakpihak yang merasa dirugikan atas peristiwa ini melalui
alternatif berikut ini: Pertama, para pihak yang berkonflik terutama pimpinan
DPD lama dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas
dasar pelanggaran administrasi. Pelanggaran yang dimaksud ialah MA telah
melakukan pengambilan sumpah jabatan pimpinan DPD padahal dipilih dengan cara
yang tidak sah karena norma hukum Tatib pemilihahnya telah dibatalkan oleh
MA.
Kedua, pimpinan lama DPD dapat melakukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK) dengan materi gugatan sengketa kewenangan antar
lembaga negara, yakni sengketa antara pimpinan DPD lama dengan pimpinan DPD
baru terpilih yang didukung oleh MA, karena beredia melantiknya. Salah satu
kewenangan MK sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 C UUD 1945 adalah
menyelesaikan sengketa antara lembaga negara.
Ketiga, pihak-pihak yang merasa dirugikan atas terpilihnya
pimpinan baru DPD ini dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) atas
dasar perbuatan melawan hukum, karena sejumlah elite DPD telah melakukan
persekongkolan jahat dengan pimpinan MA untuk melawan putusan MA yang telah
nyata membatalkan membatalkan Tatib DPD No. 1/2017 yang antara lain
mencantumkan masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun sebagai pelanggaran terhadap
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD dan DPR (MD3).
Sejumlah alternatif tersebut diharapkan dapat memulihkan
wibawa dan martabat DPD dan MA sebagai institusi terhormat yang harus dijaga
marwahnya agar tidak mudah ditelikungi oleh segelintir elite hanya untuk
melegitimasi nafsu jabatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar