Ketika
Referendum Turki Tidak Mulus
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for
Democracy Education
|
KOMPAS, 22 April 2017
Referendum
Turki yang diadakan pada 16 April 2017 tidak berjalan mulus. Kubu penentang
amandemen konstitusi menolak hasil referendum karena menganggap ada kecurangan
dalam menetapkan surat suara yang sah.
Ketua Partai
Rakyat Republik (CHP)-partai oposisi terbesar- Kemal Kilicdaroglu
mempertanyakan keabsahan referendum dan mengancam akan membawa kasus ini ke
pengadilan HAM di Eropa jika tidak dilakukan penghitungan ulang 30-60 persen
surat suara. Referendum diikuti 85 persen pemilik hak pilih dengan hasil 51,4
persen menyetujui amandemen konstitusi dari sistem pemerintahan parlementer
menjadi presidensial.
Hasil ini
mengubah politik Turki secara signifikan. Sebenarnya referendum telah
diusahakan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang didirikan Presiden
Recep Tayyip Erdogan sejak 2011, tetapi gagal digelindingkan karena tidak
tercapai konsensus di parlemen.
Kali ini pun
dua partai, yaitu CHP dan Partai Demokrasi Rakyat (HDP) yang pro Kurdi,
menolak referendum. Bahkan, HDP memboikot pemungutan suara di parlemen untuk
mendapatkan suara minimal tiga per lima atau 330 dari 550 suara parlemen
sebagai syarat referendum. Berkat suara AKP (316 suara) yang didukung 23 dari
39 anggota Partai Gerakan Nasional (MHP), referendum dapat berlangsung.
Untuk stabilitas
Pemerintahan
Erdogan berargumen bahwa sistem presidensial adalah niscaya untuk
menstabilkan politik Turki. Memang sejak Turki modern berdiri 1923, pemerintah
sering jatuh bangun dan telah terjadi beberapa kali kudeta militer. Yang
terakhir Juli tahun lalu ketika sebuah faksi militer mencoba mengambil alih
kekuasaan secara paksa. Kudeta gagal karena mayoritas rakyat mempertahankan
demokrasi.
Keamanan Turki
juga terancam oleh aksi-aksi teror Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Bagaimanapun,
bersama CHP dan HDP, sejumlah besar LSM dan tokoh nasional menentang
perubahan konstitusi yang hanya
memberikan kekuasaan sangat besar pada presiden.
Cabang
kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam konstitusi yang diamandemen berada
di bawah kendali presiden. Di antara butir-butir konstitusi yang diamandemen
adalah presiden dapat membubarkan parlemen, memimpin partai politik yang
menentukan calon-calon dalam pemilihan legilslatif, dan mengangkat lebih dari
50 persen anggota yudikatif. Jika hasil referendum dikukuhkan, pemilu
presiden dan parlemen akan dilakukan serentak pada 2019.
Karena
pemenang pemilihan presiden hanya memerlukan mayoritas sederhana, hampir
pasti Erdogan dapat berkuasa hingga 2029. Ini karena AKP merupakan partai
terbesar dan Erdogan adalah tokoh karismatik yang tidak tertandingi saat ini.
Besarnya
kekuasaan presiden di satu pihak dan melemahnya kedudukan legislatif dan
yudikatif di lain pihak dapat berakibat pada rusaknya demokrasi, tercemarnya
pemisahan kekuasaan secara demokratis, dan terganggunya mekanisme checks and
balances. Kondisi ini membuat kaum oposisi khawatir Erdogan semakin otoriter.
Apalagi banyak media yang ditutup pemerintah sejak kudeta gagal itu.
Tidak undang simpati
Uni Eropa (UE)
juga tidak bersimpati pada upaya Pemerintah Turki menyelenggarakan
referendum. Tak heran jika Belanda dan Jerman melarang kampanye referendum
menterimenteri Turki di negara mereka. Sikap Belanda dan Jerman ini
sebenarnya sejalan dengan konstitusi Turki yang melarang pejabatnya melakukan
kampanye politik di negeri orang.
Namun, Erdogan
bereaksi keras dan menuduh pemerintahan PM Belanda Mark Rutte dan Kanselir Jerman
Angela Merkel bertindak seperti Nazi. Belakangan, konflik Turki versus
Belanda-Jerman berkembang menjadi konflik Turki-UE hingga Erdogan mengancam
membatalkan perjanjian Turki-UE terkait pengungsi Suriah. Suara keras Erdogan
tidak hanya untuk menekan Eropa, tetapi juga kepada khalayak Turki dalam
konteks amandemen konstitusi. Banyak cara dilakukan Erdogan untuk memenangi
amandemen.
Di dalam
negeri, partai-partai oposisi mengeluhkan pembatasan pemerintah terhadap
akses mereka ke media. Sebaliknya, Erdogan dan para pejabat pemerintah
mendominasi siaran publik. Mahasiswa yang menyebar selebaran menolak
referendum ditangkap. Pemerintahan Erdogan memanfaatkan keadaan darurat yang
masih diberlakukan sejak kudeta gagal itu untuk mengintimidasi pihak-pihak yang
tidak mendukung.
Perlawanan
Dengan
lolosnya amandemen, bisa dipastikan hubungan Turki-UE akan memburuk. UE bisa
tidak mempertimbangkan lamaran Turki menjadi anggota UE meski kewajiban Turki
menghentikan arus pengungsi Suriah ke Eropa sudah dipenuhi. Sebagai imbalan,
di antaranya, UE akan mempertimbangkan kembali lamaran Turki menjadi anggota
UE, selain bantuan keuangan 6 miliar euro.
UE belum
memenuhi semua kewajibannya dengan alasan ada pelanggaran HAM besar-besaran
pasca kudeta, terlebih demokrasi Turki pasca referendum akan terlalu jauh
dari standar Eropa. Kecewa, Erdogan berjanji akan meninjau ulang perjanjian
itu pasca referendum. Sejauh ini UE cukup percaya diri bahwa mustahil Erdogan
bersedia merusak hubungan Turki-UE. Toh, 55 persen total ekspor Turki
ditujukan ke Eropa.
Di dalam
negeri, sistem presidensial akan sangat merugikan etnis Kurdi. Kekuatan HDP
di parlemen akan melemah. Jika kemudian Erdogan tak memiliki solusi yang adil
bagi permasalahan Kurdi, keamanan Turki tetap tidak bisa dijamin.
PKK telah
mengangkat senjata sejak 1984 dan selama itu Ankara kewalahan menghadapinya.
Unit Perlindungan Rakyat (YPG)-milisi Kurdi Suriah bagian dari PKK-yang kini
menguasai wilayah timur laut Suriah, akan memperkeras perlawanan Kurdi
terhadap Ankara. AS secara kontroversial mendukung kelompok ini-meskipun
ditentang keras Turki-karena hanya merekalah yang diandalkan memerangi NIIS.
Hubungan AS-Turki kian tidak harmonis karena Washington tidak mendeportasi
Gulen yang kini di AS.
Semua
tantangan direspons Erdogan dengan mengeksploitasi sentimen Islam. Menanggapi
pengadilan UE yang membolehkan perusahaan melarang pemakaian jilbab, Erdogan
menyatakan UE sedang meluncurkan perang salib melawan bulan sabit.
Kendati
dibentuk dari berbagai elemen: Islam konservatif, moderat, liberal,
nasionalis, dan pebisnis, AKP mengaitkan diri dengan Kekaisaran Ottoman. Maka, dari segi
geoekonomi, Erdogan akan memperkuat reorientasi ekonomi-politik berupa
penguatan kerja sama Turki dengan
wilayah bekas Kekaisaran Ottoman: Balkan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan
Asia Tengah.
Secara
geostrategi, Turki membangun aliansi dengan Rusia dengan
"membelakangi" NATO. Langkah Erdogan ini akan mengganggu balance of
power Rusia-NATO. Turki, sayap tenggara NATO-dan merupakan kekuatan militer
NATO terbesar kedua setelah AS-adalah negara paling strategis yang tak dapat
digantikan negara mana pun.
Keharusan Erdogan
Erdogan
memandang semua tindakan sebagai keharusan demi kejayaan Turki. Ini semacam
respons Erdogan terhadap situasi politik-ekonomi-keamanan internal, regional,
dan internasional. Apalagi, lamaran Turki menjadi anggota UE tidak segera
diterima padahal sudah lama diajukan, sementara bekas negaranegara komunis di
Eropa Timur yang belum lama merdeka dari Uni Soviet telah diterima sebagai
anggota UE.
Protes pihak
oposisi terhadap hasil referendum tidak akan banyak berpengaruh. Dewan Tinggi
Pemilihan menyatakan menerima keabsahan surat suara tanpa cap stempel resmi
bertujuan agar pemilih-yang karena kesalahan-diberi surat suara tanpa stempel
tidak dikorbankan.
Acaman oposisi
akan membawa kasus ini ke Pengadilan HAM Eropa justru menguntungkan Erdogan
karena saat ini atmosfer anti UE sedang tinggi di Turki. Namun, hasil
referendum memperlihatkan rakyat Turki
terbelah secara diametris yang tak boleh disepelekan Erdogan.
Agaknya tepat anjuran Angela Merkel agar Erdogan berdialog
dengan pihak oposisi demi Turki yang stabil yang menjadi tujuan referendum
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar