Apa
Yang Kau Cari, Pak OSO?
Tjipta Lesmana ; Anggota Komisi Konstitusi MPR 2004
|
JAWA
POS, 07
April 2017
Terpilihnya Oesman Sapta Odang alias OSO sebagai ketua
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bukanlah suatu peristiwa politik yang kebetulan
atau tiba-tiba, melainkan by design yang rapi sekali.Syahdan, Jenderal
(purnawirawan) Wiranto mengalami kesulitan untuk mencari seorang ketua umum
partainya, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Memang Hanura, semua orang sudah tahu, miskin kader
berkaliber. Tapi, Wiranto harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
orang nomor satu di partai itu setelah diangkat Presiden Joko Widodo sebagai
menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (Menko Polhukam).
Melalui proses hunting yang rahasia dan cukup alot, akhirnya terpilihlah
Oesman Sapta.
OSO dikenal sebagai pengusaha kaya yang sudah 10–15 tahun
masuk ke dunia politik. Diam-diam dia memendam ambisi menjadi RI-1. Menjelang
Pilpres 2004 dia menggalang koalisi enam sampai tujuh partai kecil untuk membawanya
ke kursi presiden. Namun, upaya tersebut gagal total. Koalisi tidak solid.
Sebagian mundur karena melihat kecil peluang OSO. OSO juga pernah bertarung
di pilkada Kalimantan Barat, entah sekali atau dua kali. Tapi juga gagal.
OSO menyadari bahwa Hanura partai kecil, kursinya di DPR
juga sedikit. Hanura hampir mustahil mampu memboyong ambisi OSO ke kursi
presiden pada 2019. Entah advis politik siapa atau murni wacananya sendiri,
OSO melihat DPD bisa dijadikan akses menuju RI-1, minimal RI-2, pada Pilpres
2019.
Itulah babak II dari proses perjalanan menuju puncak
kekuasaan.Babak III: Puluhan anggota DPD tiba-tiba saja serempak masuk Partai
Hanura. Aneh, bukan? Fenomena tersebut sejak awal sudah mendapat sorotan
sinis dari banyak kalangan, termasuk media, pengamat, dan akademisi. Apa
tujuan mereka? Apakah mereka, semua, tidak membaca risalah rapat PAH I MPR
tempo hari tentang amandemen UUD 1945, terutama latar belakang terbentuknya
DPD? Lalu, mengapa Hanura yang dipilih? Padahal, partai itu selama ini bukan
partai favorit di panggung politik. Kalau mau dikatakan ”partai favorit”,
Nasional Demokrat (Nasdem) jauh lebih berkibar akhir-akhir ini.
Jawabannya sederhana sekali: karena di Hanura ada OSO...
Babak IV: Setelah konsolidasi dalam tubuh DPD dianggap cukup
oleh OSO dkk, mulailah dilancarkan ”serangan fajar”. Peraturan Tata Tertib
(Tatib) DPD Tahun 2016 dan Tahun 2017 dijadikan senjata pemungkas untuk
menggusur kepemimpinan duet Farouk Muhammad dan GKR Hemas, dengan alasan masa
jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun, diubah oleh tatib dari sebelumnya 5 tahun.
Dengan tatib baru, masa jabatan Pak Farouk dan Ratu Hemas habis pada Senin
malam (3/4). Peraturan Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017 tentang Tatib DPD
sesungguhnya lemah, seenaknya menjungkirbalikkan ketentuan yang diatur dalam
UU 17/2014 tentang MD3.
Dalam UU tersebut, jelas sekali diatur masa jabatan
pimpinan MPR, DPR, dan DPD, semua, sama, yaitu 5 tahun. Pertanyaannya: mana
yang lebih tinggi hierarkinya: undang-undang atau peraturan tatib lembaga
tinggi negara? Kelemahan kedua dari tatib baru DPD: diberlakukan secara
surut. Ilmu hukum mengajarkan, ketentuan perundang-undangan tidak boleh
diberlakukan surut, kecuali terkait kasus pelanggaran HAM berat.Karena
itulah, kedua tatib DPD produk tergusurnya Irman Gusman sebagai ketua DPD
karena terkait kasus korupsi impor gula di Sumatera Barat kemudian dibatalkan
Mahkamah Agung (MA).
Terjadi keributan dan kericuhan pada rapat pleno DPD Senin
yang lalu yang berakhir sampai larut malam. Kedua kubu saling ngotot: antara
kubu yang meminta menghormati putusan MA dan kubu yang vivere pericoloso,
maju terus sekalipun menyerempet-nyerempet bahaya! Tidak kehilangan akal,
kelompok OSO pun secara kilat membuat peraturan tatib baru yang tidak
terjangkau putusan MA, tapi dengan substansi sama, yaitu jabatan pimpinan DPD
2,5 tahun. Titik!
Babak V: Setelah semua rapi pasca kericuhan, bahkan sempat
diwarnai adu fisik sehingga dua anggota DPD melaporkan rekannya sendiri ke
polisi, sesudah diskors pada tengah malam 3 April, sidang pun dilanjutkan.
Hanya tidak lebih 5 menit, sidang dirampungkan. Oesman Sapta, Nono Sampono,
dan Darmayanti Lubis terpilih sebagai ketua dan dua wakil ketua DPD. Palu
sidang pun diketuk A.M. Fatwa, the case is closed!
Babak VI: Selasa 4 April, Wakil Ketua MA Suwardi datang ke
gedung DPD, mengambil sumpah tiga pimpinan baru DPD itu. Tepuk sorak gemuruh
mewarnai ruang sidang paripurna. Padahal, sidang tidak mencapai kuorum!
Banyak pihak mengecam peristiwa tersebut, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla
(JK). ”Apa yang terjadi di DPD sangat memalukan DPD!” tegas JK. Tapi, JK
seperti tidak tahu: in politics there is no honor, kata Benjamin Disraeli, PM
Inggris 1824.
Yang lebih membingungkan adalah sikap pimpinan MA. Dengan
melantik ”pimpinan” baru DPD, MA sama saja menampar wajah sendiri. Apakah
wakil ketua MA mengambil inisiatif ke DPD karena ketua MA sedang umrah atau
ketua MA yang memerintah wakilnya ke DPD?
Pengambilan sumpah terhadap pimpinan DPD, tampaknya, rawan
gugatan. Digugat atau tidak, OSO sudah happy karena kini sudah ketua DPD,
merangkap wakil ketua MPR, merangkap pula ketua umum Partai Hanura. Apakah
semua itu memuluskan jalannya menuju kursi RI-1 pada 2019? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar