Air
Keras Novel Baswedan
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
UGM;
Profesor Tamu di Melbourne Law
School dan Faculty of Arts,
University of Melbourne,
Australia
|
KOMPAS, 13 April 2017
Saya sedang bersukacita dan berbalas pesan dengan Profesor
Saldi Isra, yang baru saja dilantik menjadi hakim konstitusi, ketika kabar
duka itu datang. Novel Baswedan, salah satu penyidik terbaik KPK, disiram air
keras di wajah.
Kita tahu, ini bukan teror pertama bagi Novel. Dia telah
berbilang kali diintimidasi, dikriminalisasi, dan disakiti. Satu yang pasti,
serangan ini bukanlah hantaman kepada pribadi, tetapi gempuran kepada KPK
sebagai institusi. Novel adalah ikon perjuangan KPK. Menyerang Novel berarti
menyerang KPK. Menyerang kita yang mendambakan Indonesia bersih dari korupsi.
Maka, jawaban atas serangan itu hanya satu: penguatan KPK.
Segala upaya pelemahan KPK harus dihentikan. KPK tidak boleh menjadi
almarhum. Sebagaimana banyak lembaga antikorupsi sebelumnya yang hidup hanya
untuk mati. Ambil contoh Tim Pemberantasan Korupsi yang hanya berumur tiga
tahun (1967-1970); Komisi Empat yang hanya berumur emat bulan (1970); dan Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berumur kurang dari satu
tahun (2000-2001).
Sejarah panjang
KPK adalah satu-satunya lembaga anti-korupsi dalam sejarah
republik ini yang hidupnya mampu melewati usia balita. Jika dihitung sejak
undang-undangnya lahir 27 Desember 2002, maka KPK hampir berusia 15 tahun.
Usia yang harus dilanggengkan, sekaligus menolak argumen menyesatkan yang
menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc. Tidak ada satu pun pasal dalam UU KPK
yang menyatakan bahwa ia adalah lembaga sementara.
Sebaliknya, KPK harus dikuatkan dan ditingkatkan menjadi
organ konstitusi (constitutional organ), yaitu lembaga negara yang eksistensi
dan kewenangannya diatur dalam UUD 1945. Soal ini Indonesia sudah ketinggalan
kereta. Paling tidak ada tiga puluh negara yang telah mengatur lembaga
anti-korupsinya di dalam konstitusi. Bahkan, di antara sembilan negara ASEAN
yang memiliki lembaga anti-korupsi-hanya Myanmar yang belum
mempunyai-Indonesia adalah satu-satunya negara yang Anti-Corruption
Commission-nya tak diatur dalam UUD.
Dengan menjadi organ konstitusi, dasar hukum KPK menjadi
lebih kuat. Terbukti jika hanya berdasarkan UU saja, eksistensi dan kewenangan
KPK selalu digoyang melalui modus revisi (legislative review). Materi revisi
itu selalu berkutat dengan keinginan menghilangkan kewenangan penuntutan,
membatasi penyadapan, dan penguatan pengawasan. Padahal, dalam hampir dua
puluh kali pengujian konstitusionalitas (constitutional review), MK telah
berulang kali menegaskan bahwa kewenangan-kewenangan strategis tersebut dan
keberadaan KPK tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan
untuk memberantas korupsi.
Mengangkat derajat KPK menjadi organ konstitusi sekaligus
menjadi benteng pertahanan dari serangan bermodus revisi UU di DPR ataupun
uji materi UUD di MK. Dengan menjadi materi UUD 1945, KPK hanya dapat
di-review forum MPR.
Selanjutnya, penguatan dan pembentengan KPK harus dilakukan
dengan mengadopsi konsep imunitas terbatas bagi pimpinan dan pegawai KPK.
Kita sudah mafhum bahwa modus operandi serangan KPK yang lain adalah
kriminalisasi. Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, Abraham Samad, dan Bambang
Widjojanto adalah beberapa contoh komisioner KPK yang pernah dikriminalisasi.
Novel Baswedan adalah contoh pegawai yang berbilang kali dikriminaliasi.
Konsep imunitas
Beberapa anggota DPR menolak pemikiran imunitas terbatas
ini, dan menyatakannya sebagai konsep yang tidak berdasar. Mereka lupa,
konsep imunitas adalah hak yang melekat pada setiap anggota parlemen, dan
menjadi perlindungan yang efektif bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya.
Konsep imunitas terbatas ada pula dalam UU Ombudsman dan
UU Lingkungan Hidup sehingga melindungi komisioner Ombudsman dan aktivis
lingkungan dalam menjalankan fungsi dan advokasinya. Sudah sewajarnya jika
komisioner dan pegawai KPK juga mendapatkan proteksi hukum dari serangan
kriminalisasi.
Ancaman kriminalisasi bukan hanya dialami KPK Indonesia,
melainkan juga banyak lembaga anti-korupsi lain di dunia. Dalam deklarasi
"Jakarta Principles" yang dihadiri berbagai Anti-Corruption
Agencies pada November 2012, disepakati bahwa pimpinan dan pegawai lembaga
anti-korupsi perlu mendapatkan imunitas dari gugatan perdata ataupun ancaman
pidana dalam melaksanakan tugasnya.
Penguatan KPK selanjutnya, sebagaimana organisasi pada
umumnya, adalah jaminan ketersediaan anggaran dan kecukupan sumber daya
manusia (SDM). Soal SDM, putusan MK terakhir atas UU KPK-yang menguatkan
kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik independen-harus diapresiasi.
Soal kecukupan pendanaan, perlu ada formula yang lebih
jelas tentang berapa alokasi anggaran yang menjamin KPK efektif melaksanakan
tugas. Termasuk kecukupan dana untuk terus menyesuaikan gaji pimpinan dan
pegawai KPK agar mereka tidak goyah hadapi godaan ekonomi.
Saya paham betul, usulan penguatan di atas tidak mudah,
tetapi tetap mungkin direalisasikan. Upaya menjadikan KPK sebagai organ
konstitusi, menghentikan revisi UU yang melemahkan KPK, memberikan hak
imunitas kepada pimpinan dan pegawai KPK, serta menjamin sumber dana dan SDM
KPK bisa terwujud dengan komitmen politik anti-korupsi pada jajaran eksekutif
dan legislatif.
Persoalannya, bersediakah kekuatan politik di lembaga
kepresidenan dan parlemen untuk menghadirkan KPK yang semakin kuat dan garang
membasmi tikus-tikus koruptor, yang tidak jarang adalah rekan sejawat dan
kawan aliansi politik mereka?
Ataukah para koruptor telah berhasil mengontaminasi agenda
elite politik kita sehingga mereka sebenarnya telah menjelma menjadi air
keras yang merusak wajah Novel Baswedan, mengoyak wajah Indonesia menjadi
negara bopeng karena korupsi?
Jika ternyata demikian, tidak ada pilihan lain, rakyat
Indonesia yang harus melawan arus deras air keras koruptor itu. Kita sendiri
yang harus menjadi Novel-Novel Baswedan, yang terus berjuang menghidupkan dan
menguatkan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar