Apa
Dosa Kelapa Sawit?
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Penulis Buku Minyak Kelapa Sawit
|
MEDIA
INDONESIA, 13 April 2017
RESOLUSI parlemen Eropa yang mendiskreditkan minyak sawit
dinilai telah menghina Indonesia. Mereka menuduh kelapa sawit sebagai ladang
korupsi, eksploitasi pekerja anak, pelanggaran HAM, dan menghilangkan hak
masyarakat adat. Lantas pertanyaan yang menganjal ialah apa sih dosa kelapa
sawit? Sekadar mengingatkan, parlemen Eropa baru saja mengesahkan Report on
Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan itu sangat merugikan RI
karena secara khusus menyebut sejumlah daftar dosa kelapa sawit yang
dikaitkan dengan isu korupsi, pekerja anak, pelanggaran HAM, penghilangan hak
masyarakat adat dan lain-lain. Bahkan mereka menuduh dan mengajak untuk
boikot investasi sawit dan pindah ke minyak biji bunga matahari dan minyak
kedelai.
Bukan barang baru
Kampanye untuk memboikot produk sawit bukan barang baru
lagi. Daftar dosa kelapa sawit selalu disebut untuk mengalihkan perhatian
masyarakat dunia dari produk sawit ke produk minyak sayur. Tidak cukup hanya
isu lingkungan hidup, kandungan gizi minyak sawit pun disebut tidak aman
untuk kesehatan. Ini berdampak pada anjloknya konsumsi olahan kelapa sawit di
Eropa. Data dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebut
konsumsi olahan kelapa sawit, khususnya pada industri makanan di Eropa pada 2016
hanya sekitar 3,3 juta ton, turun dari tahun 2015 yang mencapai 4,3 juta ton.
Tantangan terbesar yang dihadapi industri sawit nasional saat ini dan masa
mendatang ialah kampanye negatif di luar negeri. Hal inilah yang harus
disikapi secara baik oleh semua pemangku kepentingan di industri sawit. Patut
diakui, sawit kini menjadi produk ekspor nomor satu dari RI dengan nilai
US$25 miliar pada 2015. Meski menguntungkan, sawit menghadapi sejumlah
kendala yang cukup berat ke depan. Jika ingin kelapa sawit tetap menjadi
komoditas unggulan dalam waktu yang lama, isu kampanye negatif harus disikapi
secara terbuka.
Pemerintah dan pelaku usaha tidak perlu panik apalagi
bertindak seperti pemadam kebakaran. Perencanaan yang matang patut disusun
agar persoalan yang sama tidak terulang dan kampanye negatif diselesaikan
tuntas. Sebutlah misalnya persyaratan pencantuman sumber minyak nabati secara
spesifik untuk seluruh produk makanan yang beredar di Eropa. Uni Eropa (UE)
mengeluarkan EU Labelling Regulation 1169/2011 yang mempersyaratkan
pencantuman sumber minyak nabati nonsawit untuk seluruh produk makanan yang
beredar di pasar Eropa. Persoalan ini belum tuntas penyelesaiannya dan selalu
berulang. Pemerintah RI seharusnya berani dan tegas mengatakan bahwa produk
makanan impor dari Eropa yang beredar di RI harus menggunakan minyak sawit.
Selain itu Indonesia juga mendapat tuduhan yang sama atas produk biodiesel
dan fatty alcohol. Biodiesel diboikot karena berasal dari minyak sawit yang
dituduh telah mencemari lingkungan. Pemerintah UE seperti Prancis atau Italia
berdalih bahwa aturan pelabelan itu bukan aturan pemerintah, tapi aturan yang
diterapkan swasta.
Satu hal yang patut dicatat, mereka melakukan semua ini
karena kompetisi. EU labelling regulation misalnya, sebenarnya sederhana,
mereka ingin menggunakan vegetable oil untuk menandingi palm oil RI. Industri
minyak nabati di Eropa dan AS tertekan oleh crude palm oil (CPO) yang
harganya lebih efisien dan turunannya banyak. CPO saat ini sudah sangat
dominan dalam pangsa pasar minyak nabati. Negara-negara di Eropa dan AS
melindungi produk mereka dengan melakukan boikot atau pengetatan terhadap
produk hasil olahan kelapa sawit dari RI. Untuk itu masyarakat harus bijak
melihat industri kelapa sawit, unsur yang terkandung dalam minyak sawit
membuat persaingan semakin sengit.
Sustainable management
Lantas pertanyaan, kapan Uni Eropa berhenti melakukan
kampanye negatif? Perluasan perkebunan kelapa sawit yang pesat di negeri ini
telah menjadi ancaman bagi negara-negara penghasil minyak sayur seperti
kedelai, bunga matahari dan kacang tanah. Berdasarkan catatan Sawit Watch
(2014), RI adalah negara dengan perkebunan kelapa sawit terluas di dunia,
yakni 14,3 juta hektar. Perusahaan sawit terus melakukan ekspansi dan dituduh
telah mencaplok lahan dalam skala luas. Pembukaan lahan untuk ekspansi sawit
dengan jalan pembakaran telah menuai bencana lingkungan. Meskipun upaya
pemadaman dilakukan bahkan Presiden Jokowi dan sejumlah menteri kerap turun
langsung untuk memantau pemadaman si jago merah, yang acap unjuk kekuatan
setiap tahun tetapi api tidak sepenuhnya berhasil dijinakkan. Penyemprotan di
permukaan hamparan hingga penyuntikkan ke dalam gambut dengan air bertekanan
tinggi tidak membuat asap berhenti mengepul. Tiupannya menjadi-jadi karena
api sudah membakar gambut yang berada di bawah permukaan sehingga sulit
dilakukan pemadaman.
Bencana asap yang seringkali berulang kerap menelan
korban. Sekadar mengingatkan pada Juli 2015, dalam catatan Penulis, bencana
asap di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit telah menelan korban 12 orang
meninggal dunia, lebih dari 43 juta warga terpapar dan 504.000 warga terkena
infeksi saluran napas. Peristiwa ini sesungguhnya bukan lagi pada persoalan
siapa yang membakar lahan tetapi akar masalahnya sudah pada salah kelola SDA.
Krisis SDA berjalan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tetap
tinggi dan tingkat konsumsi bahan bakar fosil yang kian boros di tengah
pemenuhan gaya hidup modern. Konon kian masifnya pembakaran lahan di RI telah
menuai efek pemanasan global yang menetaskan perubahan iklim. Fenomena ini
telah memengaruhi curah hujan dan peningkatan suhu udara. Suhu bumi yang
sudah meningkat sekitar 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan seabad silam,
telah memperlihatkan perubahan iklim secara dramatis.
Musim cenderung tidak stabil yang memunculkan cuaca
ekstrem berupa badai El Nino. Dampaknya mulai tampak di sektor pertanian.
Gagal panen sudah kerap menghampiri petani dan memengaruhi sumber pangan
keluarga yang berbuah gizi buruk di tengah warga. Tiga langkah jitu berikut
patut dilakukan untuk menghentikan kempanye negatif minyak sawit. Pertama,
pemerintah harus melakukan sustainable management. Dukungan penuh pada
implementasi agenda pembangunan berkelanjutan 2030 atau Sustainable Developmet
Goals (SDGs) akan mengurangi bencana lingkungan yang sudah mulai berdampak
buruk pada pasar minyak kelapa sawit di AS dan negara-negara maju di Eropa.
SDGs bertujuan untuk mengisi kesenjangan dan meneruskan Tujuan Pembangunan
Milenium 2015 yang belum selesai mengentaskan rakyat miskin, menyejahterakan
petani, menghargai HAM, memberdayakan perempuan, dan pelbagai agenda baru
pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kedua, pengadilan lingkungan hidup patut ditegakkan guna
memberikan tindakan hukum yang tepat kepada perusahaan kelapa sawit pencemar
lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya melihat pembangunan
nasional dari sisi ekonomi, tetapi juga dari aspek sosial dan lingkungan
hidup. Ketiga, pemerintah harus memiliki political will yang kuat untuk
menyelamatkan masa depan minyak sawit Indonesia. Selama ini cengkraman modal
para pelaku ekonomi kapitalistik kerap memeras madu SDA untuk memuaskan
dahaga kerakusannya. Perubahan pola pikir perlu bergulir dari ekonomi
kapitalistik ke paradigma baru pembangunan ekonomi berkelanjutan. Yakni
pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan SDA dengan memasukkan biaya
lingkungan dan perubahan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar