Tembakau
Dalam Politik
Mohamad Sobary ; Esais; Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 11
Maret 2017
Perempuan itu menggendong seonggok daun tembakau yang
hijau kekuning-kuningan warnanya, yang baru saja dipetik dari ladangnya, di
dekat puncak Gunung Sumbing yang biru, diam dan dingin membeku.
Sejak kecil, dia terlatih menggendong beban seperti itu
dari ladang tembakau. Kini usianya sudah lebih lima puluh tahun.
Kakek-buyutnya petani tembakau, kakeknya langsung, ayah dari ayah maupun dari
ibu, juga petani tembakau, dan kini suaminya pun petani tembakau. Dia sudah
memiliki anak dan cucu yang hidupnya tergantung penuh pada pertanian
tembakau.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, abad demi abad lewat,
sejarah kehidupan keluarganya tak pernah berubah. Sejak nenek moyang hingga
dirinya, dan anak-anaknya, keluarganya hidup dari tembakau. Dia menuruni
jalan kecil dan sempit ini dengan beban berat, bukan hanya sekali ini, dia
tak bisa mengingat berapa ratus kali dalam hidupnya telah menempuh jalan ini,
dengan beban berat seperti ini.
Dia tak ingin menghitung jumlah pengalaman seperti itu.
Dia hanya mengalami, dan berulang kali mengalaminya lagi terus menerus. Dia
merasa begitulah hidup sebagai petani. Neneknya dulu hidup seperti itu.
Ibunya pun menempuh cara hidup seperti itu dan kini dirinya meneruskan
warisan tradisi keluarganya. Aku petani tembakau.
Orang tuaku petani tembakau, Kakekku, dan kakek buyutku,
semua leluhurku yang jauh lebih tua lagi, juga petani tembakau. Kami petani
tembakau. Beribu-ribu kami, yang hidup di Gunung Sumbing, dan di
gunung-gunung lain, hidup dari tembakau. Tak mungkin lagi kami hidup dari
hasil pertanian lain selain tembakau.
Di tempat tinggi yang dingin dan membeku ini, hidup tak
senyaman dulu. Hidupku, dan hidup semua petani tembakau, diguncang berbagai
keresahan. Orang bilang ini keresahan politik. Orang bilang ini politik tembakau.
Aku tidak tahu bagaimana tembakau bisa memasuki dunia politik. Kata orang,
mengharapkan agar hidup menjadi lebih baik itu politik. Petani mengharapkan
perubahan hidup itu politik. Segala hal menjadi politik.
Petani tembakau mengajukan rencana undang- undang itu juga
politik. Petani meminta tidak dilupakan. Petani minta kekuatan politik. Hidup
petani harus diatur dan dilindungi undang-undang. Petani menjadi kuat itu
politik. Ini politik petani. Tapi dalam isu politik seperti ini, sikap
pro-kontra muncul. Mereka yang antitembakau melawan langkah politik petani,
langkah kami. Media memberitakan perbedaan politik itu.
Para pengamat pun berbicara. Kelompok kecil dari pedagang
rokok besar dunia yang bermukim di Jakarta, melawan gagasan petani.
Kepentingan mereka berbeda. Tujuan hidup mereka di sini juga berbeda. Memang
para pendukungnya orang-orang kita sendiri. Tapi pendukungnya ikut gigih
melawan dan menghalangi apa yang kami lakukan. Di depan kami, mereka bersikap
baik.
Di belakang kami, mereka mencerca. Kata orang, ini sikap
politik. Ada lagi tokoh antitembakau yang marah menghadapi kami. Suaranya
nyaring, dan kedengarannya memberi nasihat kepada presiden, seperti seorang
nenek menasihati cucunya. Dia bilang, ini kondisi memalukan, ketika pemerintah
dunia sepakat menekan dan mengendalikan konsumsi tembakau, kita malah membuat
regulasi yang sebaliknya.
“RUU Pertembakauan hanyalah cara licik industri rokok
untuk melanggengkan dan bahkan meningkatkan produksinya.” Kata tokoh itu
lagi. Tapi kelihatannya dia sama sekali tak mengetahui bagaimana hubungan
petani dan industri dalam urusan penyusunan RUU ini. Komentar ini meleset
jauh, dan terasa agak memalukan karena komentarnya dibangun di atas landasan
ketidaktahuan.
Di dalam RUU ini, ada sejenis ketegangan antara petani dan
industri, yang tak dibacanya dengan baik. Petani dianggap sejalan dengan
industri. Padahal petani meminta—-atau mengusulkan—agar industri bersikap
begini dan begitu supaya hidup petani lebih terjamin. Dalam beberapa hal,
ketegangan mereka terasa serius. Tapi komentar ini menganggap mereka sejalan
dan saling mendukung.
Presiden diberi nasihat seperti dia lebih paham persoalan
dibanding presiden. “RUU Pertembakauan dianggap bertentangan secara diametral
dengan regulasi-regulasi lain yang sudah eksis.” katanya dengan penuh
semangat. Dia contohkan, regulasi lain itu misalnya UU Cukai, UU produk
pertanian dan UU perlindungan petani, UU Kesehatan.
Dia lupa UU kesehatan merupakan bagian yang menggambarkan
ketegangan antara pemerintah dan petani tembakau. Petani tidak buta politik.
Mereka juga membaca peraturan- peraturan itu. Jika di dalam suatu peraturan
yang menyangkut hidup petani kepentingan petani tembakau diabaikan, maka
dalam RUU Pertembakauan tadi kepentingan itu mereka tampilkan. RUU
Pertembakauan merupakan wadah yang mengakomodasi kepentingan mereka.
Komentar ini tidak memahami secara baik persoalan dasar
itu. Dia juga menyatakan bahwa RUU Pertembakauan itu RUU Sampah yang tak
diperlukan lagi sekalipun dengan alasan demi melindungi petani. Kalimat RUU
Sampah ini jorok dilihat dari sudut ungkapan kebahasaan maupun dari maknanya.
Mungkin hal itu sudah jorok sejak masih ada di dalam pikirannya. Namun, hal
itu dipersembahkan kepada presiden.
Kalau dia berbuat begitu atas nama pribadi pun, yang jorok
tetap jorok. Lebih-lebih lagi dia berbuat demi dan atas nama sebuah lembaga
milik orang banyak dan mewakili kepentingan orang banyak. Mengapa lembaga
tempat dia bekerja tak memiliki editor atau orang yang lebih bijaksana agar
suara yang sampai kepada presiden terasa agak lebih sejuk? Bagaimana perasaan
Pak Presiden Jokowi menerima surat yang berisi sebuah saran, yang bunyinya
begitu? Beberapa tidak akurat, nadanya “ngeden-ngeden“ dan mengesankan dia
lebih paham dari siapa pun, apa kira-kira perasaan seorang presiden membaca
surat seperti itu? Terasa pula adanya nada mendikte dalam surat itu.
Saya kira orang yang memiliki jabatan tinggi, orang terhormat
dan memiliki wawasan dan sikap sendiri secara mandiri, tak suka dengan gaya
orang yang mendikte. Orang dewasa, yang juga bijaksana, lebih suka membaca
paparan rasional , dingin, apa adanya, dan jauh dari ‘judgment’ pribadi, yang
menganggap “RUU memalukan, RUUsampah... dan sejenisnya, yang bisa saja justru
menjauhkannya dari realitas.
Juga, boleh jadi, menjauhkan surat itu dari perhatian
presiden. Jika ini yang terjadi maka sia-sialah sebuah lembaga ingin berbuat
baik tapi diwakili oleh orang dengan cara seperti itu. Ketika tembakau
memasuki wilayah politik, banyak kepentingan lain turut campur tangan. Kita
menerima campur tangan itu kalau dia muncul demi kepentingan yang lebih baik,
murni kepentingan masyarakat pada umumnya dan kepentingan petani tembakau itu
sendiri.
Tapi bagaimana jika suara macam itu juga suara kepentingan
asing yang menitipkan duitnya di sini, dan minta pada kita agar agendanya
dijalankan? Tembakau dalam politik diam-diam juga menghidupi berbagai pihak
yang terampil bermain politik. Kalau tembakau tidak ada tembakau dalam
politik, apa politik yang bakal mereka mainkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar