Raja
Salman dan Toleransi Beragama
Amidhan Shaberah ; Ketua MUI (1995-2015);
Mantan Dirjen Haji dan Urusan
Agama Depag RI
|
KORAN
SINDO, 11
Maret 2017
Salah satu keberhasilan spektakuler dari kunjungan Raja
Salman bin Abdul Aziz Al-Saud ke Indonesia adalah pertemuan beliau dengan
komunitas antaragama. Jumat (3/3), Raja Salman didampingi Presiden Jokowi
bertemu dengan sejumlah tokoh lintas agama di Hotel Raffles, Jakarta Selatan.
Pertemuan tersebut dihadiri 28 tokoh berbagai agama:
Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Dari
Islam hadir Din Syamsuddin, Azyumardi Azra, Kamarudin Amin, Alwi Shihab,
Yenny Wahid, Abdul Muti, Masykuri Abdullah, Komaruddin Hidayat, dan Yudie
Latief. Sedangkan dari Kristen Protestan hadir Hanriette T Hutabarat, Rony
Mandang, Jacob Nahuway, dan Gomar Gultom.
Sementara tokoh agama Katolik yang hadir Ignatius Suharyo
Hajoatmojo, Antonius Subianto, Pascalis Bruno Syukur, dan Frans Magnis
Suseno. Adapun tokoh agama Buddha hadir Hartati Tjakra Murdaya, Sri
Pannyavaro, Suhadi Sanjaya, dan Arif Harsono. Dari Hindu ada Mayjen TNI
(Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Ketut Parwata, Letjen TNI (Purn) Putu Soekreta Soeranta,
dan Made Gede Erata. Adapun dari Konghucu— Uung Sendana, Budi Santoso
Tanuwibowo, dan XS Djangrana.
Dalam pertemuan bersejarah tersebut, Raja Salman meminta
agar toleransi beragama terus ditingkatkan. Pada kesempatan itu, Raja Salman
menyatakan dukungannya atas dialog rutin antarumat beragama di Indonesia.
Dialog tersebut, kata Khadimul Kharamain, akan memperkuat hubungan masyarakat
untuk menopang kestabilan negara.
Raja menyampaikan bahwa Saudi sudah melakukan hal sama,
dialog antaragama untuk menentang terorisme dan radikalisme. Saudi, kata
Salman, telah mendirikan sebuah lembaga nirlaba bernama King Abdullah bin
Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue
(KAICIID) yang berlokasi di Wina, Austria. Tujuan dari LSM yang dibentuk 26
November 2012 lalu itu adalah untuk mempromosikan dialog antaragama secara
global guna mencegah dan memecahkan konflik.
Raja Salman juga mengajak Indonesia untuk lebih erat
melawan aksi radikalisme. Realisasi dari ajakan itu sudah dituangkan dalam
bentuk nota kesepahaman (MoU) antara dua kepolisian yang diteken di Istana
Bogor pada 1 Maret lalu Toleransi beragama, kata Salman, menjadi modal kuat
untuk kemajuan bersama.
Raja memuji Indonesia karena beliau menganggap Indonesia
stabil. Hal ini terjadi karena ada semangat toleransi yang ditunjukkan
antarumat beragama di Indonesia. Salman mengatakan umat beragama harus saling
membantu. Tanpa hal itu, sulit terjadi persatuan. Dalam pertemuan tersebut,
Presiden Jokowi menyatakan para pemimpin agama adalah salah satu pilar dalam
rangka harmoni persatuan bangsa Indonesia. Mereka menjadi teladan bagi
umatnya dalam rangka mengembangkan sikap toleransi.
Sementara itu, tokoh-tokoh lintas agama menyatakan
apresiasinya atas waktu yang diluangkan Raja Salman untuk berbincang dengan
mereka. Ini adalah perjumpaan simbolik dan tonggak sejarah bagi Indonesia.
“Kedatangan Raja Salman menjadi siraman energi yang luar biasa bagi
Indonesia,” kata Yenny Wahid yang hadir dalam pertemuan tadi.
Saudi dan Wahabi
Selama ini ada anggapan di Indonesia, bahkan di seluruh
dunia, bahwa Arab Saudi merupakan donatur utama Wahabisme— sebuah gerakan
keagamaan yang dianggap radikal dan konservatif. Carmen bin Ladin dalam novel
(true story) yang berjudul “Inside The Kingdom, My Life in Saudi Arabia“
menulis, “tidak pelak lagi wahabisme yang didanai Kerajaan Saudi merupakan
penggerak terorisme.
Paham Wahabi di Saudi dan Taliban di Afghanistan, tulis
Carmen, hakikatnya sama. Keduanya gerakan teroris. Beda keduanya hanya
masalah pendanaan. Taliban miskin, Wahabi kaya raya. Menurut Carmen (mantan
istri salah seorang putra Sheikh Muhammad (pemilik Bin Ladin Corporation)
yang merupakan mitra bisnis keluarga kerajaan), Saudi mendonasikan enam
persen hasil minyaknya untuk membiayai penyebaran wahabisme di seluruh
dunia.”
Di Indonesia, tuduhan bahwa paham Wahabi sebagai ajaran
yang mengusung Islam radikal dan terorisme juga sudah tersebar di masyarakat.
Padahal, Wahabi sebagai sebuah paham, niscaya mengalami transformasi setelah
mengikuti perkembangan dunia Islam. Seperti halnya Muhammadiyah dan NU yang
mengalami transformasi ajaran-ajarannya sesuai perkembangan zaman, saya kira
hal itu pun terjadi pada Wahabi.
Ini terbukti, misalnya, ketika Ketua Mantiqi IV Jamiah
Al-Islamiyah untuk wilayah Australia, Abdul Rahim Ayub bisa disadarkan
kekeliruan pahamnya oleh seorang dai Wahabi dari Arab Saudi. Padahal sebelumnya,
dalam perdebatan panjang dengan beberapa dai, Ayub merasa ilmunya lebih luas
dari “para pakar deradikalisasi” yang didatangkan untuk menyadarkan dirinya.
Tapi setelah berdebat panjang dengan seorang dai berpaham
Wahabi, Ayub baru sadar akan kekeliruannya. Ini karena dai dari Wahabi
tersebut ilmunya sangat luas dan kredibel. Gambaran di atas menunjukkan bahwa
paham Wahabi pun (setelah munculnya terorisme), terutama sejak adanya ISIS
yang memusuhi Arab Saudi, mulai bertransformasi menuju ajaran yang kompatibel
dengan kondisi dunia yang suka damai.
Pernyataan Raja Salman bahwa Saudi mendorong terbentuknya
dialog antaragama untuk mencegah munculnya radikalisme dan terorisme
menunjukkan bahwa Wahabisme sudah mengalami transformasi— tidak seperti yang
dituduhkan Carmen bin Ladin di atas.
Menurut Wikipedia, Wahabi atau wahabisme adalah sebuah
aliran reformasi keagamaan dalam Islam. Aliran ini diinisiasi dan
dikembangkan oleh seorang teolog muslim abad ke- 18 yang bernama Muhammad bin
Abdul Wahab dari Najed, Arab Saudi. Wahabisme bertujuan membersihkan dan
mereformasi ajaran Islam agar kembali kepada ajaran yang sesungguhnya,
berdasarkan Alquran dan hadis. Bagi Wahabisme, Islam sudah tercemar tradisi
agama-agama non-Islam seperti menyembah kuburan, percaya perdukunan, klenik,
dan lain-lain, yang menyebabkan umat Islam terperosok pada kemusyrikan.
Saat ini Wahabisme merupakan aliran Islam yang dominan di
Arab Saudi dan Qatar. Ajaran Wahabi dipengaruhi tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah
yang ingin memurnikan Islam dari pengaruh “budaya luar”. Dalam perkembangannya, seperti dialami
paham-paham lain, kemudian muncul Wahabi ekstrem dan moderat. Barangkali
pengikut wahabisme ekstrem inilah yang dituduh Carmen sebagai pengusung
terorisme seperti Osama bin Ladin, Abu Musa Al-Zarkawi, dan Abu Bakar
Al-Baghdadi (pendiri ISIS). Kondisi ini pun berlaku pada Syiah. Ada Syiah
ekstrem dan moderat. Yang ekstrem inilah yang dituduh Amerika sebagai biang
terorisme.
Raja Salman ketika berada di Indonesia menepis tuduhan peyoratif
terhadap Wahabi itu. Beliau, misalnya, memberikan contoh sikap lemah lembut;
menghargai dialog antaragama, mau bersalaman
dengan Ibu Megawati dan tokoh Kristen Protestan Ibu Hanriette T
Hutabarat, dan lain-lain.
Raja Salman juga membantu keluarga anggota Densus 88 dan
polisi yang cacat dan tewas karena tembakan teroris. Semua ini memberi pesan
bahwa Arab Saudi adalah antiterorisme. Bukan pengusung terorisme seperti
tuduhan pihak-pihak tertentu. Dan puncaknya, kesediaan Raja Salman untuk
bertemu dengan tokoh-tokoh lintas agama seperti disebutkan di atas
menunjukkan bahwa Arab Saudi dan Raja, kini sedang mengusung Islam yang
ramah, toleran, dan damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar