Selisih
Suara dan Keadilan Pemilu
Fadli Ramadhanil ; Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi
|
KOMPAS, 14 Maret 2017
Thomas Meyer dalam karyanya yang berjudul Democracy: An Introduction for Democratic
Parties (2002) mengatakan, demokrasi tidak hanya prosedur dalam mengambil
keputusan. Demokrasi adalah suatu sistem nilai.
Alasan hampir semua negara memilih sistem demokrasi adalah
untuk membangun sistem politik yang berdasarkan pada prinsip-prinsip
kebebasan dan kesetaraan untuk semua orang.
Meski demikian, demokrasi bisa tergelincir jika hanya
digunakan sebagai alat legitimasi keputusan suara terbanyak dan pada ujungnya
mengarah pada hasil yang dapat melanggar martabat dan nilai-nilai individu
atau bahkan banyak orang. Oleh sebab itu, demokrasi perlu dilengkapi dengan
sebuah sistem hukum.
Menyambung apa yang disampaikan Meyer, sistem hukum dalam
sebuah demokrasi, terutama pemilu, bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam
pemilu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, pemilih, penyelenggara
pilkada, dan peserta pilkada (pasangan calon) adalah aktor utama yang mesti
dilindungi sistem hukum. Hal ini untuk mendapatkan keadilan dalam sebuah
pemilihan kepala daerah. Sejak Pilkada 2015, ambang batas selisih suara
sebagai syarat untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil ke
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebuah anomali.
Ruang persidangan yang disediakan di MK untuk para pencari
keadilan adalah untuk menguji apakah proses dan hasil demokrasi bernama
pemilihan kepala daerah sudah sesuai dengan prinsip, asas, dan aturan main
yang sudah disepakati.
Alasan utama meletakkan fungsi penyelesaian hasil
pemilihan pemilu atau pilkada di MK adalah karena MK merupakan lembaga yang
diberi mandat oleh UUD 1945 sebagai pelindung hak konstitusional warga
negara.
Dalam konteks pilkada, perlindungan hak konstitusional
warga negara dalam menunaikan hak pilihnya merupakan aspek yang wajib
dilindungi oleh MK. Pada titik ini, kekakuan MK dalam melaksanakan ketentuan
ambang batas selisih suara di dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Kepala Daerah perlu ditinjau kembali.
Pintu masuk penentuan
Pengalaman penyelesaian perselisihan hasil Pilkada 2015,
ambang batas selisih suara dijadikan MK sebagai pintu masuk satu-satunya
untuk menentukan apakah suatu permohonan perselisihan hasil pilkada dapat
diperiksa lebih lanjut di tingkat pembuktian atau tidak.
Artinya, setiap permohonan yang masuk akan diteliti
terlebih dahulu apakah syarat ambang batas selisih suara 0,5 persen-2 persen
terpenuhi atau tidak. Intinya, MK hendak memastikan apakah selisih suara yang
tipis antara pemenang pemilihan yang ditetapkan KPU dan pasangan calon yang
kalah sesuai dengan syarat selisih suara dalam Pasal 158 UU No 8/2015.
Jika selisih suara antara pasangan calon yang menang dan
pasangan calon yang kalah sebagaimana keputusan KPU di luar ketentuan Pasal
158 UU No 8/2015, MK akan langsung memutus permohonan itu tidak dapat
diterima. Praktik inilah yang dirasa menjauhkan tujuan awal perselisihan hasil
pilkada di MK, yakni mewujudkan keadilan pemilu.
Pertama, langkah MK menyatakan permohonan perselisihan
hasil pilkada tak dapat diterima berdasarkan keputusan KPU tentang penetapan
hasil pilkada merupakan cara tak fair jika dilihat dari sudut pandang peradilan.
Hal ini karena keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada merupakan obyek
sengketa yang dipersoalkan pemohon perselisihan hasil pilkada.
Dalam mengajukan permohonan sengketa, setiap pemohon pada
galibnya akan menguraikan alasan permohonan disertai bukti yang mengatakan
ada persoalan dari hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPU.
Hal itu menjadi tidak adil bagi pemohon sebagai salah satu
pihak yang bersengketa di MK, ketika alasan permohonan dan bukti yang
diajukan sama sekali tidak diperiksa dan dinilai oleh MK karena tidak
memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur di dalam Pasal 158 UU
No 8/2015.
Sebaliknya, MK serta-merta menyatakan permohonan tidak
dapat diterima, berangkat dari hasil pemilihan kepala daerah yang ditetapkan
oleh KPU, yang juga merupakan salah satu pihak dalam persidangan di MK.
Apalagi, keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada tersebut adalah obyek
sengketa utama yang dipersoalkan oleh setiap pemohon dalam perselisihan hasil
pilkada di MK.
Langkah MK
Kedua, langkah MK dengan tidak memeriksa alasan permohonan
dan bukti awal yang diajukan pemohon akan membuat MK tidak mungkin menjawab
dan menyelesaikan pertanyaan, bagaimana jika hasil pilkada yang ditetapkan
oleh KPU yang di luar ambang batas selisih suara seperti diatur di dalam
Pasal 158 UU No 8/2015 berasal dari rangkaian proses yang tidak sesuai dengan
prinsip, asas, dan aturan main pilkada?
Bukankah peran hakiki MK adalah untuk menyelamatkan setiap
hak konstitusional pemilih agar tidak dipimpin oleh kepala daerah yang
terpilih dari sebuah proses demokrasi yang penuh dengan praktik lancung?
Melindungi MK dari arus deras permohonan perselisihan
pilkada dari pasangan calon yang "coba-coba" tentu menjadi
keniscayaan. Namun, menjadikan penetapan hasil pilkada oleh KPU sebagai
rujukan utama dan kemudian tidak memeriksa alasan permohonan dan bukti
pemohon karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara adalah praktik yang
juga tidak bisa dibenarkan.
Menghadapi hal ini, MK mestinya bisa memaksimalkan proses pemeriksaan
pendahuluan dalam rangkaian hukum acara perselisihan hasil pilkada. Dalam
tahapan pemeriksaan pendahuluan, supporting system dan hakim MK mesti bekerja
keras untuk tidak hanya memeriksa selisih suara, tetapi juga dalil permohonan
dan bukti awal yang disampaikan oleh pemohon perselisihan hasil pilkada.
Dengan begitu, MK akan mempunyai pertimbangan hukum utuh
untuk memutuskan apakah suatu permohonan mesti dinyatakan tidak dapat
diterima atau dapat dilanjutkan pemeriksaannya ke tingkat pembuktian. Dengan
langkah ini, akan terbuka kemungkinan
MK memeriksa suatu permohonan ke tingkat pembuktian dengan ambang batas
selisih suara yang melewati prasyarat, tetapi terdapat dalil permohonan dan
bukti kuat yang disampaikan oleh pemohon.
Sebaliknya, jika memang permohonan itu tidak memiliki
alasan permohonan yang kuat dan mendalam, bukti pun tidak memadai, sudah
selayaknya MK menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima. Namun,
untuk sampai ke kesimpulan tersebut, MK mesti memeriksa alasan permohonan dan
bukti awal yang disampaikan pemohon.
Fungsi utama MK adalah menjaga konstitusi dan melindungi
demokrasi. Atas fungsi itu jualah, mekanisme perselisihan hasil pilkada
"ditumpangkan" di pundak kelembagaan MK. Oleh sebab itu, melindungi
hak konstitusional warga negara dan mewujudkan keadilan pemilu adalah tugas
mulia yang harus terus dirawat oleh MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar