Raja
Saudi dan Demokrasi Indonesia
Ismatillah A Nu'ad ; Peneliti
Indonesian Institute for Social Research
and Development, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Maret 2017
KUNJUNGAN Raja Salman yang diagendakan hingga 9 Maret di
Indonesia mengingatkan masyarakat muslim mengenai perkembangan dunia Islam
dan demokrasi saat ini.
Indonesia ialah salah satu negara demokrasi terbesar di
dunia, dan Arab Saudi bisa belajar banyak tentang prinsip serta nilai-nilai
demokrasi.
Berbeda di negara-negara lain, yaitu masyarakat muslim
menjadi mayoritas, wacana Islam dan demokrasi tampaknya masih belum
terkebumikan dalam arena politik praktis. Padahal, isu Islam dan demokrasi
semenjak 1990-an menjadi tren global, terutama di kalangan akademisi. Ada
yang menganggap kompatibel, ada juga yang menganggap inkompatibel. Setidaknya
pengalaman Islam dan demokrasi di Indonesia menjadi contoh yang baik di
hadapan Raja Salman karena bisa menunjukkan kompatibilitas keduanya.
Islam dan demokrasi
Dalam buku berjudul The
Third Wave Democratization (1997), Samuel Huntington menyatakan gelombang
ketiga pertumbuhan negara-bangsa, wacana, dan praksis demokratisasi
mendapatkan tempatnya kembali setelah gelombang pertama dan kedua pertumbuhan
negara-bangsa agak kurang mengapresiasinya.
Pelbagai variabel yang menunjukkan gelombang demokratisasi
yang meningkat itu, menurut Huntington, di antaranya seperti bertumbangannya
rezim-rezim otoriter, peranan sipil yang menonjol menggantikan dominasi
militer, terjadinya proses pemilu secara jujur, adil dan transparan, serta
tidak ada dominasi kepartaian, terbukanya kebebasan berpendapat yang
direpresentasi dengan kebebasan pers, dan sebagainya. Namun tren
demokratisasi yang berkembang itu kurang begitu tampak di negara-bangsa
Islam.
Menurut laporan yang berjudul Freedom in the World 2000: The Democracy Gap, semenjak awal
1970-an, ketika demokratisasi gelombang ketiga dimulai, dunia Islam umumnya
sangat begitu minim dalam mengapresiasi keterbukaan politik, kurang respek
terhadap persoalan-persoalan HAM, serta kebebasan pers dan transparansinya
yang tersumbat.
Celah demokrasi antara dunia Islam dan tatanan
negara-bangsa yang tengah dilanda gelombang ketiga demokratisasi itu terlihat
sangat begitu dramatik (Azyumardi Azra, Indonesia, Islam and Democracy,
Singapura: Solstice, 2006). Dari 192 negara-bangsa di dunia saat ini, 121 di
antaranya telah melaksanakan pemilu secara demokratis. Namun, di
negara-bangsa tempat muslim menjadi mayoritas, hanya 11 dari 47 (atau hanya
sebesar 23%) yang sudah membentuk pemerintahan secara demokratis. Padahal, di
dunia Non-Islam, 110 dari 145 negara (atau lebih dari 76%) telah
melangsungkan pemilu secara demokratis.
Kesimpulan laporan Freedom in the World 2000 menandakan
negara-bangsa non-Islam lebih menyukai tatanan demokratis jika dibandingkan
dengan negara-bangsa Islam. Dari 31 negara-bangsa Non-Arab, 11 diantaranya
telah melaksanakan pemilu secara demokratis. Sementara itu, 16 dari
negara-bangsa Arab; satu (Tunisia), masih menggunakan sistem presidensial yang
otoriter; dua negara (Libia dan Irak) didominasi sistem kepartaian yang
diktator. Empat negara (Aljazair, Mesir, Suriah, dan Yaman) ialah
negara-bangsa dengan sistem kepartaian yang didominasi oleh partai tertentu.
Namun, meskipun demikian, di sana masih ada kekuatan
politik oposisi, sedangkan sembilan negara-bangsa Arab masih menggunakan
sistem kerajaan (monarki).
Fenomena yang menggambarkan titik-titik terang demokrasi
di sebagian kecil negara-bangsa non-Arab tapi muslim menjadi mayoritas
seperti Indonesia, memang menunjukkan hubungan antara Islam sebagai sebuah
ajaran (yang diwahyukan) dan demokrasi sebagai produk kreasi manusia masih
memiliki dinamika tersendiri.
Maksudnya demokrasi belum sepenuhnya diterima atau
diaktualisasi sebagai suatu aturan main bagi terlaksananya tatanan
negara-bangsa.
Indonesia dan demokrasi
Jika dilihat dari kasus di Indonesia, meskipun dinamika
demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan fenomena
Islam dan masyarakat muslim, karena Indonesia dihuni populasi penduduk dengan
mayoritas beragama Islam (hingga 85 %), kebijakan politik luar negeri
Indonesia tidak pernah melibatkan Islam sebagai faktor yang memengaruhinya.
Merujuk Hasjim Djalal dan Sofyan Wanandi (1999) yang
mengungkapkan kebijakan politik luar negeri Indonesia dipengaruhi
kebutuhan-kebutuhan fundamental dalam rangka penguatan kenegara-bangsaan
Indonesia itu sendiri.
Pertama, faktor pengembangan konsep pembangunan nasional,
secara khusus lagi dalam ranah pembangunan sosial dan ekonomi.
Kebijakan luar negeri Indonesia berorientasi pada
pengembangan konsep pembangunan itu sendiri yang diaktualisasi seperti
mempromosikan Indonesia ialah bangsa yang stabil dan damai, pertumbuhan
sosial dan ekonomi yang signifikan dan kooperatif berhubungan dengan
negara-negara asing.
Kedua, mengangkat isu-isu domestik tentang persatuan
nasional, bahwa Indonesia ialah sebuah negara-bangsa yang
pluralistis-multikulturalistis, terdiri atas beragam etnik, suku bahasa,
kebudayaan, agama, dan terdiri atas banyak provinsi dan kepulauan.
Ketiga, mengangkat isu ke dunia luar dalam mempromosikan
penegakkan keadilan dan hukum.
Salah satu hal mutakhir wacana yang menggema di
tengah-tengah masyarakat adalah soal penegakkan keadilan dan hukum, sehingga
wacana itu dianggap efektif sebagai upaya yang diperjuangkan Indonesia dalam
kebijakan politik luar negerinya.
Keempat, faktor pengusungan isu-isu demokratisasi dan HAM,
bahwa Indonesia tengah berjuang untuk menegakkan demokrasi dan HAM sebagai
tuntutan mendasar dari zaman reformasi.
Namun, meski faktor Islam tidak diperhitungkan dalam
kebijakan politik luar negeri Indonesia, secara domestik justru Islam menjadi
dinamika tersendiri dalam pentas politik dan pada masa transisi demokrasi
Indonesia.
Menurut Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia (2000), demokrasi bisa tumbuh di negara-negara
Islam.
Islam di Indonesia yang ditemukan melalui penelitiannya
ialah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tidak memiliki posisi yang
berhadapan untuk meniadakan satu sama lain.
Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring karena keduanya
memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia, kesetaraan, dan ukung partisipasi masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar