Perkuat
Gerakan Hantam Hoax
Yuliandre Darwis ; Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat;
Dosen Komunikasi FISIP Unand
|
KORAN
SINDO, 14
Maret 2017
Pada era banjir informasi, masyarakat diberikan aneka
informasi yang benar maupun yang tidak benar. Beragam informasi silih
berganti mengisi aktivitas kehidupan manusia.
Jika dianggap penting dan memiliki dampak luas pada
masyarakat, informasi itu menjadi diskursus hangat di berbagai tempat seperti
kampus, diskusi warung-warung kopi, hingga perdebatan pada ruang-ruang publik
media massa. Persoalan maraknya berita palsu (hoax) yang cukup meresahkan dan
mengkhawatirkan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah salah satu topik
yang banyak dibicarakan orang saat ini.
Dalam Cambridge Dictionary, kata hoax berarti tipuan atau
lelucon. Dengan perkataan lain, hoax berarti informasi yang tidak benar.
Banyak pihak kemudian membuat dan menyebarkan hoax dengan berbagai tujuan dan
kepentingan, politik, ideologi, bahkan motif ekonomi. Penelusuran Worth
Traffic menyebutkan, pemasukan iklan pkspiyungan.org sebelum dibekukan
pemerintah sempat mencapai USD100 per hari atau USD 36.500 setahun, yang
setara Rp485 juta.
Kepentingan ekonomi hanya salah satu tujuan penyebaran
berita hoax.Ada tujuan-tujuan lain penyebar hoax, seperti membuat keresahan
sosial, misalnya penyebaran informasi hoax pascaperselisihan angkutan umum
berbasis online dengan angkutan umum yang tidak menggunakan online, orientasi
politik dalam momentum pilkada.
Penyebaran hoax tentu mengganggu stabilitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kominfo pada 2016 mencatat setidaknya ada 800.000
situs di Indonesia yang menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian.
Mengidentifikasi Informasi Hoax
Meskipun saat ini kita hidup dalam era teknologi
komunikasi yang canggih dengan teknologi digital serta konvergensi media dan
keterbukaan informasi, sejujurnya kita belum banyak mengetahui dan harus
bersikap seperti apa menghadapi zaman informasi dengan kekuatan teknologi
mutakhir. Kita sama-sama mafhum banyak hoax beredar melalui media memengaruhi
opini masyarakat yang berdampak pada situasi sosial menjadi tidak stabil.
Oleh karena itu, penting melakukan pemetaan modusmodus
informasi hoax.David Harley dalam buku “Common Hoaxes and Chain Letters
(2008)” mengidentifikasi informasi hoax. Penyebaran berita hoax biasanya
memiliki karakteristik surat berantai dengan memuat kalimat untuk mengajak
orang menyebarkan informasi. Informasi hoax juga tidak mencantumkan tanggal
dan deadline serta tidak mencantumkan sumber informasi yang valid.
Melakukan identifikasi informasi yang beredar menjadi
langkah strategis untuk mencegah beredarnya informasi hoax. Sering kali kita
mendapat broadcast melalui ponsel berupa pesan berantai yang meminta
penggunanya menyebarkan informasi itu. Isi pesan macam-macam. Ada berupa
undian berhadiah, informasi lowongan kerja, black campaign politik, dan
seterusnya.
Belum lagi informasi itu tidak mencantumkan kapan
kedaluwarsanya dan dari mana sumber informasi. Yang penting, informasi
beredar luas dan cepat dibicarakan banyak orang sehingga membuat gaduh
situasi sosial.
Hantam Hoax
Keresahan masyarakat terhadap informasi hoax tinggi.
Berbagai cara dilakukan untuk membendung penyebaran hoax. Pemerintah bahkan
memberi perhatian serius terhadap hoax.Presiden Jokowi menyatakan pemerintah
akan menindak secara hukum, tegas, dan keras terhadap para pelaku penyebaran
informasi palsu. Kemenkominfo telah memblokir 800.000 situs berkonten negatif
dan akan merapikan 40.000 lebih situs berkonten negatif dan hoax.
Ada kementerian yang membentuk Badan Siber Nasional (BSN).
Langkahlangkah ini merupakan cara pemerintah mengatasi hoax yang mengganggu
jalannya roda pemerintahan. Di berbagai tempat dideklarasikan masyarakat
anti-hoax, seperti di Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo, Wonosobo, Bandung.
Di Bandung misalnya, bersama Ridwan Kamil, wali kota Bandung,
saya dengan masyarakat Kota Kembang melakukan deklarasi hantam hoax pada 21
Februari 2017. Gerakan hantam hoax harus digelorakan di berbagai tempat untuk
membendung tsunami informasi hoax. Namun begitu gerakan anti-hoax sejatinya
dibarengi dengan membangun kesadaran bermedia pada masyarakat, seperti apa
memahami dan menyikapi pesan hoax termasuk yang tersebar lewat media massa.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel melalui buku “Blur:
Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi” menawarkan pendekatan
skeptis terhadap informasi. Ketika memperoleh informasi hendaknya tidak
langsung percaya, tapi bersikap ragu-ragu terhadap informasi tersebut. Dengan
begitu, muncul pemikiran apakah informasi ini benar atau tidak, dari mana
asal informasi, siapa yang menyebar informasi, dan apa tujuan informasi.
Selain itu, mengedepankan cara pandang kritis pada suatu
informasi merupakan cara lain membendung hoax. Kita tahu bersama, tujuan
penyebaran hoax memiliki banyak motif, termasuk ideologis. Melalui sebuah pesan
informasi, secara implisit biasanya motif ideologi disusupkan pelakunya. Ini
membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Bhinneka Tunggal
Ika, UUD 1945.
Terakhir, memperkuat gerakan literasi media/melek
informasi di lingkungan pelaku media itu sendiri, masyarakat, lembaga
pendidikan, organisasi masyarakat, kelompok pemerhati, dan sebagainya.
Literasi warga harusnya dibumikan agar kesadaran memahami pesan media dapat
semakin meluas di masyarakat informasi.
Berbagai cara ini sesungguhnya menjadi alternatif pilihan
yang dapat dilakukan sebagai langkah menghadapi badai informasi hoax.
Maraknya hoax seharusnya kita bendung, dicegah, dan bahkan dilawan, sebab
informasi hoax tidak saja mengacaukan masyarakat, mengadu domba kita semua,
menjadi duri dalam demokrasi yang sedang terkonsolidasi–informasi hoax
membawa kita pada peradaban manusia yang semakin mundur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar