Jalan
Kedaulatan Pangan
Sofyan Sjaf ; Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan dan
FEMA IPB
|
KOMPAS, 15 Maret 2017
Kedaulatan pangan tidak sekadar berbicara produksi,
pembukaan lahan, pembagian alat dan mesin pertanian, pemberian pupuk, pengadaan
fasilitasi kredit, serta kemampuan berswasembada, lalu mengekspor karena stok
pangan sudah tercukupi.Kedaulatan pangan lebih berbicara tentang keberdayaan
petani yang memiliki hak mendefinisikan sistem pangan untuk mereka sendiri,
sesama, dan negaranya.
Kedaulatan pangan menempatkan petani dalam memproduksi,
mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan di tengah pengambilan keputusan dan
pembuatan kebijakan, bukan korporasi atau institusi pasar (La Via Campisena,
2009).
Demikianlah kedaulatan pangan yang sejati. Dirumuskan La
Via Campisena (Gerakan Petani Internasional) dari pengalaman panjang
mengorganisasikan petani kecil yang tersubordinasi di berbagai belahan dunia.
Untuk itu, kesejahteraan dan kedaulatan petani menjadi tujuan utama
kedaulatan pangan. Bukan belas kasihan yang seolah heroik kepada petani.
Jasmerah
Dalam konteks itu, maka kedaulatan pangan menjawab
kekhawatiran Mabhul Haq (1983) tentang tujuh dosa perencanaan pembangunan
yang sering terjadi di negara-negara berkembang, yaitu permainan angka,
pengendalian yang berlebihan, investasi yang menggiurkan, pendekatan yang
dianggap benar, perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah, sumber daya
manusia yang terabaikan, serta pertumbuhan tanpa keadilan.
Dekade 1970-an, pada awal Orde Baru berkuasa, modernisasi
pembangunan pertanian dengan cara industrialisasi dilakukan dengan jargon
revolusi hijau. Desa dan pertanian dirasionalisasikan. Budaya masyarakat yang
dianggap menghambat kemajuan disingkirkan.Pengetahuan dan teknologi
negara-negara maju diperkenalkan, seolah sesuai dengan habitus masyarakat
Indonesia.
Efeknya, investasi luar negeri menjadi keharusan untuk
menjalankan modernisasi yang padat modal. Di pedesaan yang masyarakatnya
mayoritaspetani, pembangunan infrastruktur menjadi prioritas, apa yang telah
dirumuskan pemerintah harus dilaksanakan petani di pedesaan. Petani bukanlah
subyek, melainkan obyek pembangunan.
Gejala di atas direspons Sajogyo (1973) dalam tulisannya
yang berjudul ”Modernization Without Development”. Sajogyo mengingatkan bahwa
kebijakan revolusi hijau yang tidak lain adalah modernisasi pertanian
memberikan dampak kesenjangan (ketidakmerataan), tetapi sebaliknya memberikan
keuntungan kepada lapisan atas desa dan mempercepat proses proletarianisasi
petani gurem (lapisan bawah desa).
Pada dekade 1980-an, tujuan revolusi hijau tercapai.
Indonesia mencatat sejarah sebagai negara yang mampu berswasembada beras.
Kisah yang dianggap sebagian kalangan berhasil, tetapi bagi sebagian lainnya
memberikan catatan yang memilukan.Kerusakan ekologis (penggunaan pupuk dan
pestisida terus-menerus dan berlebihan), penurunan keanekaragaman hayati dan
unsur hara tanah, adalah kisah yang memilukan tersebut. Catatan tersebutlah
penyebab sejarah swasembada beras tidak berulang untuk kedua kali.
Pada dekade 1990-an, modernisasi pertanian masih dijadikan
sebagai pendekatan. Saat reformasi 1998, agribisnis mulai dilirik sebagai
pendekatan pembangunan pertanian yang sebenarnya memiliki akar filosofis sama
dengan sebelumnya.
Pada dekade selanjutnya (tahun 2000-an dan seterusnya),
agribisnis plus kerakyatan (agribisnis kerakyatan) kembali menjadi pilihan
pemerintah pada era Jokowi-Kalla.Namun, tampaknya agribisnis kerakyatan dalam
pelaksanaannya lebih menitikberatkan pada dua hal, yakni subsidi barang dan
investasi yang masing-masing masih berorientasi produksi.
Lalu, apakah yang menarik dari catatan sejarah di atas?
Pertama, baik rezim Orde Baru maupun Orde Reformasi yang mirip pendekatannya
ternyata tidak mampu menciptakan pemerataan di tingkat petani. Hal ini
ditandai dengan perolehan indeks rasio gini, baik pada era Orde Baru maupun
Orde Reformasi, yang masih berkisar 0,3-0,41. Artinya, masih terjadi
ketimpangan sedang.
Kedua, mandeknya kebaruan pendekatan pembangunan pertanian
di pedesaan, yang menempatkan petani sebagai subyek pembangunan
pertanian.Dengan demikian, pengambil kebijakan kita saat ini seakan lupa
dengan sejarah. Padahal, Bung Karno selalu mengingatkan, ”jangan sekali-kali
melupakan sejarah” (jasmerah)!
Meluruskan jalan
Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk merefleksikan
kebijakan pertanian pemerintahan Jokowi-Kalla. Mari kembali ke visi-misi yang
dijanjikan pemerintah ini kepada kaum tani. Dokumen visi-misi yang
dipublikasikan ke publik tersebut tampaknya berkeinginan menjawab
kekhawatiran Mabul Haq dan keseriusan mewujudkan kedaulatan pangan yang
sejati di atas. Namun, jika jalan yang ditempuh sama dengan sebelumnya,
dipastikan visi-misi tersebut sekadar dokumen yang tersimpan sebagai arsip.
Dokumen tersebut sudah tegas menyatakan bahwa mewujudkan
kedaulatan pangan sebagai upaya berdikari dalam bidang ekonomi hanya bisa
ditempuh dengan jalan membangun jiwa dan badan kaum tani dan organisasi tani
sebagai subyek pembangunan. Jadi, bukan melalui subsidi barang dan ajakan terhadap
investasi luar negeri yang kemudian membuat kaum tani tidak berdaya! Jalan
kedaulatan pangan adalah jalan yang memberikan kepastian partisipasi kepada
kaum tani dan organisasi tani untuk menentukan hak dan kewajiban dalam
memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan.
Oleh karena itu, negara hadir memfasilitasi kaum tani dan
organisasi tani untuk menyusun kebutuhan (teknis ataupun non-teknis),
merencanakan aksi bersama, dan melaksanakan mandat dari kesepakatan bersama
tersebut.
Secara praksis, hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara, pertama, konsolidasi kaum tani melalui organisasi tani yang memiliki
basis akar rumput, bukan kelompok tani atau gabungan kelompok tani yang
dibentuk karena proyek. Kedua, memastikan ketersediaan alat-alat produksi
yang dibutuhkan kaum tani, seperti teknologi, lahan, modal, dan inovasi.
Ketiga, memperkuat kapasitas serta kelembagaan
(hulu-hilir) kaum tani dan organisasi tani.
Keempat, membangun konsorsium sebagai media rembuk kaum
tani-pemerintah-para pihak untuk mengawal agenda kebutuhan kaum tani dan
organisasi petani mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
monitoring-evaluasi.
Kelima, merevisi regulasi yang menghambat tumbuh dan
berkembangnya aktivitas kaum tani dan organisasi tani di Indonesia.
Akhirnya, kedaulatan pangan adalah rangkaian gerbong untuk
mewujudkan kedaulatan bangsa di tengah-tengah persaingan global yang bisa
saja melindas bangsa ini di kemudian hari, jika kita tidak mulai
memperbaikinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar