Obat
Luka Bangsa
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 14 Maret 2017
Untuk suatu tujuan mulia, orang harus sudah berada di
jalan mulia. Bagaimana mungkin menjanjikan kepemimpinan yang lebih melayani
harapan kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama jika jalan menuju tampuk
kekuasaan dilalui melalui perobekan tenunan kebersamaan dan rasionalitas
publik.
DKI Jakarta sebagai pusat saraf politik nasional
semestinya tampil sebagai pusat kewarasan dan keadaban publik. Pokok pikiran
keempat Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan elite politik dan penyelenggara
negara harus menjunjung tinggi cita kemanusiaan dan cita moral rakyat yang
luhur. Akan tetapi, dalam ajang pilkada kali ini, calon pemimpin dan elite
justru membiarkan pendukungnya terjerembap ke jurang kebiadaban tanpa
mengindahkan etika dan perikemanusiaan.
Elite politik semestinya pihak paling waras dan sadar.
Bahwa kehadiran negara-bangsa ini tidaklah mewujud secara tiban, tetapi hasil
dari usaha sadar dengan penuh pengorbanan berbagai elemen bangsa untuk
mengalirkan ribuan sungai kecil (kesukuan, keagamaan, dan kelas sosial)
menuju samudra negara Indonesia merdeka bagi semua; negara semua buat semua;
satu untuk semua, semua untuk satu. Janganlah hasil perjuangan lelehan
keringat, darah, dan air mata para pendiri bangsa selama ratusan tahun itu
dihancurkan dalam sekejap hanya karena ambisi kekuasaan sesaat.
Apabila elite gelap mata, rakyat sebagai ibu pertiwi
semoga masih memancarkan kemurnian bening hati. Sering terjadi anak-anak le-
bih sadar daripada orangtuanya, rakyat lebih waras daripada pemimpinnya.
Dalam terang kesadaran dan spontanitas kejujuran kanak- kanak, selalu bisa
ditemukan keriangan di balik kepedihan; harapan cahaya di ujung gelap.
Negeri kepulauan sepanjang rangkaian cincin api memang
bisa diterjang letusan gunung dan tsunami. Kedamaian di sepanjang kepulauan
sesekali bisa dilanda konflik. Namun, letusan gunung tidak berarti mengakhiri
kehidupan. Muntahan abu vulkanik bisa jadi pupuk yang menyuburkan kehidupan.
Apa yang melukai bangsa ini bisa merahmatinya. Dalam pedih
pertikaian, warga disadarkan arti penting merawat persatuan dalam perbedaan
dengan berbagi kesejahteraan. Kegelapan menyediakan bintang penuntun bahwa
keberadaan dan kekayaan bangsa ini karena ada perbedaan. Adapun keteguhan
bangsa ini karena ada persamaan.
Karena perbedaan merupakan dasar mengada bangsa ini,
janganlah kita sekali-kali membenci perbedaan. Kita harus mensyuku- ri
kemajemukan bangsa ini sebagai kekayaan dan sumber kemajuan peradaban. Denys
Lombard menyatakan, ”Sungguh tak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali
mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir
semua kebu- dayaan besar dunia, berdampingan atau lebur menjadi satu.” Dia
melukiskan ada beberapa jaringan (nebula) sosial-budaya yang kuat memengaruhi
peradaban Nusantara (secara khusus Jawa): Indianisasi, jaringan Asia (Islam
dan China), serta arus pembaratan.
Sedemikian ramainya penetrasi global silih berganti
sehingga Nusantara sebagai tempat persilangan jalan (carrefour) tidak pernah
sempat berkembang tanpa gangguan dan pengaruh dari luar. Akan tetapi, menurut
Lombard, situasi demikian tidak perlu dipandang sebagai kerugian. Posisi
sebuah negeri pada persilangan jalan, pada titik pertemuan berbagai dunia dan
kebudayaan, jika dikelola baik, mungkin dalam evolusi sejarahnya bisa membawa
keuntungan, kalau bukan syarat untuk terjadinya peradaban agung.
Maka, jangan takut pada perbedaan. Bukankah keindahan
taman sari karena ragam puspa. Bukankah keelokan pelangi karena aneka warna.
Bukankah kemerduan musik karena paduan berbagai nada. Bukankah kemajuan
peradaban karena kawin silang antarbudaya.
Meskipun perbedaan yang membuat Indonesia ada dan kaya,
ketahanan bangsa ini tidak bisa diperjuangkan hanya mengandalkan perbedaan.
Perbedaan memang membuat bangsa ini ada dan kaya, tetapi persamaanlah yang
membuat bangsa ini kuat. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Kelentingan daya sintas negara-bangsa ini ditentukan
kesanggupan menyadari dan merajut persamaan dalam perbedaan. Di balik aneka
warna kulit, bisa kita temukan persamaan darah-merah, tulang-putih. Di balik
aneka warna pelangi, dasar warnanya sama putih. Di balik aneka ras manusia
yang hidup di negeri ini, semuanya bermula dari induk tunggal yang sama. Di
balik ragam agama, semuanya sama-sama mengajak berserah diri kepada Tuhan
Yang Mahakasih.
Kematangan hidup bangsa ini memijarkan kesanggupan
menghargai perbedaan seraya merajut persamaan. Kearifan Nusantara
memuliakannya dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa beda itu (bhinna
ika), sama itu (tunggal ika). Sejauh berjalan di atas jalan kebenaran akan
selalu ada titik temu. Sebab, tidak ada kebenaran yang mendua (tan hana
dharma mangrwa).
Kabut gelap pertikaian bisa menyembunyikan kenyataan
dari penglihatan, tetapi mana bisa menyembunyikan cahaya cinta dari jiwa.
Dengan terang cinta di jiwa, pengalaman pa- hit ini akan mengobati kerawanan
bangsa dengan menghargai perbedaan seraya memperkuat persamaan. Di sepanjang
untaian zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi,
saling mengasah, saling mengasuh; tiada kebinatangan saling menginjak,
saling mengisap, dan mengusir se- sama. Hanya ada satu Tanah Air tempat hidup
dan kembali. Ia tumbuh karena perbuatan dan perbuatan itu adalah budi pekerti
kita.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar