Menyelamatkan
Indonesia
dengan
Pemahaman Berbahasa
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial; Penulis Buku
"Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth,
Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 14 Maret 2017
Pekan lalu, seorang teman menunjukkan berita heboh tentang
pernyataan seorang ustadz-artis di televisi. Sang Ustadz bilang bahwa haram
hukumnya bagi seorang suami untuk menyebut istri sendiri dengan panggilan
'Mama'. Alasannya, dalam ajaran Islam, bila seorang suami menyatakan istrinya
sama dengan ibunya, kalimat itu derajatnya setara dengan talak.
Ini mengerikan sekali, dan rentan membuat jutaan pasangan
di Indonesia merasa kotor, nista, dan tak berguna.
Tapi tunggu dulu. Sebenarnya, tak perlu ilmu agama yang
tinggi untuk memahami bahwa apa yang disampaikan Mas Ustadz tersebut tak
lebih dari sekadar kegagalan dalam membaca konteks.
Dalam tradisi Arab di masa lalu, orang yang ngamuk ke
istrinya kerap berkata "Kau kuanggap ibuku sendiri!" Konsekuensinya,
karena setara dengan ibunya sendiri, ia tak lagi menempatkan istrinya itu
sebagai istri, tak lagi meng-ehem sang istri, dan seterusnya. Jadi, wajarlah
kalau itu setara talak.
Sementara, dalam konteks tradisi Indonesia, memanggil
istri dengan 'Mama', 'Ibu', 'Bunda', dan belakangan juga muncul 'Ummi', tak
lebih dari bentuk mbasakke, kalau istilah Jawa-nya. Membahasakan, memberi
contoh, agar anak-anak mengikuti cara pemanggilan seperti itu kepada ibu
mereka.
Jelas, meski sama-sama menyamakan istri dengan ibu, ada
dua konteks yang berbeda antara Arab dan Indonesia. Konteks budaya semacam
ini sangat menentukan makna bahasa yang kita tuturkan. Maka di Indonesia,
makna panggilan 'Mama' ke istri sudah pasti bukan sebentuk talak.
Malangnya, acapkali kita begitu tekstual dalam memahami
bahasa, melupakan bahwa ada konteks-konteks yang mengiringi tuturan bahasa,
dan lebih-lebih lagi: tidak memahami bagaimana cara kerja bahasa.
Belum lama berselang, tatkala umat manusia sedang dilanda
demam Pokemon Go, kasus dengan model agak serupa juga terjadi. Ada titisan
Gundala yang ingin menyelamatkan dunia dengan mengibarkan sebuah nasihat
suci, berbunyi, "Dalam bahasa Syriac, Pokemon berarti 'Aku Yahudi', dan
Pikachu berarti 'Jadilah Yahudi'. Waspadalah, jangan ucapkan nama-nama
itu!"
Banyak sekali orang percaya bahkan ikut-ikutan menyebarkan
seruan mulia tersebut. Saya setuju bahwa niat menyelamatkan dunia adalah niat
yang mulia. Namun karena saya belum berencana menjadi penyelamat dunia dalam
waktu dekat, saya lebih memilih tertawa, dan mengingat-ingat peristiwa
belasan tahun sebelumnya.
Sekitar tahun 2000-an awal, istilah 'jayus' atau 'jayuz',
yang pernah ngehits di era '90-an, muncul kembali. Lagi seru-serunya orang
mengucap kata itu, saya berjumpa para pembela kebenaran yang menyebarkan
nasihat di berbagai mailing-list. "Saudara-saudaraku, jangan merasa gaul
dengan mengucapkan kata 'jayus'. Hati-hatilah dalam berucap, sebab dalam
hadis Nabi disebutkan bahwa 'jayus' adalah pencuri kain kafan dalam kuburan.
Jagalah lisan Anda, karena di Hari Akhir ia akan dimintai
pertanggungjawaban."
Ya, ya, ya. Bahwa lisan akan dimintai pertanggungjawaban
saya juga percaya. Persoalannya, kalau dalam bahasa Indonesia-prokem istilah
'jayus' bermakna semacam 'garing', 'diniatkan lucu padahal nggak lucu',
kenapa juga kita harus mengacu pada makna dalam bahasa Arab? Bukannya memang
kita sedang ngobrol dalam bahasa Indonesia?
Demikian juga saat kita mengucap nama Pokemon dan Pikachu,
bukankah kita memang sedang menunjuk tokoh-tokoh kartun yang kita semua sudah
tahu yang mana yang sedang kita maksud? Atau, Anda beneran sedang bicara
dalam bahasa Syriac? Wah, saya kagum sekali. Ajarin dong. Haha.
Hmm, jadi begini, Saudara. Bahasa bersifat arbitrer,
semau-maunya. Mari kita ambil satu contoh. Organ tubuh untuk melihat, dalam
bahasa Indonesia, kita sebut dengan 'mata'. Namun harus dipahami, tidak ada
yang mewajibkan penyebutan demikian. Boleh saja kita sebut 'cendol', boleh
juga kita namai 'bisul'. Bebas saja, semau-mau kita.
Namun justru karena semau-maunya itulah, kita membutuhkan
konvensi atau kesepakatan antara para penutur kata. Tanpa kesepakatan
bersama, kita cuma akan jadi alien. Anda mengatakan "Tataplah wajahku
dengan cendolmu" di tengah-tengah masyarakat penutur yang menyebut organ
penglihatan sebagai 'mata', maka tak ada orang yang akan paham maksud Anda.
Ketika orang lain tak paham, di situlah 'cendol' gagal menjadi bagian dari
bahasa.
Prinsip seperti itu terus berjalan dan berlaku, karena
memang dengan mekanisme demikianlah sebuah bahasa tercipta lantas menjalankan
fungsinya.
Maka, tak perlu takut-takut jika di tengah penutur bahasa
Indonesia Anda ingin bicara "Ah, besok waktu nikahan aku mau pakai acara
tukar cincin, ah. Terus habis itu kami berdua pegang mangkok isi es krim, buat
suap-suapan. Co cwiit!"
Jangan dengarkan waktu ada orang mendamprat Anda,
"Tukar cincin?? Jangan ucapkan itu! Dalam bahasa Jepang, cincin artinya
alat kelamin laki-laki! Dan, ya Tuhan, mangkok artinya alat kelamin
perempuan! Jaga kata-katamu!"
Memang benar, 'cincin' dan 'mangko' (diucapkan secara
lisan mirip dengan 'mangkok') dalam bahasa Jepang mengandung makna begituan.
Namun konvensi yang sedang Anda ikuti adalah konvensi dalam bahasa Indonesia,
bukan bahasa Jepang.
Jangan ragu-ragu pula jika Anda seorang penyuluh
pertanian, lalu di tengah penutur bahasa Sunda menyampaikan, "Dalam
kasus tanah begini, Bapak-bapak butuh pacul." Tapi mohon pertimbangkan
sekali lagi untuk mengucapkan kalimat itu, saat Anda dikirim bertugas di
Kalimantan dan bicara di tengah masyarakat penutur bahasa Banjar. Yang belum
paham makna 'butuh' dan 'pacul' dalam bahasa Banjar, silakan gugling sendiri.
Dalam perkembangan yang lebih kekinian, kita pun
semestinya terus memahami prinsip kerja bahasa berupa "semau-maunya,
namun memerlukan kesepakatan bersama". Dari situ kita akan mampu
bersikap lebih santai saat menghadapi dinamika istilah-istilah milenium
semacam 'nyinyir' dan 'jomblo'.
Pernah suatu kali saya menulis di status Facebook,
"Saya nyinyir ke Partai Anu, kenapa serta-merta dianggap nyinyir kepada
Islam?" Lantas seorang kawan berkomentar, "Mas, katanya yang benar
itu 'sinis', bukan 'nyinyir'."
Di situlah saya teringat ajaran Pak Mulyadi, guru bahasa
saya. "Tidak ada bahasa yang salah. Asal dia hidup, dituturkan, dan
saling dipahami, maka dia benar." Ya, Pak Mul sedang bicara tentang
konvensi.
Maka, meski kata 'nyinyir' sebenarnya tidak bermakna
'sinis', ketika jutaan penutur bahasa Indonesia saat ini mulai menyepakati
bahwa nyinyir setara dengan sinis, kata itu pasti akan berubah maknanya. Dan
itu biasa saja.
Kita pun semestinya santai, tidak perlu mati-matian
mencegah perubahan makna itu dengan penuh kepanikan, sebagaimana kita
mencegah bangkitnya bahaya laten ini dan itu. Bukankah pada awalnya kata
'artis' juga bermakna 'seniman', namun belakangan diucapkan untuk mengacu
pada 'selebritas' alias 'pesohor'?
Kasus yang sama persis terjadi pada kata 'jomblo'. Ada
beberapa pendekar bahasa yang ingin memperjuangkan penulisan yang tertib
sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni 'jomlo'. Namun silakan bayangkan
sekarang ini Anda mengucap atau menulis 'jomlo', saya yakin nyaris tidak ada
pendengar yang paham maksud Anda. Dan persis di titik itulah bahasa gagal
menjalankan fungsinya.
Pemahaman bahwa bahasa sangat terkait dengan konteks
budaya maupun konteks kesepakatan para penutur bisa terus dikembangkan untuk
memahami aktivitas berbahasa yang lain lagi, yaitu penerjemahan. Masih banyak
di antara kita yang belum cukup mengerti bahwa kerja penerjemahan bukanlah
mencari "arti" kata-kata.
Taruhlah sebuah novel berbahasa Inggris diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Sang penerjemah tidak dituntut untuk mencari
"arti" dalam bahasa Indonesia bagi tiap kata bahasa Inggris dalam
novel tersebut. Sebab, sebuah kata hanya dapat diartikan atau dijelaskan
secara sempurna ke dalam bahasa yang sama. Sementara, ke bahasa lain, yang
dilakukan adalah mencari padanan kata. Bukan arti. Padahal yang namanya
padanan kata belum tentu 100% berhasil mewakili makna kata aslinya.
Saya ambil contoh, yakinkah Anda bahwa "How are
you" sungguh-sungguh berarti "Apa kabar"? Kalau saya sih tidak
yakin. Sebab dalam pengamatan saya sehari-hari, para penutur bahasa Inggris
mengucapkan "How are you" sangat sering.
Kemarin pagi saya bertemu Jessica supervisor saya, dia
tanya "How are you". Tadi pagi kami kembali berjumpa, eh lagi-lagi
dia bertanya "How are you". Ini baru soal waktu. Belum lagi lawan
bicaranya. Para penutur bahasa Inggris bahkan mengucap "How are
you" saat berpapasan dan saling menyapa dengan orang tak dikenal!
Nah, coba, apakah kita mengucap "Apa kabar" juga
dengan pola pemakaian yang sama? Tidak, kan? Kita menanyakan kabar kepada
teman yang lama tak jumpa. Dan kita tak bakalan bertanya kabar kepada orang
di jalan yang bahkan kenal saja enggak.
Namun, "Apa kabar" memang menjadi padanan yang
paling dekat untuk "How are you", meski sebenarnya tidak
persis-persis amat.
Lalu pertanyaannya, kenapa ada kata-kata yang tidak
ditemukan padanannya dalam bahasa lain? Jawabnya kembali ke atas: ada latar
budaya. Ada konteks sosiologis dan psikologis sebuah masyarakat, alam pikiran
masing-masing masyarakat, selera mereka, cara hidup mereka, yang pada
akhirnya terwujud dalam kata-kata dan bahasa.
Jadi jangan heran kalau kata 'gemas', 'kebelet', 'tumben',
'masuk angin', dan masih banyak yang lain, tidak Anda temukan padanannya yang
persis sempurna dalam bahasa Inggris. Sebab latar budaya bahkan alam pikiran
manusia Indonesia mengandung sisi-sisi yang berbeda dengan manusia Inggris
atau Amerika.
Nah, kalau untuk menerjemahkan novel atau buku-buku
mutakhir saja sedemikian tidak simpelnya, lantas bagaimana dengan
penerjemahan kitab suci? Kitab suci muncul bukan dari zaman kita. Bahasa yang
dipakai di kitab suci adalah bahasa klasik, bahasa yang hidup ribuan tahun
silam, sekaligus bahasa dengan muatan sastra yang tinggi dan penuh metafora.
Belum lagi konteks budaya masyarakat penutur bahasa kitab
suci di zaman kemunculannya pun berbeda dengan masyarakat penutur bahasa
kitab suci di zaman sekarang. Ringkasnya, misalkan Alquran, budaya masyarakat
Arab pada masa Nabi Muhammad 1.500 tahun silam tidak persis sama dengan
budaya masyarakat Arab pada masa Paduka Yang Mulia Maharaja Salman. Bukankah
begitu?
Sebab itulah kita tak perlu terlalu heran, jika berbagai
benturan pendapat muncul dari penafsiran dan pemahaman yang beragam atas
makna teks dalam kitab suci. Jangan lupa, terjemahan buku modern saja tidak
bisa benar-benar memuat keseluruhan makna yang dimaksud buku asli. Apalagi
kitab suci.
Pengertian atas cara kerja bahasa harus benar-benar kita
pahami dan kita pegang baik-baik sebagai bekal menjalani hidup. Simpan
tulisan ini, cetak dan laminating bila perlu. Percayalah, konflik dan aneka
keributan yang rentan membawa kita pada disintegrasi sosial bakalan terus
terjadi.
Pada saat itulah kita akan ditantang untuk tidak kagetan,
untuk menjaga kejernihan berpikir, untuk memahami persoalan dengan porsi yang
semestinya, agar tidak gampang tercebur ke dalam kubangan huru-hara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar