Mengembangkan
Kesadaran Kritis dan Kreatif
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Maret 2017
"The
greatest discovery of any generation is that human beings can alter their
lives by altering the attitudes of their minds."
Albert Schweitzer, MD
MENGEMBANGKAN
cara berpikir kritis dan kreatif merupakan pencarian seumur hidup agar
memiliki sensitivitas rasa kemanusiaan. Tugas ini menjadi beban setiap orang,
terutama para guru dan orangtua agar anak-anak mereka tumbuh menjadi
pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran kritis dan kreatif yang berguna bagi
orang lain.
Dalam
proses pendidikan, kesadaran kritis dan kreatif harus menjadi tujuan utama
proses belajar-mengajar agar tujuan pembelajaran menjadi lebih fokus dan
terarah serta tidak membosankan. Salah satu cara yang sangat mungkin
dilakukan orangtua dan guru ialah dengan melihat, apakah proses belajar di
sekolah anak-anak mereka terdapat upaya untuk menyeimbangkan pikir dan rasa
dalam proses belajar mengajar. Jika terjadi, ini pasti akan menumbuhkan sifat
menghargai antara satu dan yang lain. Kondisi ini sejalan dengan fakta betapa
majemuknya masyarakat Indonesia. Hilangnya kesadaran kolektif kita sebagai
sebuah bangsa yang majemuk, lebih banyak disebabkan oleh ketidakefektifan
kebijakan kurikulum yang kurang menimbang dalam menyeimbangkan rumpun dan
mata ajar yang ada.
Keseimbangan
kurikulum
Profesor
Antonio Damasio (2006) menyebutkan, hari ini sistem pendidikan hampir di
seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses
pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional. Menyelami empati dan
rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga
anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa.
Dalam
pandangan Damasio, seharusnya pendidikan seni budaya dan humaniora
diseimbangkan jumlah durasi dan substansinya, dan dalam rangka menumbuhkan
elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu
dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran
yang mengasah rasa inilah yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas
masyarakat modern. Jika kebijakan soal distingsi kurikulum ini terus
diabaikan, jangan harap tujuan pendidikan nasional seperti tertera dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 akan mampu diwujudkan.
Kebijakan
pendidikan yang saat ini lebih berorientasi pada hasil pasti akan berdampak
buruk bagi masa depan Indonesia. Tujuan, hakikat, dan pemaknaan pendidikan
yang serbahasil ini memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang dibangun
sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa
atau ruh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional.
Kombinasi
pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan
dalam perilaku siswa. Kebiasaan berpikir imajinatif, kreatif, dan inovatif
merupakan kebiasaan hebat yang dalam buku Habits
of Mind Accross the Curriculum: Practical and Creative Strategies for Teachers
(Arthur L Costa and Benna Kallick, Ed,
2009), dikatakan bahwa setiap guru yang hendak lebih kreatif dalam
mengajar disarankan untuk melatih kebiasaan berpikir imajinatif, kreatif, dan
inovatif.
Jika
kebiasaan ini dilatih secara baik, orisinalitas sebuah pendekatan baru dalam
mengajar akan senantiasa hadir dan dirasakan oleh siswa, juga secara kreatif.
Selain
itu, pikiran kita juga perlu untuk diajarkan mengambil setiap risiko secara
bertanggung jawab (taking responsible
risks). Dalam realisasinya, kebiasaan ini kemudian akan meningkatkan
kompetensi guru secara konstan dan berkesinambungan sehingga pada saat
tertentu siswa juga dapat melihat sekaligus tahu bagaimana menjadi murid yang
bertanggung jawab.
Thinking
interdependently merupakan kebiasaan berpikir
selanjutnya yang layak untuk dilatih. Guru dengan kebiasaan cara pandang
semacam ini akan selalu mampu untuk belajar dan bekerja sama dalam kelompok
secara timbal balik.
Selain
itu, penting juga bagi guru untuk menunjukkan kebiasaan yang tenang, berpikir
jernih sekaligus deliberatif. Inilah jenis kebiasaan berpikir yang
mengedepankan kata hati atau terbiasa selalu berpikir dulu secara jernih
sebelum melakukan sesuatu.
Kebiasaan
ini disebut dengan managing impulsivity.
Selain
itu, kemampuan berpikir fleksibel, yakni bagi seorang guru yang memiliki
begitu banyak siswa dengan lain kecenderungan, juga merupakan kebutuhan harus
dilatih secara terus-menerus. Kemampuan berpikir fleksibel yang terlatih akan
menempatkan guru pada kemampuan tertinggi dalam memberikan evaluasi
pembelajaran secara maksimal karena terbiasa dalam menggunakan berbagai macam
perspektif dan opsi sebelum memutuskan sesuatu.
Kemampuan
lainnya yang perlu dilatih ialah usaha untuk selalu akurat dalam mengambil
keputusan (striving for accuracy). Menangani begitu banyak masalah siswa
menuntut guru untuk selalu memiliki akurasi dalam menangani setiap problem
pembelajaran yang dihadapi siswa. Agar situasi belajar selalu dapat dikontrol
berdasarkan tujuannya, penting bagi guru untuk sesekali menggunakan wisdom
atau apa yang baik di masa lalu ke dalam konteks kekinian (applying past knowledge to new stuations).
Memberikan contoh tentang pengalaman dan pengetahuan apa saja yang pernah
dilakukan di masa lalu, terkadang membantu guru dalam menyadarkan situasi
tertentu yang dihadapi siswanya.
Kemampuan
selanjutnya untuk dilatih ialah kemampuan dalam mengumpulkan dan mengolah
data melalui berbagai media, seperti rasa, sentuhan, penciuman, pendengaran,
dan penglihatan (gathering data through
all sense). Hal ini penting karena siswa juga memiliki kepribadian yang
beragam sesuai dengan daya pikir dan rasa yang dimilikinya.
Kemampuan
terakhir yang juga harus dilatih ialah kebiasaan untuk memuji dan menyatakan
kekaguman (responding with wonderment
and awe) terhadap potensi dan prestasi siswa, menumbuhkan selera humor
(finding humor) yang cerdas dengan siswa, serta tetap memiliki semangat untuk
terus belajar (remaining open to continous learning).
Jika
kebiasaan-kebiasaan ini dilatih secara teratur, besar kemungkinan guru akan
lebih kreatif dan inovatif dalam menjalankan proses belajar.
Kebiasaan
pikiran yang perlu dilatih di atas tidak harus dilatih secara berurutan dan
atau serentak. Sebagai sebuah kurikulum yang hidup, ada baiknya jika guru
mendiskusikannya secara terbuka kepada semua siswanya untuk mulai melatih
hal-hal yang dirasa perlu dan cocok untuk dikembangkan untuk mata ajar yang
ingin dipelajari bersama. Mengembangkan nalar kritis dan kreatif membutuhkan
keberanian dari para guru dan kepala sekolah untuk melawan budaya pendidikan
yang tidak menghargai perbedaan dalam menafsirkan, misalnya, makna kurikulum
bagi proses belajar mengajar yang kreatif. Secara aplikatif, baik guru maupun
kepala sekolah dapat membuat mind-map pembelajaran yang dapat menumbuhkan
kreativitas siswa yang berpusat pada 5 hal, yaitu focus, act, connect,
deviate, dan evaluate.
Jika
sekolah memiliki fokus mengembangkan kreativitas siswa, syarat selanjutnya
ialah keberanian untuk melakukannya (act).
Dalam
terminologi creative method, komunitas sekolah harus berani melakukan sebuah
terobosan yang sama sekali baru (it's
about the action of creating something that never existed), dan dalam
konteks dan relevansi yang terkait erat dengan persoalan budaya dan
kemanusiaan (it's about the connection
of this act to our culture and humanity).
Selamat
mencoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar