Kunjungan
Multidimensi Raja Salman
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Maret 2017
KUNJUNGAN
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia selama sembilan
hari tentu saja memiliki multidimensi, multitafsir, dan multimakna. Terserah
Anda mau melihatnya dari sisi mana. Dari sisi ekonomi, boleh dikatakan
kedatangannya memberikan angin segar. Janji surga. Semoga benar-benar jadi
kenyataan yang katanya mau berinvestasi sekitar Rp315 triliun dalam berbagai
sektor industri. Dalam hal ini pemerintah mesti aktif, tidak cukup sekadar
menunggu.
Di
sana terdapat formula bahwa investor asing dengan jumlah investasi besar
mensyaratkan tiga hal. Pertama, negara itu secara politik mesti stabil dan
aman. Kedua, peraturannya jelas dan tidak rumit. Ketiga, dari sisi bisnis
menjanjikan keuntungan-keuntungan. Jika ketiga syarat tadi tidak tercukupi,
uang akan terbang bagaikan belalang, mencari negara lain yang aman dan
menguntungkan. Mungkin saja Tiongkok, Malaysia, atau negara lain.
Kalau
Anda menteri pariwisata, khususnya pemerintah Bali, kehadiran rombongan Raja
Salman sebanyak 1.500 orang ke Pulau Dewata tersebut bagaikan durian runtuh.
Sebuah rezeki dan sekaligus promosi bagi dunia turisme Indonesia. Para
pangeran dan orang-orang kaya Arab yang selama ini lebih senang rekreasi ke
Eropa, semoga saja, akan menjadikan Bali sebagai salah satu tujuan wisata
mereka. Bayangkan, Raja Arab yang selama ini dipersepsikan eksklusif dan
menganut paham keagamaan yang puritan dan rigid mau datang ke Bali untuk
berlibur selama enam hari. Sekali lagi, ini bagaikan durian matang yang
runtuh dan tinggal melahapnya.
Berdiri
sejajar
Bagi
umat Islam Indonesia, yang setiap salat umat Islam menghadapkan muka ke
Kabah, juga jumlah hajinya terbanyak dan dikenal tertib dan santun, tentu
saja kunjungan Khodimul Haramain (pelayan dua kota suci Mekah-Madinah) itu
merupakan balasan persahabatan iman yang sangat hangat. Karena itu, tidak
mengherankan, bahkan Raja Salman sendiri yang kagum dan gembira melihat
antusiasme warga dalam menyambutnya. Meskipun hujan deras, masyarakat Bogor
berdiri untuk menghormati sosok tamu agung. Kata Alwi Shihab, Raja dan
rombongan mengatakan baru kali ini menerima sambutan selama kunjungan ke luar
negeri yang sedemikian meriah dan ramah.
Bagi
Presiden dan pemerintahan Joko Widodo, meskipun sebagian orang enggan
mengakui, ini merupakan keberhasilan diplomasi yang menaikkan posisi dan
citra Indonesia di mata Arab Saudi. Katanya, mereka kaget melihat pembangunan
di Jakarta yang megah sehingga Indonesia tidak bisa disejajarkan dengan
Bangladesh yang diasosiasikan sebagai supplier tenaga kerja ke Arab.
Indonesia ialah bangsa dan negara besar, mesti berdiri tegak dalam posisi
sejajar ketika berbicara soal bisnis, terlebih lagi kebudayaan. Indonesia
jauh lebih kaya, yang sebagian baru disaksikan dari dekat di Bali. Seeing is believing.
Yang
paling heboh di media-media sosial ialah ketika kunjungan Raja Salman ini
ditarik ke wacana politik, terutama dalam konteks jelang pilkada DKI putaran
kedua. Bagi kalangan pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pendukung
Anies, berbagai event selama Raja di Indonesia lalu ditafsirkan, dimaknai,
dan digoreng sedemikian rupa untuk menguatkan pilihan jago mereka. Misalnya,
foto jabat tangan Raja Salman dengan Ahok disebarkan buzzer pro-Ahok sehingga
menjadi viral mencapai puluhan ribu pengunduh. Lalu diberi komentar bahwa
Raja Salman memberi restu bagi pencalonan Ahok.
Bagi
yang pro-Anies, kehadirannya ialah untuk menunjukkan solidaritas Islam yang
selama ini secara ekonomi Indonesia dikuasai modal Tiongkok, dan kini Raja
Salman ingin membantu umat Islam Indonesia dengan mengucurkan dana ratusan
triliun rupiah, untuk membendung ekspansi modal dari ‘Negeri Tirai Bambu’ tersebut.
Ini bukan sekadar kunjungan diplomasi kenegaraan, melainkan lebih dari itu
ialah untuk mengeratkan ukhuwwah islamiyah antara Arab Saudi dan Indonesia
maka pilkada nanti jangan pilih Ahok. Demikianlah, benturan kepentingan dan
pemihakan politik jelang pilkada telah meramaikan bagaimana memaknai
kunjungan Raja Salman ini.
Namun,
berbagai penafsiran tadi tak lebih sebagai akrobat hermeneutika. Orang
menafsirkan menurut seleranya sendiri sehingga tidak mungkin seragam, bahkan
menjadi perbedaan yang menajam. Bagi pengamat ekonomi, tentu agenda primernya
ialah menjajaki kerja sama ekonomi ketika pertumbuhan ekonomi di Asia lebih
menjanjikan ketimbang mitra tradisional mereka di Barat. Bagi Arab Saudi,
Indonesia yang mayoritas muslim tentunya memiliki ikatan batin lebih hangat
dan kuat. Namun, orang bijak bilang, uang ketika bepergian ke luar negeri
juga akan mencari teman karibnya, yaitu uang. Pedagang akan berkawan dengan
pedagang. Uang hanya mengenal dalil untung-rugi, adapun nasionalisme dan
agama hanya tambahan belaka.
Pesan
simbolis
Karena
itu, jangan heran jika salah satu agenda kunjungan Raja Salman dan rombongan
ialah ke Tiongkok. Ukhuwwah tijariyah wa fulusiyah, persahabatan peradangan
dan uang, bukan persaudaraan Islam. Alih-alih perintah belajarlah kamu sampai
ke negeri Tiongkok, tetapi berdaganglah kamu sampai ke negeri Tiongkok.
Masyarakat Indonesia pun memperoleh banyak pelajaran dan pengalaman baru dari
kunjungan ini. Bahwa Raja Salman ialah sosok yang santun, inklusif, dan
antiradikalisme-terorisme yang secara simbolis, keluarga Densus Antiteror
yang suaminya meninggal akan diberi hadiah ibadah haji. Kesediaan berswafoto
dengan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani juga menunjukkan sikapnya
yang human, kebapakan.
Raja
juga bertemu dengan wakil tokoh lintas agama, para ulama, dan politikus.
Dalam usianya yang ke-83, kesediaan melayani berbagai acara di Indonesia
sungguh sangat mengesankan. Bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, semoga
saja penerimaan pada tamu agung yang begitu hangat, spontan, dan damai
merupakan karakter asli kita. Janganlah suasana yang sudah sejuk dan kondusif
untuk bekerja itu rusak oleh persaingan pilkada yang kadang tak lagi
mengindahkan etika sosial. Jika kita tak mampu menjaga kedamaian dan
stabilitas politik, investor asing pasti hengkang. Uang selalu ingin tinggal
di tempat yang aman dan rakyatnya pekerja keras serta jujur.
Di
atas semua itu kunjungan ini punya makna historis. Bayangkan, kepulauan
Nusantara yang letaknya jauh dari Saudi Arabia, terhalang oleh India, tetapi
kenyataannya menjadi kantong umat Islam terbesar di dunia. Islam yang bermula
dari dataran Arab Saudi, dibawa ke Nusantara oleh para pedagang Arab sambil
berdakwah. Mereka menyebarkan Islam dengan bijak dan damai, tanpa
teriak-teriak dan kekerasan, tetapi menggunakan bahasa dagang yang senang
dengan lobi dan persahabatan. Karena itu, Islam di Indonesia sangat
bersahabat dengan budaya lokal dan kebinekaan budaya dan etnis.
Kunjungan
ini mengingatkan dan menapak tilas perjalanan sejarah panjang pedagang Arab
muslim ke Nusantara dengan cara yang damai. Begitu juga ketika Raja Salman ke
Tiongkok, itu pun mengulangi hubungan dua bangsa yang sudah berabad-abad
terjalin. Dari dulu Nusantara sudah familier dengan pedagang Arab, Tiongkok,
dan Eropa, yang sekarang digantikan Amerika. Hanya saja Eropa meninggalkan
memori imperialistis dan eksploitatif. Bagaimana Amerika Serikat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar