Elite
(yang) Kebablasan
Danang Aziz Akbarona ; Direktur Riset
Government Research Institute
|
KORAN
SINDO, 02
Maret 2017
Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini, Rabu (22/2),
memberikan penilaian bahwa demokrasi (kebebasan) yang kita jalankan sudah
mulai kebablasan sehingga membuka peluang terjadi artikulasi politik yang
ekstrem seperti liberalisme, radikal isme, sektarianisme, terorisme, dan
ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penilaian Presiden
Jokowi itu secara khusus merujuk pada kejadian empat hingga lima bulan
kebelakang (kondisi disharmoni bangsa) sambari menekankan pentingnya konsep
kebangsaan Indonesia yang beragam dan majemuk.
Fenomena politisasi suku, adat, ras, dan agama (SARA) yang
saat ini mendera banyak pihak, menurut Presiden, merupakan bagian dari kurang
pahamnya masyarakat mengenai keberagaman. Dampak nyata dari isu ini adalah
bertebaran fitnah, kebohongan, saling memaki, dan menghujat. Kalau ini
diteruskan, bisa menjurus pada perpecahan bangsa kita. Pertanyaannya,
benarkah kondisi disharmoni, politisasi SARA, kurangnya pemahaman tentang
keberagaman, ter masuk fenomena lain yang meng indikasikan demokrasi kita
kebablas an, itu merupakan masa lah rakyat? Penulis melihat sebaliknya, ini
bukan masalah rakyat, melainkan elite.
Demokrasi Matang
Demokrasi yang matang semestinya melahirkan keadaban
publik dan itu terjadi jika (dan hanya jika) setiap elemen atau aktor
demokrasi mampu mengubah kebebasan menjadi keteraturan dan persaingan
(kompetisi) menjadi kerja sama (kooperasi). Demokrasi memang memberikan ruang
bagi ke bebasan, tapi bukan kebebasan yang tanpa batas. Batasannya adalah keteraturan
publik (public order). Dalam kon teks kehidup an berbangsa dan bernegara,
pesan itu tegas disuratkan da lam Konstitusi Pasal 28J serta pasal-pasal lain
yang mengintrodusir tentang hak dan ke wajiban sebagai warga negara.
Pada Pasal 28J UUD 1945 se tiap orang memang diwajib kan
menghormati hak asasi (kebebasan) orang lain (ayat 1), tetapi jelas diarah
kan pada ayat 2 bahwa setiap orang dalam men jalankan kebebasannya tunduk
pada pem batasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghor mat an atas hak dan kebebasan orang
lain, dan untuk meme nuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Ini maknanya kebebasan tidak bisa dilakukan
sebebas-bebasnya, melainkan diarahkan pada keteraturan publik. Demokrasi di
Indonesia sejatinya juga dilengkapi dengan pedoman moral dan etika yang cukup
kuat antara lain TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 ten tang Etika Kehidupan Berbangsa
serta TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepo tisme. TAP terakhir bahkan ter bit bersamaan
dengan kelahir an reformasi yang menandai awal proses demokratisasi di ne
gara kita. Ini artinya, bangunan demokrasi Indonesia punya perangkat regulasi
penunjang sistem yang memadai.
Ada liber asi (kebebasan) yang diakui, ada hak-hak yang
dijunjung tinggi, tapi pada saat yang bersamaan ada kewajiban dan tanggung
jawab yang harus dipikul bersama. Dengan argumentasi di atas, kita paham
bahwa prasyarat demokrasi berkualitas yang pertama (dan paling utama) adalah
penegakan hukum, aturan, dan etika bernegara yang konsisten dan konsekuen
sehingga kebebasan tidak men jadi liar (kebablasan), tapi meng arah pada
keteraturan. Dan, peran tersebut hanya bisa dimainkan oleh pemim pin/pejabat
publik (elite) negara yang profesional dan berintegritas.
Demokrasi juga memberi ruang bagi kompetisi, tapi bu kan
kompetisi yang mematikan (win-lose). Dalam setiap kompetisi pasti ada yang
menang dan adayangkalah. Acapkalihal itu berujung konflik, baik konflik
kepentingan mau pun gagasan. Tetapi, demokrasi sendiri hakikatnya adalah
mekanisme resolusi konflik. Pandangan struktural jelas menegaskan itu bahwa
demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik
dan konsensus (Alfian,1978: 236; Surbakti, 1999:228).
Karena itu, demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat,
persaingan, dan per tentangan di antara individu, di antara berbagai
kelompok, di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok
dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Tetapi,
demokrasi hanya akan menoleransi konflik yang tidak menghancurkan sistem.
Sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan
menyalurkan konflik sampai pada ”penyelesaian” dalam bentuk kesepakatan.
Prinsip ini pula yang mendasari pemben tuk an identitas
bersama, hubungan kekuasaan, legitimasi kewenang an, dan hubungan politik
dengan ekonomi. Artinya, betapapun sengit persaingan terjadi ia harus
berujung pada kesepakatan dan kerja sama untuk kepentingan yang lebih luas/
kepentingan bangsa dan negara. Lagi-lagi, halitubisaterwujudjika elite
memiliki kesadaran berdemokrasi yang matang.
Elite yang Kebablasan
Dengan memahami prasyarat demokrasi di atas, kita bisa
menyimpulkan bahwa beban terbesar untuk menghadirkan demokrasi yang matang
(berkualitas) itu sesungguhnya adapadaelitekarenamerekayang menerima mandat
rakyat— melalui proses elektoral—untuk mengatur urusan dan kepentingan negara.
Tugas rakyat sebagai pemberi mandat (untuk sebagian besar) selesai ketika
mereka telah memilih pemimpinnya. Dan, tugas elite pemimpin/pejabat publik
(untuk sebagian besar) dimulai ketika mandat itu telah diberikan.
Elite pemimpinlah yang diharapkan mampu menciptakan
keteraturan melalui penegakan hukum yang adil, penerapan etika bernegara
dengan standar yang tinggi, serta totalitas komitmen untuk mencari titik temu
(resolusi), bukan saja atas konflik politik—sebagai akibat dari kompetisi
dari pemilu ke pemilu—tapi juga titik temu (solusi) untuk berbagai
kepentingan bangsa dan negara.
Sayangnya, dalam banyak peristiwa kita justru mendapati
elite yang menjadi biang masalah ketika mereka sibuk memproduksi kegaduhan,
menyulut sentimen, mempertuankan kepentingan pribadi atau golongan. Para
elite menunjukkan nafsu (am bisi) berkuasa dengan meng halalkan segala cara,
berperilaku koruptif, dan lebih parah lagi me lahir kan kebijakan dan
penegakan hukum yang tidak berkeadilan. Sebaliknya, dalam banyak peristiwa
rakyat malah kerap menampilkan kedewasaan dalam berdemokrasi melalui
sikapsikap terpuji dalam menerima perbedaan, menerima kekalahan, menuntut
keadilan secara beradab, melakukan demonstrasi damai, aktif menagih janji politik,
serta melaksanakan kontrol dan kritisi atas setiap perilaku elite yang abuse
of power.
Dus, ketika Presiden Jokowi mengkritik bahwa demokrasi
kita telah kebablasan sejatinya kritik itu lebih tepat diarahkan kepada para
elite politik dan penyelenggara negara—ekse kutif, legislatif, yudikatif, ter
masuk Presiden sendiri—agar lebih arif dan bijak dalam ber sikap dan dalam
mengambil ke bijakan menyangkut kepentingan rakyat. Saran kita, rakyat biasa:
mulailah memperkuat etika penyelenggara negara dan memperbaiki pelembagaan
institusi-institusi demokrasi sehingga makin profesional, akuntabel, dan
berintegritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar