Demokrasi
Kebablasan
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 04 Maret 2017
Alkisah,
dalam sebuah rapat besar, dari atas podium, Pemimpin Uni Soviet Nikita
Khrushchev (1894-1971) mengecam kekejaman yang dilakukan pendahulunya, Joseph
Stalin (1878-1953). Tiba-tiba dari arah barisan peserta rapat terdengar suara
lantang, ”Mengapa Anda tidak protes?” Khrushchev menunggu sampai suara itu
benar-benar berhenti. ”Siapa itu yang bicara?” tanya Khrushchev. Namun, tidak
terdengar suara jawaban. Hening sesaat. ”Seperti Anda sekarang ini, saya pun
sangat takut waktu itu,” ujar Khrushchev.
Di
Taman Museum Seni Modern di Distrik Yakimanka, persis di tepi Sungai Moskwa
atau di seberang Taman Gorky, terdapat patung para pemimpin Uni Soviet,
seperti Lenin, Stalin, Brezhnev, pejabat-pejabat lain, juga Karl Marx.
Mengunjungi taman itu, di akhir musim semi pada pertengahan 2016, saya
tertegun melihat kerangkeng besi yang dijejali dengan batu-batu yang dipahat
berbentuk wajah-kepala di antara patung-patung para pembesar itu. Di depan
monumen ”kepala-kepala” yang terbuat dari bahan granit dan besi karya seniman
Chubarov itu tertulis ”korban-korban rezim pemerintah totaliter”.
Rasa
penasaran membuat saya meneruskan ke Museum Gulag di Distrik Tverskoy, Moskwa
utara. Museum itu tentu saja menceritakan penindasan dan kekejaman di Gulag.
Gulag adalah kamp-kamp penjara tempat tahanan pekerja di zaman penguasa Uni
Soviet. Kisah Gulag diketahui luas melalui karya pujangga Aleksandr
Solzhenitsyn berjudul The Gulag Archipelago (1973). Di museum itu digambarkan
sel tahanan, velbed tahanan, pintu-pintu besi, dan kunci-kunci berlapis.
Semuanya asli. Jutaan orang merasakan Gulag, termasuk Solzhenitsyn. Hadijat
Suleimanova, salah satu pemandu museum, bercerita bahwa satu sel ukuran 9
meter persegi dijejali 25 tahanan.
Begitulah
kira-kira ilustrasi kecemasan, kengerian, dan ketakutan di zaman tanpa
demokrasi dan tiada kebebasan. Di zaman itu, nyaris tiada suara yang
berbunyi, bahkan daun-daun jatuh diterpa angin pun sampai-sampai tak
menimbulkan gesekan bunyi. Dulu zaman terasa begitu sunyi, tanpa suara.
Politik terasa kaku dan membeku. Kebebasan dibungkam. Perlawanan
dikerangkeng. Dunia terlihat murung.
Kini,
zaman baru semakin bebas. Kebekuan sudah lama berlalu. Dan, kesenyapan tidak
lagi menjadi pertanda kecemasan. Apalagi, sejak era digital, kebebasan
seperti tak pernah menemukan batas. Suara-suara bahkan terlalu bising.
Kadang-kadang rindu juga pada kesunyian. Sebab, suara yang begitu gaduh
sekarang ini juga sama mencemaskan. Jika pada masa lalu suara-suara lenyap
karena dibungkam, sekarang ini sebaliknya, suara-suara terlalu berisik dan
bising karena semua orang bebas bersuara.
Demokrasi
sekarang ini benar-benar tanpa tirai pembatas. Suara yang memang menjadi
elemen terpenting dalam demokrasi begitu nyaring melengking sampai memekakkan
telinga. Semua orang pengin ikut campur urusan publik atau politik.
Sedikit-sedikit masalah diselesaikan lewat gerakan massa. Mudah-mudahan tidak
berakhir anarkistis. Demokrasi terasa mobokrasi karena selera orang banyak.
Apalagi,
di era digital, cara berdemokrasi pun berubah. Memang, partisipasi politik
semakin efektif dan transparansi pemilu semakin terbuka. Publik tidak perlu
repot-repot lagi berkumpul dan menandatangani petisi, misalnya, tetapi cukup
dengan membuka gawai dan menandatangani petisi maya. Dalam artikelnya, Does
Digital Democracy Improve Democracy?, 2 Maret 2017, Thamy Pogrebinschi yang
berpengalaman dalam proyek inovasi demokrasi di Amerika Latin menyebutkan,
inovasi digital telah mengubah sifat demokrasi dan lembaga-lembaganya, yaitu
1) dapat membawa demokrasi lebih inklusif dan lebih deliberatif; 2) dapat
mengubah bagaimana pemerintah lebih bertanggung jawab dan efektif; serta 3)
dapat mengubah bagaimana representasi tampil lebih responsif.
Dari
sisi itu, era digital telah memberi corak baru bagi penguatan demokrasi.
Contoh paling aktual adalah penggalan kisah kunjungan Raja Arab Saudi Salman
bin Abdulaziz al-Saud yang menyita perhatian publik saat ini. Paling unik
saat Presiden Joko Widodo ngevlog bersama Sang Raja. Ketika santap bersama,
Rabu (1/3), Jokowi memanfaatkan hobi barunya itu. ”Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh, saat ini saya sedang bersantap siang dengan Yang
Mulia Sri Baginda Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud,” ujar Jokowi dalam vlog
yang kemudian diunggah di laman Facebook Presiden itu.
Tambah
menarik karena Presiden Jokowi mengarahkan telepon selulernya ke Sang Raja
yang tengah bersantap. Raja Salman pun merespons. ”Bagi kami, rakyat
Indonesia adalah saudara kami dan rakyat yang sangat mulia,” balas Raja
Salman. Sampai semalam pukul 21.00, dalam dua hari, vlog Presiden Jokowi di
Youtube itu telah ditonton 1.472.940 kali. Belum lagi yang disebarkan pihak
lain. Jokowi membuat pembesar dua negara itu tampak akrab. Lewat inovasi
digital, demokrasi tampak lebih santai, tidak menyeramkan seperti era di masa
otoritarian.
Namun,
seperti mata uang, era digital punya dua sisi yang bertolak belakang. Secara
bersamaan, era digital juga membuat demokrasi gaduh terus-menerus. Media
sosial bukan lagi menjadi saluran komunikasi yang lebih banyak positifnya,
melainkan semakin bertaburan berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan
fitnah yang membuat demokrasi yang telah lama gaduh ini semakin mencemaskan.
Demokrasi tidak disertai keadaban berkomunikasi. Di sisi lain, unjuk kekuatan
semakin menguat akhir-akhir ini dan indikasi penghormatan terhadap cara-cara
demokrasi terlihat kian diterabas. Tidak heran, saat pengukuhan pengurus
Partai Hanura di Sentul, Bogor, Rabu (22/2), Presiden Jokowi menyebut
demokrasi telah kebablasan.
Presiden
Jokowi tentu tidak cuma mengingatkan, tetapi juga otokritik untuk semua
politikus dan publik. Kita sudah melampaui negeri sunyi 32 tahun selama Orde
Baru. Tentu juga tidak ingin mencontoh Presiden Amerika Serikat Donald Trump
yang membatasi imigran, prasangka etnik dan agama, serta membatasi akses pers
justru di negara tempat lahirnya demokrasi itu. Dulu, kita cemas karena tak
ada demokrasi atau demokrasi cuma slogan. Kini, kita pun cemas karena
demokrasi kebablasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar