Bohong
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO, 06 Maret 2017
Dengarkan
ceritaku: di sebuah abad yang tak kusebut, dalam perjalanan laut ke Sri
Lanka, kapalku singgah di sebuah pulau untuk mengambil air dan kayu bakar.
Tiba-tiba badai yang dahsyat menghantam. Ribuan pohon diterbangkan angin ke
angkasa delapan kilometer tingginya. Dari bawah pohon-pohon besar itu tampak
seperti bulu-bulu burung yang bertaburan, tapi begitu badai reda, mereka
jatuh kembali di tempat mereka semula, persis, dan berakar kembali.
Kecuali
pohon yang terbesar. Di cabangnya ada sepasang orang tua yang jujur. Di sana
mereka memetik ketimun- ya, di pulau itu sayur-mayur tumbuh di pohon. Karena
mereka bergayut di dahan itu, pohonnya jatuh melintang ke bumi. Kecelakaan
terjadi. Ia menimpa gubernur pulau itu yang sedang bersembunyi di pekarangan
karena takut rumahnya dilanda badai. Pak Gubernur tewas seketika.
Bagi
penduduk pulau itu, yang terjadi bukan malapetaka. Mereka membenci si
gubernur yang rakus, bakhil, dan menindas. Mereka pun dengan gembira
mengangkat pasangan pemetik ketimun itu sebagai pemimpin yang baru, sebagai
tanda terima kasih.
Baron
Munchausen berhenti bercerita di sini- dan kita akan mengikuti perlawatannya
yang ajaib lewat buku yang mula-mula disusun tipis oleh Rudolph Erich Raspe,
kemudian ditambah-tambahi banyak penulis dan pengkhayal. Kisah pembual itu
berasal dari Jerman tapi terbit sebagai buku dalam bahasa Inggris di London,
1785, dan segera dialihbahasakan di banyak negeri. Waktu saya berumur 11
tahun, saya baca terjemahannya dalam edisi yang bagus (waktu itu mutu produksi
buku sangat mengesankan, terutama oleh penerbit milik Belanda); juga
sadurannya, diterbitkan Balai Pustaka, Pak Bohong.
Bohong
ternyata bisa mengasyikkan. Tapi jika kita merasa betah dengan sang Baron,
itu karena ia personifikasi sikap yang, dengan semua bualannya, tak hendak
merusak kepercayaan dan menghina kecerdasan. Dustanya selalu demikian
berlebihan hingga kita diharapkan untuk tak percaya- malah ketawa.
Kisah-kisah
Baron Munchausen mengandung paradoks itu: kebohongan itu tak kita percayai karena
kita punya asumsi tentang apa yang benar; tapi pada saat yang sama kebenaran
yang kita pegang membiarkan dusta itu. Bahkan menikmatinya.
Itulah
dusta jenis Munchausen. Ia berbeda dengan dusta Machiavelli.
"Kadang-kadang kata harus jadi tabir fakta-fakta," kata penulis Il
Principe itu menghalalkan tipu daya. Pada Machiavelli, dusta tak untuk
dinikmati, melainkan bagian dari senjata di sebuah sengketa. Untuk menang,
orang menyebarkan kebohongan tanpa risi, menyaksikan demagogi yang dengan
berapi-api memompa hoax dan fitnah.
Hidup
di kancah dusta Machiavelli, kini orang mensinyalir datangnya masa
"pasca-kebenaran", the post-truth era, karena kebenaran sudah tak
relevan lagi dalam komunikasi. Ralph Keyes, pengarang The Post-Truth Era:
Dishonesty and Deception in Contemporary Life, berkata, "Kita hidup di
sebuah lingkungan yang tak punya cukup penangkal bagi kecenderungan kita
mengelabui orang lain." Padahal kita tahu, mengelabui dan dikelabui
bukanlah formula yang sehat bagi sebuah kehidupan sosial.
Tapi
meskipun kebenaran dianggap tak penting lagi, kita tak seluruhnya hidup
dengan dusta Machiavelli. Kita masih punya dusta Munchausen- dusta yang tak
hendak menghabisi dan dihabisi kebenaran. Di sana ada ruang hidup buat yang
saya namakan "para-kebenaran".
Kata
"para" berasal dari bahasa Yunani: "di samping". Sebuah
cerita yang mengandung "para-kebenaran" adalah sebuah cerita yang
tak sepenuhnya berisi kebenaran sebagaimana yang dirumuskan Thomas Aquinas di
abad ke-13 (dan terus jadi pegangan ilmu-ilmu): veritas est adæquatio rei et
intellectus.
Dalam
rumusan itu, sebuah pernyataan dianggap benar bila ia merupakan intellectus
(pikiran, pengetahuan) yang cocok (adæquatio) dengan rei (kenyataan). Kini
rumusan itu guyah. Orang makin menyadari bahwa kenyataan, rei, dianggap cocok
dengan pengetahuan, intellectus, karena ia dibentuk agar sesuai dengan
pikiran kita. Juga orang makin menyadari, kenyataan tak pernah berbicara
sendiri. Kenyataan ada karena diwujudkan oleh bahasa dan selamanya berada
dalam bahasa. Ia muncul sebagai tafsir. Ia bukan fakta. Fakta tak pernah ada,
kata Nietzsche. Hanya "tafsir" yang ada.
Tafsir
itulah "para-kebenaran". Ia tak taklid kepada kebenaran ala
Aquinas, tapi ia tak menafikannya. "Para-kebenaran" hidup dalam
kisah Munchausen sebagai selingan di dunia yang sedang kehilangan. Dalam film
The Adventures of Baron Munchausen sang Baron mengeluh. "Kini semuanya
logika dan nalar. Sains, kemajuan, hukum hidraulik, hukum ini itu, tak ada
yang lain." Ia putus asa. Tak ada ruang yang bebas dari kebenaran
ilmiah, tempat ia menyambut ketimun pohon dan lautan anggur-imajinasi dalam
tafsir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar